Ada sebuah ironi yang begitu kentara di antara cerita yang dirangkai Hiro Mashima dalam Fairy Tail, sebuah karya yang, dengan segala keajaibannya, justru menolak makna yang lebih dalam. Sebuah dunia di mana naga, sihir, dan petualangan berkecamuk, namun tak pernah benar-benar menembus hati para pembacanya.
Jika boleh berandai-andai, bagaimana kiranya rupa Fairy Tail jika Mashima belajar dari seorang sastrawan Jepang yang begitu lekat dengan sisi gelap jiwa dan pencarian makna seperti Yukio Mishima?
Jika Yukio Mishima Menulis Fairy Tail
Fairy Tail adalah sebuah ode kepada persahabatan, harapan, dan kemenangan yang tiada henti. Namun, entah mengapa, semua terasa terlalu manis, terlalu “aman” dalam sebuah dunia yang seharusnya penuh bahaya. Mashima, dalam setiap pengembangannya, selalu mengandalkan kekuatan plot device bernama “persahabatan” untuk menyelesaikan setiap konflik.
Setiap kali karakter utamanya, Natsu Dragneel, terpojok dan kalah telak, ada ledakan kekuatan tambahan yang seolah lahir dari etos semangat juang. Tidak salah memang, tetapi apakah makna kemenangan itu jika tidak pernah ada pertaruhan yang benar-benar signifikan?
Di sinilah, saya membayangkan sebuah pendekatan Mishima—seorang penulis yang tidak takut menghadirkan ambiguitas moral, yang berani membawa karakter-karakternya menuju ambang keputusasaan.
Dalam setiap karyanya, Mishima mengajukan pertanyaan fundamental tentang kehampaan, tentang hasrat yang menghancurkan diri sendiri, dan tentang nilai-nilai kehormatan yang kadang melampaui akal sehat. Bayangkan jika Mashima memiliki keberanian seperti Mishima: barangkali Fairy Tail akan menjadi lebih dari sekadar cerita fantasi; ia bisa menjadi sebuah refleksi atas jiwa manusia.
Mishima, dalam novel seperti The Temple of the Golden Pavilion, menelusuri jiwa manusia yang hancur dan penuh dengan kebencian, kecemburuan, bahkan kekosongan. Karakter-karakter seperti Natsu, Lucy, dan Erza dalam Fairy Tail mungkin akan menemukan lebih dari sekadar “tujuan bersama” untuk mengalahkan musuh; mereka mungkin akan menemukan kekosongan dalam kemenangan itu sendiri. Dan bukankah itu lebih jujur? Bahwa tidak semua kemenangan membawa kebahagiaan, dan tidak semua pertarungan memerlukan klimaks yang riuh?
Dengan sentuhan Mishima, dunia Fairy Tail mungkin akan menjadi lebih dalam, lebih gelap, dan lebih mempesona dengan cara yang tragis. Erza Scarlet, misalnya, bisa saja digambarkan sebagai sosok yang terus-menerus dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya, seorang kesatria yang memenangkan setiap pertarungan namun tak pernah merasa utuh sebagai manusia. Natsu Dragneel bukan hanya seorang petarung gigih, tetapi seorang yang dalam pencariannya justru kehilangan identitasnya sendiri. Dan Lucy Heartfilia, dengan segala kepolosannya, menjadi saksi bisu bagaimana dunia yang penuh keajaiban ternyata menyimpan kekejaman yang tak terucapkan.
Bayangkan sebuah adegan klimaks: saat Natsu akhirnya bertemu dengan seekor naga terakhir, naga yang selama ini ia cari. Alih-alih pertempuran epik dengan api berkobar-kobar, pertemuan itu berubah menjadi renungan pahit tentang keberadaan dan tujuan hidup. Naga itu, bukannya menjadi musuh atau teman, malah menjadi cermin bagi Natsu untuk memahami kehampaan di balik ambisinya. Di bawah langit yang senyap, tidak ada sihir yang bisa menyelamatkan hati yang hampa.
Mungkin inilah yang hilang dari Fairy Tail—dimensi filosofis yang bisa mengajak pembaca berpikir dan merasa lebih dalam. Di tangan Mishima, Fairy Tail akan menjadi lebih dari sekadar kisah persahabatan; ia akan menjadi narasi tentang perjuangan eksistensial, tentang tragedi hidup yang tak selalu bisa diatasi dengan kemenangan demi kemenangan.