“Generasiku, dan yang lebih muda, mencerap informasi bukan dalam satuan-satuan panjang, utuh, koheren, tapi dalam letupan-letupan singkat, dengan nada yang amat berbeda-beda” ungkap novelis Irlandia Julian Gough, “Itu mengubah cara kita membaca fiksi, dan karenanya pasti mengubah cara kita menuliskannya.”
Ciri manusia modern: melakukan tugas ganda dan terkena gempuran polusi notifikasi. Membuka banyak tab pada browser, membaca sambil ajek mengecek ponsel, tak lupa musik pun dikumandangkan. Maka tak salah jika muncul tren bacaan yang ringkas namun padat, dalam sastra muncul yang namanya fiksimini – sebenarnya bukan barang baru.
Untuk lebih mengenal soal fiksimini ini, kata pengantar dalam Matinya Burung-Burung sangat jelas mengulasnya, yang bisa dilihat posnya di Pengantar yang Tak Seberapa Pendek untuk Cerita Sangat Pendek.
Ya, dalam pekan ke-20 Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut!, saya memilih buku dari Ronny Agustinus, seorang penggandrung sastra serta kajian politik Amerika Latin. Editor kepala dari Marjin Kiri ini salah seorang penerjemah terbaik Indonesia untuk karya-karya sastra berbahasa Spanyol.
“Sebenarnya apa sih pentingnya sastra?” Tanya VSS (@veccosuryahadi), setelah saya menyebut kalau saking cintanya para pengarang Amerika Latin terhadap sastra, mereka tak terlalu peduli dengan asal usulnya – kewarganegaraannya, sejarahnya.
“Sebagai olah rasa juga olah pikir,” sebenarnya saya pun belum terlalu paham, dan sejujurnya tak terlalu peduli juga sih. Yang pasti ini memang seperti yang dikatakan Ovid, penyair Latin yang merumuskan definisi kuno atas sastra, bahwa misi sastra adalah ‘docere delictendo’–untuk mengajar dengan cara membahagiakan (artinya kira-kira dengan cara menghibur). Jadi tidak seperti, misalnya, filsafat, yang secara implisit diberi stigmatisasi sebagai hal yang bernas dan memperkaya tapi tidak terlalu mengasyikkan. Sastra, dalam hal ini beragam bentuk karya fiksi, dengan tujuan utama untuk memberi kesenangan, juga sebagai olah rasa dan olah pikir tadi.
Tentunya bagi manusia modern yang super sibuk dan pemalas ini sangat cocok untuk membaca karya fiksi seuprit yang disebut flash fiction, micro fiction, micro narrative, micro-story, postcard fiction, short short, short short story, dan sudden fiction, atau kalau di Jepang di sebut keitai shosetsu (“sastra ponsel”). Benar kata Julian Gough, bahwa modernitas mengubah cara kita membaca fiksi, dan karenanya pasti mengubah cara kita menuliskannya.
Mengajar dengan cara membahagiakan, ngenah pisan kang, hehe…
Saya selalu suka tulisanmu soalnya ide-idenya bernas dan banyak kata-kata baru yang jarang saya pahami dan gunakan :hehe, top abis. Dan untuk fiksimini… selama bisa menggambarkan ide dengan lengkap, panjang pendeknya cerita belum akan menjadi soal, kan :hehe. Saya mencoba sebagai pembaca untuk tidak terikat dengan berapa banyak kata yang menjadi sarana penggambaran, tapi terhadap apa yang digambarkan pada susunan kata-kata itu… :hehe.
Yang menarik dari fiksi mini biasanya adalah ending yang menyentak dan mengejutkan
Tos lami teu maos cerita2 bhs Indonesia 🙁
benar juga. kadang lebih tertarik membaca yg kurang panjang. mau baca yang panjang-panjang agak-agak gimana gitu. hehehe.
izin di-tweet, ya, mas 🙂
hmm… fiksi mini = modernisasi sastra fiksi,
yah sekarang dengan membanjirnya informasi, orang sekarang butuh “bacaan” yang padat, cepat menjurus instan, dan kalau bisa bermanfaat.. so fiksi pun akhirnya menjadi fiksi mini 🙂