Kim Sa-bok, seorang sopir taksi yang, tanpa sengaja, membawa kita dalam perjalanan yang lebih dari sekadar pekerjaan harian. Film A Taxi Driver (2017) bukan sekadar drama sejarah tentang gerakan demokrasi di Gwangju, melainkan sebuah potret dari perlawanan dan kemanusiaan, dengan Kim sebagai saksi hidup yang sederhana dan tulus di tengah represi brutal.
A Taxi Driver mengangkat kisah dari sudut pandang orang biasa yang mendadak terseret arus sejarah. Berangkat dari keseharian yang penuh keluh kesah, kita melihat Kim, yang diperankan dengan apik oleh Song Kang-ho, sebagai sosok yang pragmatis. Ia bukan seorang pahlawan dalam definisi yang klise. Ia hanya sopir taksi yang ingin menghidupi anaknya, tak lebih.
Namun, pertemuannya dengan Peter, seorang jurnalis asal Jerman yang tengah memburu fakta, mengguncang keseharian Kim. Peter bukan sekadar orang asing, ia adalah pengingat bagi Kim bahwa ada kebenaran yang harus dihadapi, meski ia tak memahaminya sepenuhnya.
Interaksi mereka penuh tegangan yang terasa manusiawi; bahasa dan tujuan yang berbeda seolah menjadi dinding, namun dalam diam dan pandangan yang saling tercermin, mereka menemukan sesuatu yang lebih dalam—rasa peduli yang mengalahkan ketakutan.
Sejarah Kekerasan Rezim Korea dalam A Taxi Driver
Menonton A Taxi Driver adalah pengalaman yang membuka mata. Rezim militer yang menindas, rakyat yang berjuang tanpa tahu kapan kekerasan akan berakhir—semua itu tak asing di Asia, tak asing di tanah yang kita pijak.
Begitulah film ini bekerja, mengungkap yang tersembunyi, memberi wajah pada yang tak terlihat. Film A Taxi Driver menggugah kita untuk merenung; bahwa perlawanan terkadang lahir dari yang tak pernah merencanakannya, bahwa perubahan tak selalu digerakkan oleh mereka yang kita anggap pahlawan. Kim adalah representasi dari kita yang sering merasa terlalu kecil untuk menentang ketidakadilan, namun pada saat yang sama tersentuh oleh keinginan untuk bertindak, entah bagaimana caranya.
Kim yang di awal tampak egois—terutama saat ia menerima tawaran Peter demi bayaran lebih—pelan-pelan berubah. Ia melihat dengan matanya sendiri apa yang terjadi di Gwangju: darah, tangisan, nyawa yang hilang, dan ketakutan yang menyelimuti rakyat. Di balik kaca mobilnya, ia menjadi saksi sejarah, tidak lagi sebagai seorang sopir taksi, tetapi sebagai manusia yang dihadapkan pada kebenaran.
Penuturan ini bukan hanya tentang perlawanan, tetapi juga tentang tanggung jawab. Dalam senyum getir dan tatapan lelahnya, Kim menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—bahwa kadang, menjadi saksi pun adalah bentuk keberanian. Mereka yang terjebak di tengah pertempuran yang lebih besar dari dirinya. Melalui kesederhanaan Kim, kita diajak untuk melihat bahwa nilai keberanian tidak selalu bersuara lantang; kadang ia ada dalam diam dan tindakan kecil yang tulus.
Kita mungkin bukan sopir taksi seperti Kim, tapi dalam keseharian kita, di antara rutinitas dan mimpi-mimpi kecil, ada saat di mana kebenaran menuntut untuk dihadapi, ada kepedulian yang lahir tanpa sengaja. Dan mungkin, di sanalah letak kemanusiaan kita, bahwa setiap cerita memiliki tempatnya dalam sejarah, bahkan yang paling sederhana sekali pun.