Fullmetal Alchemist: Brotherhood yang Penuh Keajaiban

Kecewa dengan musim terakhir Game of Thrones yang jadi sinetron banget, Fullmetal Alchemist Brotherhood ampuh menutupi kedumelan saya.

Ini memang tipikal anime shonen: pertempuran dengan kekuatan menyilaukan, protagonis muda yang keras kepala, organisasi penjahat bawah tanah, karakter pendukung yang penuh warna, fiksi ilmiah, dan tema fantasi, dan gagasan soal harga diri dan pengorbanan. Mungkin karena digarap mangaka perempuan, klise shonen yang biasanya laki banget itu terasa berbeda.

Di samping itu, Fullmetal Alchemist bermain-main dengan gagasan nihilisme yang merambat buddhisme, kepercayaan bahwa hidup tidak ada artinya, serta bahwa hidup melulu soal kemalangan, dan epistemologi, menyoal hakikat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan, serta banyak tema filosofis lain.

Serial ini mengeksplorasi masalah sosial, termasuk diskriminasi, kemajuan ilmiah, ketamakan politik, persaudaraan, keluarga, dan perang, kemudian mengikat semua tema tadi untuk membangun argumen yang lebih luas tentang kehidupan itu sendiri dan bagaimana kita, sebagai manusia, memilih untuk menjalaninya.

Dengan 64 episode, ia punya pace tangkas yang membuat aksi terus berjalan, sementara terus memajukan berbagai alur cerita yang berbeda. Menyajikan narasi enak, yang enggak saya nikmati di musim terakhir Game of Thrones.

Sudah lama saya enggak nonton anime, lalu kenapa saya menonton anime yang dirilis sepuluh tahun lalu? Awalnya karena butuh obat antidepresan, lagu-lagu anime jadul seperti Samurai X dan Inuyasha saya putar, Youtube dengan algoritmanya kemudian secara acak menyodorkan lagu opening Fullmetal Alchemist ini.

Terjemahan lirik lagunya dan adegan yang ditampilkan bikin saya tertarik, namun hanya sampai sana. Lagu opening pertama (Yui – Again) dan ketiga (Sukima Switch – Golden Time Lover) terus saya putar. Sampai kemudian, Elon Musk mengganti avatar twitter miliknya dengan foto anime, seorang protagonis Fullmetal Alchemist. Saya makin penasaran dengan anime ini dan memutuskan mencoba episode pertamanya.

Filosofi di Balik Fullmetal Alchemist: Brotherhood

Fullmetal Alchemist menceritakan kisah Edward dan Alphonse Elric, dua saudara lelaki yang mencoba menggunakan alkimia untuk mengembalikan ibu mereka yang sudah meninggal, untuk kemudian mendapati hanya kemalangan yang mereka dapatkan: Ed kehilangan satu kaki dan lengannya dan Al kehilangan seluruh tubuhnya.

Dengan premis ini, Fullmetal Alchemist menetapkan kehilangan sebagai tema utama, dan ini menjadi sesuatu yang terus berjalan di sepanjang seri dan terkait dengan banyak karakternya. Apakah itu kemanusiaan yang hilang dari Scar, atau anak Izumi Curtis yang hilang; begitu banyak karakternya dan alur cerita Fullmetal Alchemist melibatkan gagasan kehilangan dan bagaimana tiap karakternya mengatasi hal itu.

Tentu saja, kita tak bisa berbicara tentang Fullmetal Alchemist tanpa menyebut pembuatnya Hiromu Arakawa. Setelah membaca tentang konsep Batu Bertuah atau Batu Filsuf, Arakawa tertarik untuk menciptakan karakter yang menggunakan alkimia dalam manga.

Baca juga: 10 Manga Shonen Karya Penulis Perempuan

Dia mulai membaca buku tentang alkimia, yang menurutnya rumit karena beberapa buku saling bertentangan. Arakawa lebih tertarik pada aspek filosofis ketimbang aspek praktis. Untuk konsep pertukaran setara, bahwa untuk mendapatkan sesuatu kita harus kehilangan sesuatu yang bernilai sama pula, Arakawa terinspirasi oleh karya orang tuanya, yang memiliki pertanian di Hokkaido dan bekerja keras untuk mendapatkan uang untuk makan.

Arakawa harus benar-benar dipuji karena telah menciptakan salah satu manga paling menarik sepanjang masa. Arakawa ingin mengintegrasikan masalah sosial ke dalam ceritanya. Ia menonton program berita televisi dan berbicara dengan para pengungsi, veteran perang dan mantan yakuza.

Ketika menciptakan dunia fiksi dari Fullmetal Alchemist, Arakawa terinspirasi setelah membaca tentang Revolusi Industri di Eropa; dia terkagum-kagum dengan perbedaan budaya, arsitektur, dan pakaian pada zaman itu dan perbedaan budaya mereka sendiri. Dia terutama tertarik pada Inggris selama periode ini dan memasukkan ide-ide ini ke dalam manga.

Meskipun awal-awal kisah terkesan agak formulaik, kompleksitasnya tumbuh seiring dengan perkembangannya. Arakawa salah satu yang terbaik dalam menciptakan adegan aksi dan karakter perempuan yang hebat meskipun ini adalah manga laki. Cerita begitu gelap dengan adanya isu-isu dunia nyata seperti korupsi pemerintah, perang dan genosida.

Manga Fullmetal Alchemist ini diadaptasi menjadi dua serial anime: adaptasi yang setengahnya keluar dari manga karena belum rampung, yang dirilis pada tahun 2003-2004, dan penuturan kembali yang lebih setia pada manga pada 2009-2010 berjudul Fullmetal Alchemist: Brotherhood ini.

Fullmetal Alchemist: Brotherhood penuh dengan kesedihan dan emosi, tetapi juga diselingi dengan saat-saat riang dan kocak. Serial yang sangat komikal, tetapi yang penting adalah bahwa anime ini tahu kapan harus serius dan kapan harus bermain-main secara komedik. Campuran komedi, aksi, drama, dan bahkan sedikit percintaan.

Fullmetal Alchemist berhasil mengejutkan dengan nada yang sangat matang dan serius. Ada banyak tragedi dan beberapa momen bahkan menakutkan dan mengesankan. Keseimbangan sempurna antara hiburan mainstream dengan drama dan tragedi yang memilukan. Menonton anime ini adalah pertukaran setara dalam sebaik-baiknya menghibur diri.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1789

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *