Fate/Grand Order Bukan Sekadar Game Wayang

Dalam konteks game Fate/Grand Order, istilah “game wayang” sebenarnya adalah ejekan. Hal ini merujuk pada tampilan gameplay FGO yang berbasis turn-based 2D, di mana karakter kita dan musuh berjajar seperti halnya dalam pertunjukan wayang, ditambah gerakan satu-satu mereka yang menyerupai wayang yang digerakkan oleh dalang.

Sebagai bagian Fate series, pemain mengambil peran sebagai Master di FGO, pemimpin para Servant yang diangkat dari berbagai legenda dan sejarah dunia. Tokoh-tokoh ini, yang disebut Servant, adalah wujud digital dari karakter seperti Gilgamesh, Jeanne d’Arc, dan pastinya Raja Arthur yang jadi waifu sejuta umat.

Dengan estetika khas anime, mereka diberi kedalaman karakter melalui cerita yang memadukan fantasi, sejarah, dan filsafat. Sama seperti dalang yang menghidupkan wayang di panggung, pemain FGO diberi kendali atas para Servant ini dalam narasi epik yang melibatkan nasib dunia.

FGO juga memperkenalkan konsep Singularity kemudian Lostbelt, di mana pemain harus memperbaiki atau mengatasi anomali dalam alur waktu demi menyelamatkan umat manusia. Dalam proses ini, FGO menciptakan cerita-cerita yang memanfaatkan latar historis dan mitologis, mengubah sejarah menjadi panggung imajinatif yang kaya akan konflik dan drama.

Daya Tarik Game Wayang dan Kontroversi Gacha

fate grand order waifu

Sebagai game gacha, FGO mengandalkan mekanisme undian virtual untuk mendapatkan karakter baru. Di satu sisi, sistem ini memberikan sensasi harapan dan kejutan yang tak ubahnya membuka kotak hadiah.

Di sisi lain, mekanisme ini kerap dikritik sebagai bentuk perjudian terselubung, di mana pemain bisa menghabiskan uang nyata untuk peluang mendapatkan Servant favorit mereka. Contohnya, pada tahun 2018, seorang pemain dilaporkan menghabiskan lebih dari USD 70.000 untuk mengoleksi semua karakter yang tersedia.

Namun, di balik kontroversi ini, FGO tetap menjadi salah satu game paling sukses secara finansial. Sebagai IP dari Type-Moon dan dipublikasikan oleh Aniplex, yang berada di bawah naungan Sony, FGO mencatatkan pendapatan lebih dari 7 miliar dollar (sekitar Rp100 miliar) sejak dirilis pada tahun 2015.

Pendapatan ini menyamai atau bahkan melampaui game AAA Sony sendiri, seperti The Last of Us Part II atau God of War. Dalam dunia yang dihuni oleh blockbuster konsol, fakta bahwa sebuah game mobile dengan grafis ketinggalan zaman dapat bersaing secara finansial adalah fenomena tersendiri.

Keabadian FGO di Tengah Keusangan

Meski sistem permainan FGO sering dianggap ketinggalan zaman—dengan mekanisme turn-based sederhana dan interface yang kurang intuitif dibandingkan standar modern—game ini tetap memiliki basis penggemar yang setia. Apa rahasianya? Jawabannya terletak pada narasi yang kaya dan hubungan emosional yang berhasil dibangun antara pemain dan karakter.

Setiap cerita utama dan event sampingan yang dirilis membawa cerita baru yang menggugah, penuh dengan dialog yang mendalam, plot twist yang mengejutkan, dan momen-momen emosional yang tak terlupakan.

Selain itu, FGO secara rutin merilis materi baru yang menggoda para penggemar, termasuk kolaborasi dengan seri Fate lainnya atau karya Type-Moon lain. Semua ini menjaga antusiasme penggemar tetap hidup, meskipun gameplay-nya sendiri tidak banyak berubah sejak awal rilis.

Menariknya, FGO tetap mampu bertahan dan bahkan bersaing di tengah gelombang game gacha baru yang menawarkan grafis lebih canggih dan gameplay lebih modern, seperti Genshin Impact atau Honkai: Star Rail dari Mihoyo. Dalam hal teknis, FGO mungkin kalah jauh dari segi visual maupun eksplorasi dunia yang ditawarkan Mihoyo. Namun, ada beberapa faktor yang membuat FGO tetap relevan di tengah kompetisi ini.

Dalam esensi, Fate/Grand Order adalah wayang era digital. Ini adalah cermin bagi kompleksitas manusia—harapan, perjuangan, cinta, dan pengorbanan—yang dihidangkan dalam format yang relevan dengan zaman. Meski dibangun di atas sistem yang kuno, FGO membuktikan bahwa kekuatan cerita dapat melampaui keterbatasan teknis. Dan selama game wayang ini terus mementaskan kisah-kisahnya, layar ponsel akan tetap menjadi panggung bagi drama epik yang abadi.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1907

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *