Cerpen Terjemahan: “Gaza Blues” Karya Etgar Keret

Weismann terkena batuk kering berserak akibat TBC, dan di sepanjang jalan dia terus-terusan batuk, dan menghabiskan banyak tisu untuk dahaknya.

“Ini gara-gara rokok,” ia meminta maaf. “Rokok-rokok itu membunuhku.” Saat kita sampai di jalur perbatasan Erez, kami parkir di pom bensin. Di sana ada satu taksi dengan plat setempat yang menunggu kami. “Kau ingat untuk membawa formulirnya, kan?” tanya Weismann dan meludahkan lendir kuning ke sisi jalan.

Aku mengangguk.

“Bagaimana dengan surat kuasanya?”

Aku bilang iya, itu juga.

Kami tidak perlu mengatakan apa pun yang perlu dilakukan pada si supir. Dia sudah tahu untuk membawa kami ke kantor Fadid. Sekarang sudah masuk akhir Mei, tapi jalanan masih tergenang banjir. Pasti ada masalah dengan saluran gorong-gorong.

“Jalan sialan,” supir itu mengeluh. “Tiap tiga minggu, harus ganti ban.” Aku tahu kalau dia hendak menaikan tarif.

Kami melangkah masuk ke kantor Fadid, dan dia menyalami kami. “Sebelumnya saya perkenalkan,” ucap Weismann. “Ini Niv, seorang kolega di firma kami. Dia di sini untuk belajar.”

“Tetap buka matamu, Niv,” Fadid berkata dalam bahasa Ibrani. “Tetap buka mata dan perhatikan sekeliling. Kau akan belajar banyak.” Fadid membimbing kami ke dalam kantornya. “Kau duduk di sini,” dia memberitahu Weismann, menunjuk kursi kulit di belakang meja. “Dan ini”—dia menunjuk bangku kayu kecil di sudut—”ini untuk penerjemah. Aku akan kembali pukul dua. Anggap saja rumah sendiri.”

Aku duduk di dipan kulit dan menata berkas-berkas dalam lima tumpukan di atas meja rendah di sebelahku. Sementara itu, penerjemah menampakan diri. “Ada lima kasus,” katanya. Namanya Mas’oud atau semacam Mas’oud. “Dua mata, dua kaki, satu biji.” Dari penjelasan Weismann, ini tidak akan lebih dari dua puluh menit tiap orang untuk mengajukan pernyataan, yang mana dalam satu setengah jam kami akan kembali pulang.

Weismann menanyai pertanyaan yang sama melalui penerjemah, menyalakan rokok sampai habis. Aku yang menyuruh mereka menandatangani surat klaim medis dan surat kuasa, dan menjelaskan kepada mereka melalui penerjemah bahwa jika mereka menang kami akan meminta antara lima belas sampai dua puluh persenan, tergantung. Salah satu dari mereka, wanita setengah buta, menandatangani dengan jempolnya, seperti dalam film-film. Seorang pria yang kena pada bijinya bertanya dalam bahasa Ibrani, setelah aku beres menjelaskan, apakah orang dari Security Service yang menendang bijinya itu bakal berakhir dipenjara jika dia menang. “Aku tahu namanya. Aku menyebutnya di pengadilan,” ucapnya. “Steve, in’al abu, itulah namanya.”

Penerjemah menghardiknya dalam bahasa Arab karena telah berbicara dalam bahasa Ibrani. “Jika Anda ingin berbicara dengan mereka sendiri,” katanya, “Anda tidak perlu saya. Saya bisa menunggu di luar.”

Aku bisa sedikit bahasa Arab. Belajar saat di SMA.

Satu jam dan sepuluh menit kemudian kami kembali ke taksi sebelumnya, dan dalam perjalanan ke perbatasan Erez. Fadid telah mengundang kami untuk makan siang, tapi Weismann mengatakan kami sedang buru-buru. Weismann tidak berhenti batuk dan meludah ke tisunya sepanjang perjalanan pulang.

“Tidak ada gunanya, tuan,” kata sopir itu. “Anda butuh dokter. Suami adik saya seorang dokter. Tinggal di dekat sini.”

“Tidak, terima kasih, aku baik-baik saja. Aku sudah biasa.” Weismann mencoba tersenyum padanya. “Ini semua karena rokok. Gara-gara rokok-rokok ini.”

Kami hampir tidak berbicara sepanjang perjalanan pulang. Aku sedang berpikir tentang jadwal latihan basket pukul limaku. “Dalam tiga kasus, kita punya kesempatan,” kata Weismann. “Yang satu dengan biji itu, lupakan saja. Tiga tahun ia habiskan di penjara setelah interogasi, tidak sekali pun dia mengatakan dia terluka. Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa mereka melakukan itu kepadanya tiga setengah tahun yang lalu?”

“Tapi kau mengambil kasusnya juga?”

“Ya,” Weismann bergumam. “Aku tidak mengatakan aku tidak akan mengambilnya. Aku hanya berkata kita tidak punya kesempatan.” Dia terus mengutak-atik dial radio, mencoba untuk mencari sesuatu, tapi yang ia dapatkan cuma suara statis. Setelah itu ia mencoba menyenandungkan sesuatu, tapi beberapa detik kemudian ia bosan, menyalakan rokok, dan mulai batuk-batuk lagi. Lalu dia bertanya sekali lagi apakah aku ingat untuk menyuruh mereka menandatangani semuanya.

Aku bilang aku melakukannya.

“Kau tahu.” Dia berpaling kepadaku tiba-tiba. “Aku seharusnya lahir jadi orang kulit hitam. Setiap kali aku keluar dari sana aku mengatakan pada diri sendiri: ‘Weismann, kau harusnya terlahir hitam.’ Bukan di sini. Tempat yang jauh. Seperti New Orleans.” Dia membuka jendela mobil dan menjentikkan rokoknya. “Billy, itulah namaku seharusnya. Billy White. Itu nama yang bagus untuk seorang penyanyi.” Ia berdehem seolah-olah dia hendak memulai bernyanyi, tapi saat ia menarik nafas, ia mulai batuk-batuk dan mengi.

“Kau mengerti?” Katanya saat dia selesai dan memegang tisu yang habis digunakan, untuk batuknya, dekat dengan wajahku. “Sekarang itu semua menjadi sesuatu yang aku bayangkan. Nyatakah ini? Billy White and the Dismals, itulah yang bakal mereka gunakan untuk menyebut kami. Tak ada yang lain yang kami lakukan selain memainkan blues.”

*

Diterjemahkan dari cerita “Gaza Blues” dalam buku The Girl on the Fridge karya Etgar Keret.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1767

4 Comments

  1. ceritanya etgar keret emang sellau nyeleneh sih, tapi bagus, aku baca cerpen-cerpennya di blognya bang bara…pengen beli bukunya gak ada yang di terjemahin ke indo

    • Ini juga gara-gara Kak Bara, jadi deh baca Keret.
      Di internet, banyak yang legal, lebih banyak lagi yang ilegal. Tapi selama ada kesempatan, bacalah!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *