Akira dibuka dengan ledakan besar, tidak hanya dalam arti literal, tetapi juga simbolik. Tokyo, dalam hitungan detik, lenyap di tengah kilatan cahaya, diikuti oleh kehancuran yang mencekam.
Kota ini kemudian bangkit dari abu sebagai Neo-Tokyo, sebuah metropolis dengan masa depan yang sepertinya lebih gelap daripada sejarah yang ia tinggalkan. Bagi saya, ini adalah bentuk refleksi dari siklus ketidakberdayaan manusia menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya.
Tokyo di Akira adalah representasi dari kehancuran yang diikuti dengan regenerasi, tapi yang terlahir bukanlah keajaiban baru, melainkan luka yang menganga di tengah-tengah perkembangan.
Neo-Tokyo dalam film anime 1980-an ini adalah kota yang kehilangan jiwanya, di mana modernisasi adalah parasit yang mengisap habis kehidupan tanpa menawarkan harapan.
Dalam kebangkitan Tokyo, saya melihat ironi yang terus menghantui kita: upaya manusia untuk bangkit, namun tetap berjalan menuju kehancuran yang sama.
Kemarahan Kolektif dan Pencarian Identitas
Neo-Tokyo dilanda korupsi, protes antipemerintah, terorisme, dan kekerasan geng.
Selama demonstrasi yang penuh kekerasan, Shotaro Kaneda yang pemarah memimpin geng motor melawan rivalnya. Sahabat Kaneda, Tetsuo Shima, secara tidak sengaja menabrakkan sepeda motornya ke seorang esper yang tengah melarikan diri dengan bantuan organisasi perlawanan.
Tetsuo dibawa ke rumah sakit, dan geng motor Kaneda. Saat diinterogasi oleh polisi, Kaneda bertemu seorang aktivis dalam gerakan perlawanan, dan menipu pihak berwenang agar melepaskannya bersama gengnya.
Di fasilitas rahasia pemerintah, Tetsuo tiba-tiba memiliki kemampuan psikis yang kuat mirip dengan Akira, esper yang bertanggung jawab atas kehancuran Tokyo tahun 1988.
Tetsuo, sosok pemuda yang memberontak dengan kekuatan baru yang ia dapatkan, menjadi cerminan dari luka kolektif.
Kekuatan yang muncul pada Tetsuo adalah buah dari eksperimen pemerintah yang tak peduli akan batas-batas etika, hingga akhirnya menciptakan sosok yang mendapati dirinya terjebak di antara kebebasan dan kehancuran diri.
Ketika Tetsuo memberontak, ada kemarahan yang lebih besar daripada sekadar amarah pribadi. Ia adalah proyeksi dari generasi yang ditindas dan dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan di luar kendalinya.
Akira dalam hal ini berbicara banyak tentang pemberontakan manusia melawan sesuatu yang jauh lebih besar dan kuat, seolah mengatakan bahwa identitas sering kali terperangkap dalam kepasrahan terhadap kekuatan yang mengatur kehidupan kita.
Tetsuo adalah cerminan dari pencarian manusia akan eksistensi, namun juga adalah simbol dari destruksi yang tak terelakkan ketika manusia diberi kuasa yang tidak ia mengerti.
Akira dan Keputusasaan Teknologi
Akira dianggap sebagai film penting dalam genre cyberpunk, khususnya subgenre cyberpunk Jepang.
Cyberpunk Jepang umumnya melibatkan karakter, khususnya protagonis, yang mengalami metamorfosis mengerikan dan tak dapat dipahami dalam lingkungan industri. Banyak dari karya-karya ini memiliki adegan yang termasuk dalam genre film eksperimental.
Karya-karya cyberpunk Jepang sering kali melibatkan rangkaian abstrak atau visual murni yang mungkin tak berhubungan dengan karakter dan alur cerita. Tema yang berulang meliputi: mutasi, teknologi, dehumanisasi, penindasan, dan penyimpangan seksual. Akira salah satu yang begitu berpengaruh membentuk gaya ini.
Berbeda dengan cyberpunk Barat yang berakar pada literatur fiksi ilmiah New Wave, cyberpunk Jepang berakar pada budaya musik underground, khususnya subkultur punk Jepang yang muncul dari dunia musik punk Jepang pada tahun 1970-an.
Baca juga: Neon dan Distopia Korporasi: Ketika Cyberpunk Menolak Maju
Walaupun sebagian besar desain karakter dan latar Akira diadaptasi dari manga, alur ceritanya sangat berbeda dan tak mencakup banyak bagian akhir manga, yang baru diterbitkan selama dua tahun setelah perilisan film.
Film ini secara virtual menuntut untuk ‘dibaca’ bersamaan dengan manga. Meski tampaknya tak menjadi masalah, karena film ini bergerak dengan energi kinetik yang sedemikian rupa sehingga kamu bisa tetap mengapresiasinya.
Di dunia Akira, teknologi menjadi senjata dua sisi: kemajuan yang menakjubkan di satu sisi, tetapi kehancuran total di sisi lain.
Film ini mengungkapkan konsekuensi dari ambisi manusia untuk menguasai teknologi dan memperlihatkan bahwa teknologi tidak lagi menjadi alat bantu, melainkan menjadi entitas yang berpotensi menghancurkan kita.
Neo-Tokyo adalah saksi bisu dari keputusasaan yang muncul ketika teknologi berada di luar kendali, dan manusia hanya bisa melihat kehancurannya dari jauh, seolah berdiri di tepi jurang yang gelap.
Ketika saya melihat dunia Akira, saya merasa seperti berada di depan cermin, ketika kemajuan adalah sesuatu yang kita kejar tanpa sadar bahwa ia semakin mengikis kemanusiaan kita. Cyberpunk memusatkan perhatian pada ketidakadilan sistem, dan mengingatkan kita bahwa distopia yang telah kita hadapi selama beberapa dekade akan menjadi semakin konkret jika kita tak mengarahkan kemarahan secara kolektif untuk menghadapinya.
Sebab masa depan yang suram itu adalah hari ini. Setiap kota sayangnya mengarah menjadi Neo-Tokyo yang mengalienisasi penghuninya.