Goenawan Mohamad dan Catatan Pinggirnya

Menulis memang bisa menyenangkan. Tetapi seperti halnya membentuk sebuah cawan yang tidak sekadar praktis untuk dipakai, menulis pada dasarnya adalah pekerjaan yang resah.

Goenawan Mohamad, Setelah Tempo Tidak Ada Lagi

Bagi saya, menulis adalah hal yang sulit, sampai hari ini. Saya masih kurang ekspresif dan nggak punya stok kosakata yang melimpah untuk mendeskripsikan sesuatu. Menulis memang benar sebuah pekerjaan yang resah: saya akan gelisah ketika saya kesulitan mencari kata, sebal dengan otak bebal yang gampang mogok. Katanya menulis adalah katarsis, ah bukannya meredakan kegelisahan, menulis malah bikin kadar gelisah saya bertambah.

Dan ternyata dia pun sama gelisah juga. Bedanya dia menggelisahi Marxisme, Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Modernisme, Nazi-Hitler, Stalin, Mao, Pembangunan, Birokrasi – pendeknya segala bentuk perekayasaan sosial, karena ini semua menggilas eksistensi individu. Dia meresahkan manusia, kemanusiaan, dan beragam hal yang bikin manusia jauh dari kemanusiaannya. Dan ya, bedanya, dia piawai menuliskan kegelisahannya. Dan tulisan-tulisannya tadi berisi pertanyaan dan pernyataan yang mengusik rasa nyaman kita sebagai pembaca.

Saya nggak akan menyoal Goenawan Mohamad tentang Jaringan Islam Liberal-nya, atau soal dia yang sering dianggap sebagai antek neo-liberal dan sekulerisme. Karena memang, “Goenawan Mohamad adalah orang Barat yang lahir di Batang,” sebut Ignas Kleden.

Saya jatuh cinta pada Catatan Pinggirnya, satu rubrik di Majalah Tempo yang ditulisnya. Tulisan yang lebih sering disingkat dengan Caping ini telah diterbitkan juga dalam bentuk buku yang telah diterbitkan dalam sepuluh jilid. Teknik menulis yang disajikan oleh Goenawan Mohammad yang membuat keistimewaan dari rubrik ini sehingga selalu ditunggu-tunggu oleh para pembaca Tempo.

Dalam Caping misalnya, tokoh-tokoh fiksional sering disuguhkan sebagai simbol atau kacamata untuk mengamati dan mengidentifikasi manusia-manusia faktual; peristiwa-peristiwa fiksional disajikan sebagai contoh kasus, yang kadang-kadang bahkan bisa diuniversalisasikan. Dalam Caping juga, ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe, Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat. Namun tak lupa membahas pula Pramoedya, Kayam, Nurcholish Madjid, Soedjatmoko, Putu Wijaya, Saini K.M., Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardojo, Amir Hamzah, Sjahrir.

Maka seperti AS Laksana, yang berlatih menulis dengan menuliskan ulang artikel dari penulis kesukaannya, saya pun sering melakukan ini. Dan Caping adalah esai yang sering saya pakai sebagai sarana untuk menangkap polanya yang unik dan menarik dalam mengembangkan tulisan saya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1880

9 Comments

    • Nah ini yg uniknya, meski ditulisnya tahun-tahun pas orde baru, tapi masih belum kadaluarsa buat dibaca sekarang.

  1. saya lebih menyukai goenawan mohamad sebagai seorang penyair yang handal daripada seorang esais.
    mungkin karena pemikirannya terlalu eropa-sentris.

  2. wah jadi nostalgia .. dulu waktu masih baca majalah tempo suka baca caping ….
    sekarang … tidak pernah lagi baca tempo …. 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *