Film Photography Day 2015: Bandung Bergejolak

Life is like photography, we develop from negatives. Kutipan bijak yang sungguh nggak relevan di era kekinian. Mungkin masih berlaku lah buat manusia primitif yang masih setia pakai roll film ketimbang memory card.

Dan ternyata para homo sapiens tadi masih eksis, buktinya mereka berkumpul ria bersama sesamanya dengan tanpa rasa malu sambil membawa beragam kamera ketinggalan zaman. Dalam momen bertajuk “Film Photography Day”, berbagai kota di pelosok dunia melakukan ritual peringatan, salah satunya Bandung.

Saat dunia terus menghasilkan teknologi terbaru dalam penciptaan foto yang semakin praktis dan ultra-ngebut. Justru secara subkultural muncul para pemotret yang kembali mencicipi metode penciptaan gambar yang lebih tradisional: film. 

Nah, Bandung tentunya punya spesies pemotret satu ini. Maka dibikinlah acara Bandung Bergejolak yang bertepatan dengan Film Photography Day ini. Acara yang diinisiasi juragan Hipercatlab ini mendapat dukungan dari para pecinta kamera analog, utamanya mereka yang telah malang melintang di Instagram. Mengingat pergerakan di Bandung yang masih melempem, dan sekaligus sebagai ajang silaturahmi.

Perburuan foto dimulai dari meeting point di Stasiun Timur Bandung, terus bergerak menuju kawasan Braga dan Asia-Afrika yang sekarang mulai terpancar kesan โ€˜kota tuaโ€™-nya. Sebelumnya saat masih di kawasan Stasiun Timur, kita dibebaskan untuk mengeksplorasi kawasan sekitar, menyebar sampai Kebonjati dan Suniaraja. Genrenya dibebaskan, tentunya urban landscape dan street photography yang paling sesuai.

Berikut deh video dokumentasi bikinan saya, tentunya pakai digital. Mahal kalau direkam sama klise film mah euy.ย Iseng-iseng bikin video biar kayak vlogger Jepang pecinta kamera film, Mijonju.

Saya sendiri masih pemain baru dalam kamera film analog ini, mendalami fotografi aja belum genap setahun. Awal tertarik main besi tua ini gara-gara Kai Man Wong dan Eric Kim, kemudian makin teracuni setelah sering melihat hashtag #35mm, #indo35mmย atau #bdg35mm di Instagram.

Kenapa sampai suka kamera analog? Faktor visual! Ya, jawaban paling banyak yang bakal kita dapatkan dari mereka. Dan memang, saya jatuh cinta karena visual tadi, baik dari tampilan luar kamera-kameranya yang retro, serta hasil fotonya yang selalu bikin kesan unik dan organik.

Why let damn electronic to take control? You have damn people to take control.

Kai Man Wong

Salah satu proses kreatif bernama kontemplasi sering diabaikan di era dimana segalanya serba kilat. Kamera analog mengajarkan kita untuk memahami settingan kamera lebih dalam, mengharuskan kita untuk berpikir sebelum memotret, dan memaksa kita untuk bersabar. Karena tiap jepretan ada duit yang terbuang, dan harga film serta untuk memprosesnya makin hari makin merangkak naik.

Oh ya, satu dosa selalu muncul kalau ikutan hunting fotografi tuh: jadi kurang bersyukur sama kamera yang kita punya. Kutukan Gear Acquisition Syndrome euy. Nikon seri F sama Leica M system emang racun sialan.

Sebenernya yang paling saya sukai dari hunting foto adalah ketika bisa berinteraksi dengan para manusianya yang dijadikan potretan. Sebodoh-bodohnya orang, pasti punya pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka: pengalaman hidup dan persepsi berbeda. Hasil foto estetik hanya sebatas bonus.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1790

56 Comments

  1. Justru fotografer yg seperti ini yg paling jujur…kalo pake digital kan menang di edit nya…iya kan?

    • Post-processing sebenernya bukan aib. Dari dulu pengeditan juga udah ada, cuma beda zaman aja sih. Kalau dulu proses di darkroom, sekarang pindah ke Lightroom.

  2. “Kamera analog mengajarkan kita untuk memahami settingan kamera lebih dalam, mengharuskan kita untuk berpikir sebelum memotret, dan memaksa kita untuk bersabar.”

    ini ngena kang ke hati.

    • Meski bukan lagi masa kejayaannya, kamera film ini masih banyak yg mencintai.
      Makasih kang, iseng-iseng aja bikin video atuh.

  3. Makin keren aja nih mas Arif. Jadi udah berapa dosa yang dikumpulin setiap ngumpul bareng homo sapiens yang membawa kamera ketinggalan zaman?

    Itu backsoundnya musik apa ya? pas banget sama suasana di video.

  4. emang masih ada yang layanin cuci cetak poto analog ya..?
    liat banyak yang tutup kirain udah ga ada lagi makanya kamera jadulku dipensiunkan
    *aslinya ga kuat modal buat beli film hehe

    • Taunya cuma Jakarta sama Malang ngadain juga, tapi workshop dan bazaar gitu. Coba aja telusuri hashtag #jogja35mm, pasti ada lah temen-temen penyuka kamera analog di sana.

  5. Aih, gue udah lama banget nggak megang kamera analog gitu, Rip. Dulu tuh kamera analog maenan gue masa kecil. Gue hobi banget motret pake kamera analog.Persetan sama harga roll film yang lumayan mahal. Yang penting jepret sana-jepret sini. Apa aja gue potretin. Hahaha. Kangen euy masa-masa itu. Pengen coba motret pake kamera analog tapi beli roll filmnya juga udah susah. Mulai langka sih yang jual roll film. Hot damn digital camera. -_-

    Anyway gue suka banget kata-kata terakhirnya. Dan iya sih gue suka kepikiran juga hal-hal itu. Motret emang nggak sekadar motret.

    • Susah dapetinnya, tapi bukan berarti ga ada. Bisa tuh dihidupin lagi kamera masa kecilnya, mungkin spirit memotret waktu dulu itu ikut tertanam lagi.

  6. Filosofinya kamera analognya dapet ya..
    Mengajarkan banyak hal. Salah satunya berpikir beberapa kali sebelum bertindak (motret), soalnya roll-nya terbatas. :’D

    Videonya alus, kang Arip.

  7. Kamera analog, terdengar cukup kuno dan membuat saya respek sama mereka yang begitu sabar dan berhati-hati. Barangkali hati mereka juga sama ๐Ÿ™‚

  8. Wuiiih.. Mancap meracap, Rif! ๐Ÿ˜€

    Kapan kita kopdaaaar.. Aku mau difoto soalnya. Mueheheh ๐Ÿ˜›

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *