Final Fantasy X: Kontemplasi Trauma dan Keindahan yang Membelenggu

Dalam Final Fantasy X, dalam dunia Spira yang sarat warna-warni serta tragedi, kita menemukan bentuk kisah yang tampaknya sederhana: perjuangan, cinta, pengorbanan.

Namun, di balik kisah ini terletak potongan-potongan trauma kolektif, sistem kepercayaan yang mengopresi, dan sebuah estetika yang memainkan paradoks keindahan dalam kehancuran.

Dengan kata lain, seri kesepuluh Final Fantasy ini bukan sekadar permainan; ia adalah sebuah sinema ideologis yang menyelubungi pesan-pesan terpendam tentang eksistensi dan identitas dalam simulasi estetika.

Realitas Simulakra di Dunia Spira

Dunia Spira adalah paradoks dalam dirinya: sebuah tempat yang dikuasai oleh ketakutan akan “Sin,” makhluk raksasa yang terus menghancurkan kota dan desa dalam lingkaran tanpa akhir.

Menarik bahwa Sin sendiri bukan sekadar “raja terakhir,” tetapi simbol yang lebih besar dari siklus penderitaan tanpa henti. Kita melihat sebuah komunitas yang tunduk pada ketakutan ini sebagai bentuk dari dominasi ideologis yang menyamar sebagai “agama.”

Sin menjadi representasi nyata dari apa yang dalam istilah psychoanalysis kita sebut sebagai das Ding—objek trauma yang tidak dapat sepenuhnya dipahami tetapi secara konstan menghantui kehidupan manusia.

Sin adalah representasi dari semua ketakutan dan kesalahan masa lalu Spira, yang diproyeksikan ke dalam bentuk fisik yang bisa dilawan, tapi tidak pernah benar-benar dimusnahkan. Ia adalah ironi dari eksistensi manusia itu sendiri—menghadapi monster ciptaan diri kita sendiri yang tak bisa kita lenyapkan.

Yevon: Ideologi dan Represi Sistemik

Yang menarik adalah bagaimana agama Yevon bekerja dalam konteks permainan ini sebagai alat ideologis yang justru memperkuat teror ini.

Masyarakat Spira diajarkan untuk menyembah Yevon dan menerima penderitaan mereka sebagai bentuk penebusan. Namun, dalam perjumpaan Tidus dengan Spira, ia menemukan absurditas dari sistem yang begitu fatalistik ini.

Tidus adalah seorang asing yang memiliki sudut pandang yang cukup berbeda: ia mempertanyakan mengapa masyarakat harus terus-menerus mengorbankan diri dalam siklus ritual ini.

Ini adalah analogi yang mengingatkan kita pada kritik ideologi Marxian—bahwa agama adalah opium bagi rakyat. Ia adalah alat represi, bukan karena ia mendorong iman, tetapi karena ia menjustifikasi penderitaan dan menormalisasi eksploitasi.

Dengan menjadikan Sin sebagai ancaman yang kekal, Yevon mendorong rakyat untuk berserah pada takdir mereka alih-alih mencari alternatif.

Namun, Final Fantasy X juga menggambarkan resistensi terhadap ideologi ini, yang diperlihatkan dalam karakter Yuna dan teman-temannya. Mereka menyadari bahwa tujuan mereka lebih besar dari sekadar mengalahkan Sin.

Pertanyaan kritis yang melingkupi permainan ini adalah: apa yang sebenarnya diinginkan Yuna dan kawan-kawannya? Menaklukkan Sin? Atau membebaskan diri dari ikatan ideologis yang memaksa mereka untuk tunduk?

Tidus: Keberadaan yang Tak Nyata dan Trauma Keluarga

Tidus, protagonis kita, adalah karakter yang menarik. Ia bukan hanya seorang pahlawan; ia adalah makhluk yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu, di mana realitasnya ternyata ilusi belaka.

Fakta bahwa ia adalah “mimpi” dari makhluk bernama Fayth menggambarkan bagaimana trauma personal dan sosial sering kali beroperasi di tingkat bawah sadar kolektif. Tidus mewakili ingatan yang tak bisa dilepaskan, tetapi yang pada akhirnya harus dilepaskan untuk membebaskan dunia dari siklus penderitaan.

Hubungan Tidus dengan ayahnya, Jecht, memperlihatkan trauma pribadi yang kemudian membesar menjadi trauma kolektif.

Jecht, yang berubah menjadi Sin, bukan hanya monster literal tetapi juga simbol dari luka keluarga dan ketegangan psikologis yang melumpuhkan.

Perjuangan Tidus bukan hanya melawan Sin, melainkan juga melawan bayang-bayang sosok ayah yang menuntut pembuktian. Ia adalah pertemuan antara trauma individual dan kolektif yang kemudian terwujud sebagai bentuk monster yang menakutkan.

Keindahan Visual dan Musik: Ideologi dalam Estetika

Tidak mungkin membahas Final Fantasy X tanpa membicarakan keindahan artistiknya.

Mulai dari pemandangan Kilika yang hancur, laut yang melambai dengan anggun, hingga latar belakang orkestra “To Zanarkand” karya Nobuo Uematsu yang menyayat hati.

Semua ini menambahkan lapisan emosi yang mendalam, namun sekaligus mengarahkan kita pada refleksi bahwa keindahan ini hanyalah permukaan dari penderitaan.

Dalam kata lain, estetika permainan ini bukan sekadar hiburan; ia adalah cara agar penderitaan bisa diterima. Keindahan menjadi alat yang menyamarkan represi, membuat kita terlena dalam narasi yang tragis dan penuh kesedihan.

Final Fantasy X membuat kita jatuh cinta pada dunia Spira, hanya untuk kemudian menunjukkan bahwa dunia itu sendiri dibangun di atas dasar penderitaan yang dalam.

Pembebasan dalam Final Fantasy X

Final Fantasy X tidak berakhir dengan kemenangan. Kematian Tidus adalah perwujudan dari pembebasan dari siklus.

Dalam istilah psikoanalisis, ini adalah titik di mana kita menyadari bahwa objek yang kita kejar selama ini bukanlah kunci kebahagiaan, tetapi sesuatu yang harus kita lepaskan agar kita dapat berkembang. Masyarakat Spira tidak sepenuhnya bebas, tetapi mereka akhirnya memiliki pilihan untuk menciptakan sistem baru.

Pada akhirnya, Final Fantasy X adalah refleksi dari dunia kita sendiri—tentang bagaimana kita terperangkap dalam lingkaran kepercayaan yang menenangkan namun menekan, dan bagaimana trauma yang kita wariskan menjadi beban kolektif.

Permainan ini menantang kita untuk mempertanyakan: apakah kita akan tetap setia pada keyakinan yang membawa kita pada penindasan? Atau, seperti Yuna dan Tidus, beranikah kita untuk memutus lingkaran itu dan membangun dunia baru?

Kita perlu menolak godaan untuk berpegang pada keindahan dan ideologi yang menenangkan. Sebaliknya, kita perlu menghadapi kenyataan penuh derita, karena hanya dengan begitu kita bisa mencapai pembebasan sejati.

Final Fantasy X mengajarkan bahwa pembebasan tidak datang dari kemenangan melawan musuh eksternal, tetapi dari keberanian menghadapi hantu-hantu dalam diri kita dan dalam masyarakat yang membentuk kita.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1889

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *