oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 17 Desember 1983
Tubuh wanita itu meregang, putih, kaku. Mati. Suaminya memeluknyya dengan kedua tangan – dengan kepala yang ia lekatkan ke dada Almarhumah. Seolah ia ingin menahannya jangan pergi.
Kita tak tahu apakah lelaki itu menangis. Tapi kita tahu -dari genggaman jari-jarinya, dari lekuk matanya yang dalam, dari mulutnya yang sedikit mencong- penderitaan apa yang menghantamnya.
Buruh miskin yang kehilangan teman hidup. Wanita proletar yang putus asa di depan bayinya yang sakit. Pekerja yang kepalanya terjatuh, capek, di meja dekat lampu. Jika Tuan belum pernah menyaksikan kemiskinan, jika Tuan tak pernah menengok buruh-buruh bangunan yang jongkok di tepi jalan Jakarta hingga jauh malam, lihatlah gambar-gambar Kathe Kollwitz.
Pelukis wanita itu membuat sketsa hitam-putih yang paling muram dalam sejarah seni rupa, tentang kemelaratan di Eropa di akhir abad ke-18. “Sepanjang hidupku,” demikian tulisnya, “aku meneruskan suatu percakapan dengan maut.”
Maut memang satu-satunya alternatif bagi mereka yang hidup dengan nafkah yang terhimpit. “Hidup Bebas, atau Mati!” Vive Libre, ou Mourir! Itulah slogan yang tertulis pada poster Komune Paris 1871. Ketika itu, orang-orang miskin yang marah menguasai ibu kota Prancis selama 62 hari, dan Sungai Seine jadi merah. Ada 25.000 orang yang tewas di jalan-jalan dalam bentrokan antara revolusi dan kontrarevolusi.
Pilihan memang seakan dibikin terbatas. Orang-orang miskin Kota Paris telah mengalami bagaimana rasanya ketika kota itu dikepung tentara Jerman selama empat bulan sampai akhir Januari 1871.
Ada 150.000 biri-biri, 24.000 sapi, dan 6.000 babi yang disiapkan untuk penduduk selama pengepungan itu, tapi ternyata tak cukup. Kuda pun mulai dimakan, gajah di kebun binatang telah ditembak, dan tiap penduduk dijatah 120 gram daging buat tiga hari yang dingin. Tapi itu cuma teori. Orang kaya tetap bisa mengunjungi restoran dan memesan daging kambing bakar yang enak. Si miskin makan tikus. Para borjuis Paris, rupanya, memang lupa bahwa Eropa sedang penuh oleh tanda-tanda zaman. Beberapa tahun sebelumnya, 1848, Karl Marx toh telah mengumumkan Manifesto Komunis-nya. Di London, Mikhail Bakunin tiba, setelah melarikan diri dari Siberia, pada 1861. Anarkis besar ini ingin menghancurkan segala-galanya seraya mengutip Proudhon: “Milik adalah hasil curian.”
Tapi bukankah hari kemakmuran sedang mendekati? Bukankah, menurut statistik yang disusun kemudian hari, antara tahun 1870 dan 1900 upah nyata para buruh naik sampai 50%? Kenapa justru pekerja Paris demikian marah – dan meletupkan pemberontakan yang bahkan bikin kaget Karl Marx sendiri?
“Manusia harus hidup untuk sesuatu yang lebih baik,” kata Maxim Gorky. Bahwa ternyata kemudian “sesuatu yang lebih baik” itu terlepas lagi, agaknya, bukan alasan untuk mencemooh impian orang yang tiap hari diludahi kemiskinan.
Banyak hal misalnya yang menggelikan selama Paris dikuasai Komune 62 hari. Tapi para pemberontak itu toh bersedia mati dan sanggup bertahan tujuh hari dari serangan balik pasukan pemerintah: suatu heroisme yang, betapa pun konyolnya, tetap suatu heroisme. Untuk suatu impian.
Mungkin itulah satu-satunya makna yang tinggal jika kini orang berbicara untuk sosialisme. Makna yang lain kian kabur, ketika di masa ini sosialisme ternyata hanya melahirkan birokrasi besar yang menindih manusia. Makna yang bahkan hilang, ketika “kediktatoran kaum buruh” ternyata hanya jadi “kediktatoran terhadap kaum buruh”.
Sosialisme mungkin tokoh yang telah mati, seperti kata Peter Berger. Tapi ia bisa punya roh, ia punya hantu. Ia akan menampakan diri dan menggamit kita di antara warna hitam-putih lukisan derita Kathe Kollwitz. Maka, jika Tuan belum pernah menyaksikan kemiskinan, lihatlah gambar-gambar itu.
Tulisannya bagus dan enak dibaca. Lanjutkan…. He he he
Ditengah merajalelanya para borjuis masa kini mungkinkah “hantu” sosialisme akan menjadi nyata dengan tindakan?