Cerpen Terjemahan: “Gadis yang Menanam Bunga-Bunga” Karya Sheila Heti

Ketika ia terbangun di pagi hari di sampingnya ada lelaki yang dia tolak malam sebelumnya karena terlalu jelek dan penjilat, dan di sisi lain, bahkan lebih mengejutkan, ada lelaki yang ia tolak karena intelektual yang terlalu tinggi hati. Dan ada dia sendiri di tengah, dan dia pikir dia sedang ada di rumah tempat ia berpesta malam sebelumnya, tapi ia tidak yakin, dia belum yakin betul.

Dia merangkak hati-hati melewati salah seorang tadi dan menuju jendela dan melihat keluar ke halaman belakang di mana ia melihat tumpukan besar pasir, pegunungan mungil dengan puncaknya. Dan karena dia tidak tahu mengapa atau di mana semua itu berasal, ia dengan cepat memutuskan, aku pasti jatuh pingsan. Kemudian dia pergi ke kamar mandi dan saat kembali dua lelaki tadi bangun.

“Halo semua,” katanya malas, tanpa semangat atau antusiasme. Dan si lelaki, yang pertama, kemudian yang satunya, menyapa dan saling memandang, tetapi karena mereka tidak tersenyum atau tampaknya berusaha membalas, gadis itu mengambil tempat duduknya di kaki tempat tidur. “Aku lapar,” katanya. “Apa kalian berdua lapar?”

Salah satu lelaki mengangguk sambil membersihkan kantuk dari matanya, dan lelaki lain melihat-lihat sekitar berusaha untuk mencari tahu di mana ia berada.

“Kalau begitu, mari kita cari makan,” katanya. Dan karena mereka semua sudah berpakaian tidak ada apa-apa yang harus mereka lakukan kecuali langsung pergi. Salah satu lelaki ternyata lebih tinggi, dan ketiganya bergerak perlahan di sisi jalan. Begitu dingin. Sudah bulan November dan seharusnya lebih dingin, meski tetap, begitu dingin, dan gadis itu tidak memikirkan apa-apa. Ketika trotoar menyempit si intelektual berjalan di belakang, dan si lelaki jelek dan gadis itu berjalan di depan.

Setelah lima menit mereka sampai di suatu tempat yang nyaman untuk makan. Ada telur, tampaknya, dan daging dan kentang dan kopi yang tak akan kehabisan dan tak ada tanda peringatan melarang merokok, sehingga mereka menempati sebuah bilik di belakang, dan bilik itu berwarna cokelat, dan pencahayaan redup, dan matahari tidak bersinar, dan mereka semua menyedihkan dan sedang berada di berbagai tingkat kehinaan dan kebanalan.

Mereka semua memesan menu yang sama, kecuali untuk lelaki jelek yang seorang vegan, dan ia tidak memesan apa-apa kecuali kopi hitam dan jus jeruk, dan gadis itu berpikir tidak-tidak di kepalanya, “Ya Tuhan, aku tidur dengan seorang vegetarian.” Dan si lelaki cerdas yang tinggi terus mengarahkan matanya ke atas meja dan tidak berkata apa-apa, dan tidak satupun dari mereka mengatakan apa-apa kecuali si gadis, yang membuat komentar seperti, “Apa kalian yakin kalian nggak tahu apa yang terjadi semalam?” dan “Namamu Martin, aku rasa aku ingat.”

Akhirnya ia jadi kesal dengan sikap diam dan masa bodoh mereka, perilaku kekanak-kanakan mereka, dan dia berpikir bahwa karena mereka tidak mengakui apa-apa, mungkin sesuatu seperti ini tidak pernah terjadi pada mereka sebelumnya, tapi pikiran itu begitu mengerikan sampai-sampai dia membuang dari pikirannya.

“Baiklah,” katanya ketika makanan tiba, dan dalam hati mengutuk lelaki-lelaki yang tanpa humor ini, dan suasana hati suram mereka berhasil menjangkitinya, dan ia pikir, bahwa akan jauh lebih baik jika mereka sombong dan bersemangat dan ceria.

Mereka makan makanan mereka dalam keheningan, dan si intelek, si gadis tahu, sangat ingin pergi. Sebelum si intelek selesai, ia meminta struk tagihan, dan pelayan muda membawanya dan pergi, dan di si intelek pergi sementara si gadis masih makan. Kemudian si jelek menelan sisa jus dan membayar dan pergi, dan tidak mengatakan apapun seperti “oke” atau “selamat tinggal.”

Si gadis sendirian. Dia meletakkan uangnya dan menyadari untuk kedua kalinya bahwa dia kehabisan rokok, dan merasa merana dan bingung dan seperti seorang sundal.

Gadis itu berjalan-jalan di kota hari itu, dan begitu dingin dan gelap, dan langit begitu jelek ketimbang sebelum-sebelumnya, tapi tidak sejelek si lelaki yang telah tidur dengannya, dan dia menyadari bahwa dirinya berusia dua puluh satu, dan dia pikir hidupnya, “Sebuah kesia-siaan.” Dan tidak ada yang menyemangatinya.

*

Terjemahan The Girl Who Planted Flowers dari Sheila Heti, penulis Kanada keturunan imigran Yahudi Hungaria, yang terdapat di The Middle Stories. Menulis adalah cara yang paling jelas dan jalan yang sangat ajaib untuk menyendiri, kelakarnya. Membaca Heti, seperti membaca Etgar Keret; minimalis, surealis, dan komikal, juga cerdas, apa gara-gara orang Yahudi, ya?

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1767

3 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *