Menelisik Gamifikasi dan Game-Based Learning, Hubungan Antara Belajar dan Bermain

Dalam keseharian kita, seringkali hal-hal yang dianggap serius dan mendidik dibenturkan dengan hal-hal yang dianggap sebagai hiburan semata. Namun, di era digital yang penuh dengan paradoks ini, batas antara edukasi dan hiburan perlahan memudar.

Dua istilah yang kerap muncul dalam diskusi ini adalah “gamifikasi” dan “game-based learning”. Keduanya mungkin tampak serupa, tetapi sesungguhnya, masing-masing memiliki jalan cerita yang berbeda, seperti dua tokoh dalam novel yang bertolak belakang namun saling melengkapi.

Gamifikasi: Membingkai Ulang Motivasi

Gamifikasi, jika kita meminjam istilah dari dunia permainan, adalah seni menanamkan elemen-elemen permainan ke dalam aktivitas yang sebenarnya bukan permainan. Ini seperti menambahkan rempah-rempah ke dalam masakan sehari-hari, agar terasa lebih menggugah selera.

Dalam gamifikasi, poin, lencana, dan papan peringkat menjadi senjata utama. Misalnya, aplikasi kebugaran yang memberikan lencana kepada pengguna yang berhasil mencapai target langkah harian adalah contoh sederhana dari gamifikasi. Elemen-elemen ini, meski tampak sepele, membangkitkan semangat kompetisi, kebanggaan, dan pada akhirnya, motivasi.

Sebagai landasan teoritis, Kevin Werbach dan Dan Hunter dalam buku For the Win: How Game Thinking Can Revolutionize Your Business menjelaskan bahwa gamifikasi bekerja dengan memanfaatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik pengguna. Mereka berpendapat bahwa elemen permainan seperti tantangan dan umpan balik instan dapat meningkatkan keterlibatan pengguna dalam aktivitas yang awalnya monoton.

Baca juga: Kearifan Lokal di Jepang dalam Pendidikan Anak

Game-Based Learning: Bermain untuk Belajar

Di sisi lain, game-based learning adalah cerita yang lebih mendalam. Ini bukan sekadar menambahkan elemen permainan ke dalam sesuatu yang sudah ada, melainkan menjadikan permainan itu sendiri sebagai medium utama pembelajaran.

Bayangkan sebuah permainan di mana kita harus menyelesaikan teka-teki matematika untuk membuka kunci, atau menjalani petualangan sejarah yang memaksa kita memahami peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan waktu. Dalam game-based learning, permainan bukan lagi hiasan, tetapi inti dari proses belajar itu sendiri.

Menurut Marc Prensky dalam Digital Game-Based Learning, permainan digital dapat meningkatkan keterlibatan belajar melalui pengalaman yang interaktif dan menyenangkan. Prensky menegaskan bahwa pembelajaran yang didukung oleh permainan memiliki potensi untuk menggabungkan teori konstruktivis, di mana peserta didik membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman langsung.

Membaca Ulang Hubungan Antara Belajar dan Bermain

Namun, apa sebenarnya yang membuat keduanya relevan dalam konteks pendidikan modern?

Di balik semua elemen menyenangkan yang ditawarkan, terdapat filosofi yang mendalam. Gamifikasi berangkat dari pemahaman bahwa manusia secara alami tertarik pada pengakuan, penghargaan, dan tantangan. Ia memanfaatkan sifat dasar ini untuk mengubah tugas-tugas yang membosankan menjadi pengalaman yang menggembirakan.

Sementara itu, game-based learning bersandar pada gagasan bahwa pembelajaran yang bermakna harus melibatkan partisipasi aktif, emosi, dan narasi. Dengan kata lain, belajar bukan lagi sekadar duduk dan mendengar, tetapi turut mengalami.

Namun, seperti halnya setiap inovasi, keduanya tidak lepas dari kritik. Gamifikasi sering dianggap terlalu dangkal, hanya menawarkan motivasi jangka pendek tanpa benar-benar mengubah esensi pembelajaran. Misalnya, apakah memberi lencana pada siswa yang menyelesaikan tugas benar-benar membuat mereka memahami materi lebih baik?

Sementara itu, game-based learning menghadapi tantangan teknis dan finansial. Membuat permainan edukatif yang efektif bukanlah perkara mudah, dan sering kali membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dalam tulisan ini, yang ingin kita renungkan adalah bagaimana kedua pendekatan ini menggambarkan hubungan kita dengan proses belajar itu sendiri. Di satu sisi, ada keinginan untuk membuat belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan, seolah-olah ingin melarikan diri dari beban seriusnya. Di sisi lain, ada pengakuan bahwa pengalaman bermain bisa menjadi cermin yang memantulkan kehidupan nyata, lengkap dengan tantangan, kegagalan, dan kemenangan.

Pada akhirnya, mungkin bukan soal memilih antara gamifikasi atau game-based learning, tetapi bagaimana kita bisa memadukan keduanya. Seperti perpaduan harmoni dalam sebuah komposisi musik, keduanya memiliki tempatnya masing-masing.

Dan mungkin, di masa depan, kita akan melihat lebih banyak lagi eksperimen-eksperimen baru yang mengaburkan batas antara belajar dan bermain. Karena, bukankah hidup itu sendiri, pada hakikatnya, adalah sebuah permainan yang terus mengajarkan kita untuk bertumbuh?

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1926

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *