Final Fantasy VIII Menyoal Maskulinitas dan Penerimaan Diri

“Kenapa kita harus membaca yang klasik?” tanya Italo Calvino dalam Why Read the Classics. Karena di sana, di balik segala waktu dan usia yang berdebu, ada rasa yang tetap menyala. Kalimat ini merembes masuk saat saya kembali menyusuri Final Fantasy VIII, menyambut remaster yang akan datang, sebuah permainan video yang lebih seperti sajak yang kau mainkan, lebih seperti elegi yang berkisah lewat tokoh yang terluka dalam senyap.

Lebih dari dua puluh tahun berlalu, dan seri Final Fantasy ketujuh ini tetap setia, seperti kenangan yang tak rela hilang. Final Fantasy VIII bukan sekadar permainan.

Layaknya sebuah novel yang kau baca berulang-ulang atau film hitam putih yang kau putar saat larut malam, ia menyimpan lapisan yang menunggu untuk diurai, memberi ruang pada makna yang bersembunyi di sela-sela petualangan.

Gim, yang katanya hiburan semata, kadang berubah menjadi seni—menjadi protes terhadap keteguhan dunia yang memaksa kita memakai topeng.

Antara Cinta dan Luka: Kisah Maskulinitas Squall di Final Fantasy VIII

squall leonhart final fantasy viii

Di Balamb Garden, Squall Leonhart adalah badai yang tak pernah reda. Ia hujan yang menggulung dalam dirinya sendiri, sunyi dan diam, sebuah sosok asing di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia. Seperti namanya, ia adalah badai dalam bentuk anak muda, diam dalam keterasingan yang ia ciptakan dan ia derita. Siapa yang mendengarnya? Siapa yang tahu beban yang ia pikul?

Di dunia yang sarat institusi militeristik, maskulinitas Squall dibentuk dengan ketat. Dia adalah batu cadas, terpaksa membeku di tengah derasnya aliran norma. Sebuah wajah yang harus selalu keras dan tegar, sebuah senyum yang tak pernah diizinkan untuk hadir.

Lelaki seperti Squall hidup dalam cangkang maskulinitas yang keras, namun rentan, di mana setiap emosi yang merembes keluar menjadi ancaman, menjadi tanda kelemahan.

Maskulinitas yang beracun, atau kata orang modern, toxic masculinity, adalah ketika lelaki tak boleh bersedih, tak boleh takut, tak boleh bingung. Mereka harus gagah, harus menang, harus teguh.

Pada awal tahun ini, American Psychological Association bahkan mengakui bahwa norma maskulinitas ini menuntun pria menuju jurang yang dalam—depresi, kecemasan, kesepian. Dan di sinilah Squall berada, berdiri di antara keterasingan dan keengganan membuka diri. Setiap luka yang ia rasakan adalah luka yang ia sembunyikan, seperti tumpukan gelap yang ia tutupi dengan ketegaran yang palsu.

Namun kemudian datanglah Rinoa, membawa terang yang lembut dan keras kepala yang manis. Dia perempuan yang mendobrak dengan caranya sendiri, berani melawan, naif namun penuh keberanian.

Sentuhan Rinoa, Mendengarkan Sunyi Squall

rinoa squall leonhart final fantasy viii love story

Rinoa menuntun Squall, bukan seperti dewi yang turun menyelamatkan, tetapi sebagai teman yang ingin tahu di mana letak luka yang harus sembuh. Dengan suara pelan, ia berkata, “Kami ingin kamu lebih banyak bicara dengan kami… Kami harap kamu bisa mengandalkan kami.”

Kata-kata itu mungkin tak terdengar bagi Squall pada awalnya. Namun seperti air yang mengikis batu, perlahan-lahan, ia mulai membuka tembok dirinya.

Dalam ruang angkasa yang sunyi, dalam pelukan ketidakpastian dan lagu Eyes on Me, mereka terdampar bersama. Sebuah adegan yang lebih dari sekadar momen cinta—ia menjadi puisi tanpa suara, sebuah kesadaran bahwa di dunia ini, yang kita butuhkan hanya kehadiran orang lain.

Melalui Squall, kita melihat bagaimana maskulinitas bisa menjadi belenggu, bisa menjadi kedok yang membakar dari dalam. Dalam Final Fantasy VIII, lelaki tak harus selalu gagah dan perkasa. Mereka boleh saja diam, tetapi diam bukan tanpa rasa. Squall hanya membutuhkan seseorang yang melihat melampaui topeng yang ia kenakan. Dia tak butuh untuk diubah menjadi pahlawan; ia hanya perlu seorang teman yang bersedia mendengarkan luka-lukanya.

Pertemuan antara Squall dan Rinoa adalah lebih dari sekadar cerita cinta. Ini adalah kisah tentang manusia yang berusaha saling memahami, saling mengisi, saling menjaga tanpa memaksa yang lain untuk berubah demi dirinya.

Final Fantasy VIII adalah roman yang penuh luka, sebuah ode yang ditulis dengan getaran sunyi dari lelaki yang mencoba berdamai dengan rasa takutnya, dengan kesepiannya.

Dalam kisah ini, saya belajar bahwa mungkin bukan cinta yang kita cari di dunia ini, tetapi sepi yang bisa kita bagi, luka yang bisa kita sembuhkan bersama. Di balik topeng maskulinitas, di balik perang yang berkecamuk dalam hati, kita hanya ingin tahu bahwa ada seseorang yang mau mendengar.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1924

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *