Gadis-Gadis Pabrikan [2/2]

factory girls snsd the new yorker

Neil Jacobson adalah seorang eksekutif berusia tiga puluh lima tahun di departemen A. & R. di Interscope Records, salah satu label Universal Music Group, yang bertugas membuat album debut Girls’ Generation di Amerika. Ketika saya bertemu dengannya, di sudut ruang kerjanya yang besar di kantor pusat Interscope, di Santa Monica, ia mengenakan celana jins dan jaket rajutan abu-abu bertudung. Jacobson memiliki mata yang luar biasa besar, dan ia memiliki kebiasaan berdiri dekat-dekat dan mengarahkan bola padamu, membesarkan hatimu untuk ikut memikirkan keputusan membingungkan yang akan dia buat.

Jacobson mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan Ketua Lee di Hong Kong, dan bahwa mereka menghadiri konser Girls’ Generation bersama-sama. “Ini membuat saya tercengang betapa konseptualnya konser tersebut!” Jacobson berseru, memperlihatkan kepada saya mata terbelalaknya. “Setiap hal kecil dipikirkan. Setiap lagu seperti sebuah epik mini! Dan para fans—oh, Tuhan!” Dia berhenti sejenak, sedikit terhuyung oleh kenangannya.

Tantangan Jacobson adalah untuk membuat sebuah album yang menyoroti Ke-Korea-an Girls Generation—kemanisan dan kemurnian khas yang membedakan mereka dari pop lainnya—sementara membuat musik terdengar cukup urban sehingga bisa masuk radio dan setara dengan, katakanlah, Nicki Minaj atau Rihanna, yang bisa memperkenalkan suara dan gaya K-pop untuk fans mereka. Rapper dan produser Swizz Beatz telah membicarakan keinginannya untuk memasangkan Chris Brown dengan BIGBANG dari Y.G., boyband lima anggota, dan Nicki Minaj dengan grup sukses lainnya dari agensi ini, 2NE1, grup gadis empat anggota dengan mode terdepan. “Menjembatani kesenjangan dengan kolaborasi dapat menjadi awal dari sebuah fenomena global,” katanya kepada majalah musik The Fader. Namun sejauh ini hanya PSY yang berhasil dekat dengan menjembatani kesenjangan budaya pop Timur-Barat, dan itu masih harus dilihat apakah keberhasilannya hanya akan menjadi fenomena satu kali, seperti bintang dari Asia lainnya yang mencapai puncak tangga lagu AS dengan bernyanyi dalam bahasa aslinya, yakni penyanyi Jepang Kyu Sakamoto, dengan lagu “Sukiyaki” yang menduduki puncak Billboard Hot 100 pada tahun 1963.

Intruksi untuk membuat album Girls’ Generation untuk pasar AS datang dari atas. Max Hole, seorang eksekutif di divisi internasional Universal, mengatakan kepada saya, “Saya terus mengawasi apa yang terjadi di Jepang, jadi tentu saja aku menyadari bahwa Girls’ Generation telah menjadi amat besar, dan mereka melakukan tarian yang tersinkronisasi—sebuah pemandangan yang sangat memikat—dan saya pikir lagu-lagunya hebat. Jadi, pada salah satu pertemuan kami yang dihadiri semua kepala divisi Amerika Utara, saya memutar Girls’ Generation untuk mereka. Dan Jimmy Iovine”—pemimpin Interscope—” mengatakan, ‘Ini adalah rekaman yang benar-benar bagus’. Dan diputuskan bahwa kami harus mencoba Girls’ Generation di Amerika.”

Seperti yang lain-lain di industri rekaman, Hole ingin melakukan bisnis di Cina, yang suatu hari akan menjadi pasar terbesar di dunia.  Pertanyaannya adalah kapan itu akan terjadi. Ketika saya bertanya pada Hole, ia menjawab, “Cina jelas kesempatan besar bagi kami dalam waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang.” Dia menambahkan, “Saat ini, pasarnya sangat kecil, tapi kami membuat uang lewat endorsement dan tur.” Berkolaborasi dengan SM untuk rekaman AS bagi Girls’ Generation bisa mengarahkan ke kolaborasi lainnya di Cina, di mana S.M. mempunyai jaringan lebih baik ketimbang Universal.

“Memang, itu adalah target jangka pendek,” Hole melanjutkan, beralih soal peluang Girls’ Generation di AS. “Tidak ada banyak preseden untuk yang berbahasa non-Inggris tampil di Amerika. Rammstein”—sebuah band bergenre metal industrial dari Jerman—”telah melakukan dengan baik, meskipun sekarang hanya menjalankan tur. Ada beberapa penyanyi solo berbahasa Spanyol yang melakukannya dengan baik, tapi ada sangat sedikit preseden bagi kelompok yang bernyanyi dalam bahasa lain. Kelompok Swedia seperti ABBA bernyanyi dalam bahasa Inggris, bahkan di Swedia.”

“Tak pelak lagi, ada sembilan dari mereka,” kata Neil Jacobson soal Girls’ Generation. “Menginginkan Amerika untuk menerima sembilan gadis tidak akan mudah.” Grup laki dan perempuan jarang berjumlah lebih dari lima—One Direction, boy band lima anggota dari Inggris, adalah kelompok terbaru yang menaklukkan AS—dan pemasar bersusah payah menekan individualitas dari masing-masing anggotanya. Tapi Girls’ Generation tampaknya lebih besar namanya ketimbang tiap anggota-anggotanya.

Tur, yang label andalkan agar dilakukan Girls’ Generation, juga bisa menjadi masalah. Di Korea, promosi rekaman hampir seluruhnya dilakukan lewat penampilan di televisi. Selama tinggal seminggu di Seoul, saya melihat anggota Girls’ Generation di TV setiap malamnya. Di AS, dengan pengecualian ajang penghargaan, yang jarang terjadi, hanya ada sedikit acara TV format prime-time untuk mempromosikan musik pop; artis harus mengandalkan radio dan tur konser untuk membangun massa pengikut. “Aturan lazimnya untuk penampilan berbahasa Inggris adalah bahwa mereka sepuluh bulan melakukan tur di sini juga di Eropa dan satu bulan di Asia,” kata Jacobson. “Tapi gadis-gadis ini sepuluh bulan di Asia.” Endorsement produk merupakan bagian yang signifikan dari pendapatan Girls’ Generation yang memiliki lebih dari empat puluh kesepakatan endorsement di Asia, dari ponsel hingga ayam panggang. Tinggal lebih lama di Barat akan mengakibatkan terkena “oppurtunity cost” yang signifikan, sebut agen di Y.G. pada saya, dalam bentuk pendapatan iklan yang hilang, dan, lebih buruk lagi, absen dari TV.

Wonder Girls, yang telah menjadi grup gadis terbesar dalam K-pop, menghabiskan dua tahun di New York untuk mencoba, namun tak berhasil, dalam rangka menembus pasar Amerika, sementara mereka dikalahkan di kandangnya oleh Girls’ Generation. Beberapa orang yang saya temui di agensi menyebut ini sebagai satu kisah peringatan.

“Dan aku tidak ingin mereka hanya melakukannya di New York, Chicago, L.A.,” Jacobson melanjutkan, mondar-mandir di kantornya. “Aku ingin mereka untuk pergi ke Alabama dan Missouri dan Kansas. Kami membutuhkan mereka untuk makan, bernapas, dan tidur di sana. Sehingga ini akan menjadi negosiasi yang menarik.”

Pada akhirnya, Jacobson menghadapi teka-teki yang sama seperti Lee Soo-man: bagaimana kau bisa menciptakan musik yang menarik bagi Timur dan Barat, tanpa mengasingkan para penggemar baik di keduanya? Jacobson mengatakan bahwa ia mengangkat ratusan lagu dari berbagai penulis lagu—Asia, Amerika, dan Eropa—karena semakin banyak penulis Barat menyadari potensi K-pop. “Aku tidak ingin kehilangan cita rasa Asia. Aku ingin lagu yang menyuarakan nama Girls’ Generation namun juga bersuara dengan bunyi Amerika sekarang.”

*

Setengah jam sebelum konser Anaheim, saya di belakang panggung, hendak bertemu Tiffany dan Jessica, dua anggota dari Girls’ Generation yang lahir dan dibesarkan di AS, yang keduanya masih berada di awal dua puluhan. Seorang pria dari S.M. membimbing saya melalui labirin ruang ganti, di mana para idol, terutama lelaki, yang rambutnya sedang sibuk ditata dan pakaian mereka disesuaikan. Ada banyak yang membungkuk tergugup. Pemandu saya mendesak saya, mengatakan pertanyaan apa yang tidak boleh ditanyakan pada Girls’ Generation. “Apakah sedih untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman yang tidak berhasil debut?” Katanya. “Apakah Anda punya pacar?” Dia berhenti sejenak. “Ini semua akan sampai ke Korea, dan itu bakal sedikit berbeda di sana,” katanya . “Jadi jika bisa, kita menjauh dari pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti soal pacar.”

Saya mulai dengan menanyakan keduanya tentang tantangan yang mereka hadapi dalam beradaptasi dengan budaya Korea. “Saya pikir saya akan dapat menyesuaikan, karena orang tua saya berbicara Korea di rumah,” kata Tiffany. “Tapi saya bahkan tidak menyangka betapa berbedanya. Kultur Amerika sangat terbuka dibandingkan dengan kultur Korea, yang benar-benar konservatif. Jadi ketika saya, misalnya, bilang ‘Hai!’ namun mereka, akan menyuruh, ‘Anda tidak mengatakan “Hai!” Anda harusnya membungkuk!'”

Dan bagaimana keadaan hidup mereka sekarang? Tiffany mengatakan, “Enam dari kami hidup bersama, dan tiga lainnya hidup dalam jarak satu menit berjalan. Jadi kita akan selalu bolak-balik ke rumah masing-masing.”

Apakah para netizen meributkan pergerakan mereka di Internet?

“Ya, itu benar,” kata Jessica. “Aku berada di sebuah restoran dan bakal muncul di Twitter, hanya dalam waktu, sepuluh menit.”

“Bagaimana rasanya hidup seperti itu?” Saya bertanya.

“Saya pikir kami telah dibesarkan untuk bersikap hati-hati dan mengemban tanggung jawab terhadap segala tindakan kami, apabila telah berada dalam posisi ini,” kata Tiffany. Dia menambahkan, “Kami selalu tinggal dalam rumah.”

Saya menyebutkan ada sebuah berita yang saya telah baca tentang bagaimana Girls’ Generation mencoba untuk menyamarkan diri mereka di jalan-jalan Seoul, tapi hanya dari anggota badannya saja—bentuk lengan dan kaki mereka—dapat membuka kedok mereka. Apakah itu benar?

“Memang,” kata Tiffany, melirik lengannya sebagai bentuk tuduhan. “Ini begitu. . . ” ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat untuk diucapkan. “Ganjil namun keren!”

Dari dalam gelanggang terdengar suara lolongan rendah yang panjang—teriakan para fans, yang menanti-nanti idol untuk muncul.

“Oke, kita harus pergi,” pria dari S.M. itu berkata.

Tapi aku punya satu pertanyaan pribadi untuk Tiffany. “Senyum mata Anda: apakah Anda mempelajarinya atau itu alami?”

“Tidak,” jawab Tiffany, cekikikan. “Ayah saya tersenyum seperti ini.” Dia memberi senyum-matanya pada saya dari jarak dua kaki: sebuah sentakan teknologi budaya murni.

Saat saya sedang berjalan kembali ke pintu masuk panggung, saya mendapati sebuah lingkaran para idol yang berkumpul mengelilingi seorang pria mungil dalam setelan biru tua. Dia diam-diam memberikan semacam nasihat; kadang-kadang, ia berhenti dan kelompok akan membalas berteriak. Bergerak sedikit lebih dekat, saya mengenali Lee Soo-man. Saya terkesan dengan perhatian penuh pada “keluarga”-nya yang selalu tergantung pada setiap katanya. Dia mengarahkan sambutannya pada EXO, kelompok Cina-Korea barunya; kesemua dua belas anggota hadir. Dengan masing-masing berteriak, keduabelas anggota EXO membungkukkan pinggang dalam-dalam.

*

Tidak semua anggota keluarga S.M. dekat dengan Ketua Lee. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa anggota keluarga telah menggugat perusahaan atas perlakuan kasar yang diterima dan disebut “kontrak perbudakan.” Mungkin kasus yang paling terkenal adalah Han Geng, seorang penari kelahiran China, berbahasa Mandarin. S.M. menemukan dia di Beijing pada tahun 2001, dan ia memulai debutnya sebagai anggota Super Junior pada tahun 2005. Pada tahun 2009, ia menggugat perusahaan, antara lain, karena memaksa dia untuk menandatangani kontrak selama tiga belas tahun ketika ia berusia delapan belas; membayarnya hanya sebagian kecil dari keuntungan yang diperoleh; denda saat dia menolak untuk melakukan hal-hal yang diminta perusahaan; dan membuatnya bekerja selama dua tahun berturut-turut tanpa satu hari libur, yang diakui Han menyebabkannya menderita gastritis dan penyakit ginjal. Pengadilan Korea memutuskan mengabulkan permohonan Han, namun tak lama setelah ia memutuskan mengundurkan gugatannya. Karena ia telah meninggalkan grupnya.

S.M. awalnya membela diri atas kontrak jangka panjang dengan merujuk biaya tempat tinggal, makan, dan pelatihan rekrutmen selama lima tahun atau lebih, yang bisa sampai jutaan dolar. Tapi kehebohan atas “kontrak perbudakan” merusak reputasi S.M. di antara para netizen, dan dalam beberapa tahun terakhir kontrak telah menjadi lebih adil. Anggota Girls’ Generation dikabarkan menandatangani kontrak untuk tujuh tahun, dengan gaji satu juta dolar setahun, yang nyaris tidak bisa tidak disebut eksploitatif.

Agensi lainnya yang menggunakan sistem pabrik gaya-S.M. mungkin kurang progresif. Pada bulan Februari 2011, tiga anggota KARA, grup gadis yang sangat populer dari DSP, satu agensi yang lebih kecil, mengajukan gugatan yang mengklaim bahwa, meskipun grup memperoleh ratusan ribu dolar dari agensi, setiap anggota hanya dibayar seratus empat puluh dolar sebulan. Agensi membantah angka itu, dan akhirnya kedua belah pihak berdamai. Pembatasan ketat yang diberlakukan beberapa agensi pada idolnya telah dipublikasikan secara luas di Korea. Agensi kecil lain, Alpha Entertainment, melarang anggota perempuan untuk memiliki pacar dan melarang makan atau minum setelah pukul 19:00, menurut Straits Times, koran berbahasa Inggris di Singapura. Mereka tidak diizinkan untuk pergi ke mana pun tanpa pengawasan. Ketika koran menanyakan ibu Ferlyn, salah satu trainee Alpha, soal bagaimana perasaannya tentang rejimen putrinya, ia menjawab, “Apa yang dilalui gadis-gadis sejauh ini cukup masuk akal. Perusahaan telah menginvestasikan banyak hal pada mereka, sehingga mereka harus bekerja keras untuk perusahaan. Saya tidak khawatir tentang Ferlyn. Saya ingin dia mengikuti impiannya dan menjadi besar.”

Ketika sebuah industri hiburan masih muda, para pemodal memiliki semua kuasa. Pada masa-masa awal bisnis film, studio Hollywood mengikat bakat-bakatnya dalam kontrak jangka panjang. Dalam bisnis rekaman, menarik kembali jutaan artis, banyak dari mereka akhirnya pecah, telah menjadi praktek bisnis yang lazim. Ketika kau mereplikasi bisnis hiburan Amerika, dan menambahkan kebajikan Konfusius soal penghormatan kaku pada yang lebih tua untuk hubungan tradisional yang tidak sama antara artis dan atasan, konsekuensinya bisa jadi keji.

Ironisnya, untuk semua uang yang agensi investasikan dalam penciptaan-idol, keberhasilan PSY, bintang pop Korea pertama yang meledak di AS, terjadi sebagian besar di luar sistem pabrik. PSY memang bagian agensi Y.G., tapi dia tidak pernah menjadi materi idol. Album pertamanya, “PSY from the PSYcho World!,” disebut “konten yang tidak pantas,” dan yang kedua, “Ssa 2,” dilarang untuk siapapun yang berusia di bawah sembilan belas. Pada tahun 2001, ia ditangkap dan didenda karena merokok ganja, dan, saat masa tugas wajib militer, dia mangkir tugas dan harus mengulang pelayanan lagi. Dia memang bintang pop Korea, tapi bukan K-pop, dan dengan komentar satirnya akan standar K-pop dalam “Gangnam Style,” PSY mungkin telah menumbangkan peluang K-pop untuk membuatnya besar di Barat. Setidaknya, bahwa seorang pria gemuk dengan tarian konyol bisa sukses di mana grup idola paling cemerlang yang direkayasa belum membuktikan bahwa cultural technology bisa menempatkanmu sejauh yang dia capai.

*

Grup pertama yang tampil di panggung Anaheim adalah SHINee, sebuah boyband. Para pria itu asyik untuk disaksikan—pria androginus dengan dandanan tebal dan rambut mengembang yang melakukan tarian berirama berat. Tapi sayan ingin mengambil resiko dan mengatakan kalau tak ada kesempatan bahwa grup laki K-pop bakal sukses di Amerika Serikat. Derajat dandanan artistiknya lebih mirip Lady Gaga ketimbang Justin Bieber. Meski memang ada seorang penonton perempuan antara sepuluh dua belas tahun yang suka para pria tadi, tapi ada perbedaan budaya yang menganga antara, katakanlah, One Direction dengan SHINee.

Tentu saja, para fans mencintai SHINee, apalagi ketika para pria itu memisahkan diri dan berjalan mengitari panggung dan mulai menyapa penonton dengan kedipan dan gupayan. Lalu suara orang berubah dari sebuah salakan ke dalam semacam ratapan—saya belum pernah mendengar nada yang seperti ini di konser sebelum-sebelumnya.

Saya sedang menonton pertunjukan dari samping panggung ketika sembilan anggota Girls’ Generation keluar, dengan jeans biru dan kaos putih, untuk melagukan “Gee”. Seluruh tempat meneriakkan hook “Geegeegeegeebabybaby“. Setiap kali sebuah lagu berakhir, gadis-gadis itu menyebar di sekitar panggung. Pada satu titik, Sooyoung datang ke tempat saya berdiri dan mulai mengedipkan mata bertubi-tubi dan melambai dalam langkahnya saat melalui kerumunan, mengenakan senyum bahagia dan mengibaskan rambut mengkilapnya. Dia tidak lagi si idol dingin yang saya temui di ruang pers tapi seorang pemandu sorak yang luar biasa. Ini seperti yang dikatakan Jon Toth sebelumnya: Girls’ Generation yang datang untuk menemui kita.

Tapi setelah Girls’ Generation meninggalkan panggung, konser terhenti sebentar, dan saya menemukan diri saya bertanya-tanya mengapa musik pop derivatif dengan produksi berlebihan, yang dilakukan oleh penyanyi lapis kedua, akan menarik bagi khalayak Amerika, yang bisa mendengar penampil-penampil yang lebih baik melakukan materi asli yang tepat di sini di kampung halamannya sendiri? Meski dengan usaha keras Girls’ Generation sekalipun, mitos penggabungan Timur dan Barat tetap sulit dipahami.

Saya menuju ke tingkat Premium dalam gelanggang, di mana Interscope telah memesan sebuah tempat khusus. Wanita yang keluar dari lift mengatakan kepada saya bahwa dia tidak ingat pernah mendengar teriakan begini keras dalam sebuah konser. Dia memakai penyumbat telinga.

Tempat khusus memuat orang-orang Interscope dari bagian pemasaran dan departemen A. & R.. Ada minuman dan makanan—apa pun yang kau inginkan, kata Jacobson, merangkul bahu saya dan membimbing saya ke kursi di barisan depan.

“Sekarang, saya di sini murni sebagai pengamat,” katanya, menduduki kursi di samping saya. “Saya hanya ingin membuka mata saya dan melihat semua ini.”

Jacobson memberi gerak-isyarat ke sekitar arena. “Oke, kelihatannya tidak ada yang duduk. Tidak ada seorang pun. Bahkan di langit-langit. Jadi, jelas, ada koneksi di sana. “Koneksi, jelasnya, adalah esensi dari musik pop, menurut bosnya, Jimmy Iovine. “Jimmy selalu mengatakan ini semua tentang hubungan antara artis dan fans-fansnya,” katanya. “Seluruh bisnis ini, semua tentang hubungan itu. Dan, jelas, orang-orang merasakan hubungan itu dengan Girls’ Generation.”

Ada beberapa lagu cover: Jessica dan adiknya Krystal menyanyikan “California Gurls”-nya Katy Perry dan Amber, si tomboy dari f (x), Kris, dari EXO-M, dan Key, dari SHINee, meng-cover “Like a G6”-nya Far East Movement—satu-satunya preseden Asia sejauh ini untuk membuktikan kesuksesan grup-pop yang Jacobson ingin Girls’ Generation di Amerika (meskipun semua anggota Far East Movement lahir di LA dan dibesarkan di sana). Penampil datang dan pergi, berubah kostum dan kembali lagi. Di antara selingannya, kita disuguhi pesan dari keluarga S.M.. Pada satu titik, kerumunan menonton sebuah video yang sedikit menyeramkan dengan ilustrasi kartun tentang cinta bahwa anggota keluarga S.M. saling mengasihi satu sama lain. Kadang-kadang, konser tampak seperti reli besar. Tapi yang terbaik itu menimbulkan emosi pop utama yang hanya beberapa artis-artis pop terbesar—Beach Boys, The Beatles awal, grup gadisnya Phil Spector—bisa membangkitkannya: perasaan cinta yang murni.

Ketika Girls’ Generation muncul lagi, Jacobson menyaksikan mereka lebih teliti. “Oke, ini semua tentang kerendahan hati,” katanya. “Lihatlah bagaimana mereka membungkuk kepada para fans mereka. Ini bagian terhebatnya.” Dia mulai menghitung kualitas-kualitas Girls’ Generation dengan jari-jarinya. “Pertama, kecantikan. Kedua, keanggunan dan kerendahan hati. Ketiga, tarian. Dan keempat, vokal. Juga, singkatnya. Semuanya tercipta tak lebih dari tiga setengah menit. Mari kita catat itu.”

*

Diterjemahkan dari Factory Girls, oleh John Seabrook (jurnalis Amerika yang sering menulis tentang teknologi dan budaya populer, penulis tetap The New Yorker sejak 1993), dalam rubrik Annals of Music edisi 8 Oktober 2012.

The New Yorker adalah majalah Amerika kompeten yang memuat beragam reportase, komentar, kritik, esai, fiksi, satir, kartun, dan puisi. Terkenal karena narrative journalism, atau literary journalism, atau jurnalisme sastrawi, bentuk penulisan nonfiksi yang dibuat menarik secara kreatif dengan tetap mempertahankan keakuratan dan ketelitian riset.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1789

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *