Kita berhadapan dengan sebuah karya yang memancing banyak pertanyaan, memaksa penontonnya berdialog dengan keresahan yang tersembunyi dalam jiwa masing-masing.
End of Evangelion, film penutup dari serial Neon Genesis Evangelion, bukan sekadar film animasi atau penyelesaian kisah robot melawan monster. Lebih dari itu, ia adalah narasi tentang manusia yang terpecah-belah, sebuah perjalanan ke dasar psikologi yang kelam. Pertanyaannya, mengapa kisah ini berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan sekaligus mengagumkan?
Dengan End of Evangelion, Hideaki Anno sang pencipta Evangelion berusaha membangun kembali dunia dan konflik yang telah diringkas dalam episode terakhir serial. Film ini bukan sekadar penambal atau perbaikan dari akhir cerita yang terpotong—ia adalah interpretasi ulang yang mendalam dan penuh emosi.
Karya ini memungkinkan Anno untuk mengeksplorasi tema isolasi, trauma, dan keterasingan tanpa batasan yang ketat, menghasilkan adegan-adegan simbolis yang menggetarkan, seperti pemusnahan identitas individu dalam proses Instrumentality hingga momen keintiman ganjil antara Shinji dan Asuka pada akhir cerita.
Produksi Serial Evangelion yang Bermasalah
Sebelum membahas soal penjelasan ending film End of Evangelion, kita perlu melihat dulu kenapa film ini bisa lahir.
Studio Gainax, studio di balik Evangelion, yang awalnya hanya sebuah kumpulan mahasiswa pencinta animasi, dikenal dengan semangat eksperimental yang sering kali melampaui batas anggaran yang dimiliki.
Pada 1990-an, ketika mereka mengembangkan Neon Genesis Evangelion, studio ini memiliki ambisi besar untuk menciptakan sesuatu yang orisinal dan mendalam. Namun, ambisi ini berbanding terbalik dengan keterbatasan finansial mereka.
Di pertengahan produksi Evangelion, Gainax mulai mengalami kendala keuangan yang semakin akut. Menjelang episode-episode terakhir serial ini, pendanaan semakin tipis, dan produksi berada dalam kondisi darurat.
Episode 25 dan 26 yang semestinya menyuguhkan konklusi dramatis, justru terpaksa dilengkapi dengan cuplikan-cuplikan visual yang minimalis dan narasi monolog internal yang hampir tak tersentuh efek visual. Hal ini jauh dari ekspektasi para penonton yang berharap akan puncak konflik epik antara manusia dan makhluk Angel yang telah dibangun sepanjang serial.
Ketika serial ini selesai ditayangkan, respons publik beragam. Banyak penonton yang kecewa, merasa bahwa Evangelion yang diikuti dengan penuh antusias justru berakhir secara ambigu dan seakan “tak selesai.”
Muncul kritik pedas dan kecaman dari penggemar yang merasa tertipu. Namun, di balik kritik tersebut, juga ada penghargaan mendalam dari mereka yang menyadari bahwa episode-episode akhir ini adalah eksperimen yang jujur dan intim dari Hideaki Anno. Ia memanfaatkan keterbatasan teknis dan anggaran untuk menggambarkan kehancuran psikis tokoh utama, Shinji, dalam bentuk narasi visual yang minimalis.
Namun, Anno sendiri tak merasa puas. Ketidakpuasan penonton turut memengaruhi dirinya, dan ia merasakan dorongan untuk memberikan versi yang lebih lengkap dan menggugah dari akhir kisah ini. Maka, Gainax bersama Anno mengambil keputusan besar: mereka akan membuat sebuah film yang akan mengakhiri Evangelion dalam bentuk yang lebih utuh dan sinematik. Film ini adalah End of Evangelion.
Kesuksesan dan kekuatan End of Evangelion justru lahir dari keterbatasan yang dialami selama serial. Tanpa krisis finansial yang dialami Gainax, mungkin kita tak akan pernah melihat Evangelion dalam bentuk akhirnya yang mentah, penuh emosi, dan berani seperti ini.
Keterbatasan anggaran itu pada akhirnya memberikan kesempatan bagi Anno dan tim untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam dan universal, mengingatkan kita bahwa kadang, kekurangan adalah elemen yang justru memperkaya sebuah karya.
Dalam cara Gainax mengatasi hambatan finansial, terlihat bahwa penciptaan animasi bukan hanya soal tampilan visual yang megah, melainkan juga keberanian untuk menyentuh dan mengutarakan ketidaknyamanan.
End of Evangelion bukan hanya sekadar penutup bagi kisah yang tertunda, tetapi sebuah refleksi atas pencarian diri, pertanyaan tentang eksistensi, dan pergulatan manusia dengan dirinya sendiri—tema-tema yang mungkin tak akan muncul jika produksi berjalan lancar tanpa kendala.
End of Evangelion yang Belum Berakhir
Dalam ending film ini, kita melihat Shinji, sang protagonis, dihadapkan dengan pilihan antara menerima dunia yang seragam tanpa batas antara diri dan orang lain, atau kembali pada realitas yang keras di mana setiap individu terisolasi dalam batas-batasnya.
Di sinilah terjadi peristiwa bernama “Instrumentality” — sebuah konsep di mana setiap orang bisa melebur menjadi satu entitas, hilang ke dalam samudra eksistensi kolektif. Sebuah metafora yang membawa kita pada konflik dasar manusia: antara keinginan untuk dipahami dengan ketakutan akan keterasingan.
Namun, Shinji akhirnya memilih kembali ke realitas, kembali pada rasa sakit yang tak terhindarkan. Keputusannya ini menunjukkan sebuah pesan sederhana tapi pahit: untuk menemukan makna hidup, kita harus menerima diri kita apa adanya, beserta kekurangannya, dalam dunia yang juga tidak sempurna.
Shinji menyadari bahwa kebersamaan yang sempurna hanya ilusi, dan bahwa perasaan kesepian serta rasa sakit adalah harga dari eksistensi manusia yang autentik.
Tetapi, ini bukanlah akhir yang menawarkan kepastian. Shinji kembali bersama Asuka, tetapi dalam keheningan yang aneh dan ambigu. Adegan terakhir, di mana Shinji dengan impulsif mencoba menyakiti Asuka, adalah pengingat bahwa perjalanan menuju pemahaman dan penerimaan diri tidak selesai dengan sekali keputusan. Keduanya masih harus menghadapi trauma yang saling mereka bawa, seperti setiap kita yang selalu membawa jejak luka di balik kulit.
Dengan gaya visual dan narasi yang intens, Anno, sang sutradara, seakan meretas jalur baru dalam bercerita. Setiap adegan, setiap warna, setiap kekosongan pada latar seakan bersuara, berbicara pada kita tentang konflik emosional dan psikologis yang tak selalu terjelaskan.
Akhir dari End of Evangelion bukanlah akhir dalam arti yang kita kenal. Ia lebih merupakan sebuah cermin yang menantang kita untuk melihat ke dalam diri kita sendiri — mempertanyakan, menyelami, dan akhirnya menerima bahwa hidup, dengan segala keindahan dan rasa sakitnya, adalah perjalanan yang tak perlu diberi jawaban yang pasti.
Dan mungkin, itulah makna sejati dari akhir yang ambigu: bahwa kita, seperti Shinji, harus belajar berdamai dengan ketidakpastian yang melekat dalam eksistensi.