Harus seberapa literalkah sebuah terjemahan sastra? Nabokov, yang fasih dalam tiga bahasa dan menulis dalam dua bahasa diantaranya, percaya bahwa “terjemahan literal paling kasar seribu kali lebih bermanfaat daripada parafrase tercantik.” Borges, di sisi lain, berpendapat bahwa seorang penerjemah harus berusaha untuk tidak menyalin sebuah teks melainkan untuk mengubah dan memperkayanya. “Terjemahan adalah sebuah tahap peradaban yang lebih maju,” Borges menuntut — atau, tergantung pada terjemahan yang Anda temukan, “sebuah tahap penulisan yang lebih maju.” (Dia menulis kalimat ini dalam bahasa Prancis, satu dari beberapa bahasa yang dia kuasai.)
Pada tahun 2016, “The Vegetarian” menjadi novel dari bahasa Korea pertama yang memenangkan Man Booker International Prize, yang diberikan kepada baik penulisnya, Han Kang, dan penerjemahnya, Deborah Smith. Dalam skena berbahasa Inggris, Smith, siswa Ph.D berusia dua puluh delapan yang mulai belajar bahasa Korea enam tahun sebelumnya, dipuji secara luas karena hasil kerjannya. Namun, di media Korea, meski dengan rasa kebanggaan nasional yang menyertai kemenangan Han — belum termasuk lonjakan dua puluh kali lipat cetakan salinan buku, yang merupakan suatu keberhasilan cemerlang ketimbang publikasi awalnya, pada tahun 2007 — segera dibayangi oleh tuduhan terjemahan yang salah. Meskipun Han telah membaca dan menyetujui terjemahan tersebut, Huffington Post Korea menegaskan bahwa hal tersebut benar-benar “tidak tepat sasaran.” Smith membela diri di Seoul International Book Fair, dengan mengatakan, “Saya hanya akan membenarkan diri saya sebuah ketidaksetiaan demi mencapai kesetiaan yang lebih besar.”
Kontroversi tersebut sampai ke banyak pembaca Amerika pada bulan September tahun lalu, ketika Los Angeles Times merilis sebuah tulisan oleh Charse Yun, seorang Korea-Amerika yang mengajar mata kuliah terjemahan di Seoul. (Artikel tersebut merupakan argumen tambahan yang Yun pertama kali tulis, pada bulan Juli, di majalah online Korea Exposé.) “Smith mengeraskan gaya kalem Han yang sederhana dan menyerakkan dengan kata keterangan, kata-kata superlatif dan pilihan kata-kata lain yang tidak ada di tempat aslinya,” tulis Yun. “Ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali, tapi di hampir setiap halaman lainnya.” Sepertinya Raymond Carver dibuat terdengar seperti Charles Dickens, dia menambahkan. Hal ini, menurut Yun, bukan hanya masalah akurasi tapi juga keterbacaan budaya. Korea memiliki tradisi sastra yang kaya dan beragam — dan sebuah sejarah baru-baru ini yang terkait erat dengan Barat, terutama Amerika Serikat. Tapi hanya beberapa karya sastra Korea yang berhasil dalam skena berbahasa Inggris, dan negara ini, meskipun sering muncul di headline-headline Amerika, tidak terdaftar dalam imajinasi populer seperti yang dilakukan oleh tetangganya China dan Jepang yang sudah lebih kuat. Han Kang sepertinya mengisi kekosongan itu — atau setidaknya, yang memulainya. Tapi jika kesuksesannya bergantung pada kesalahan terjemahan, benar-benar berhasilkah itu?
*
“The Vegetarian” strukturnya seperti dongeng. Berpusat pada penghancuran diri yang jelas dari satu tubuh manusia. Badan itu milik seorang ibu rumah tangga bernama Yeong-hye, yang digambarkan oleh suaminya, Pak Cheong, “sama sekali tidak biasa dalam segala hal.” Bagi Pak Cheong, yang “selalu condong ke jalan tengah dalam hidup,” ini adalah bagian dari daya tariknya. “Kepribadian pasif wanita ini yang tidak bisa aku rasakan kesegaran dan pesonanya, atau apapun yang bisa disebut sempurna, membuat aku kesal,” katanya. Tapi ada satu hal yang diketahui Pak Cheong tentang dirinya: Yeong-hye benci memakai bra — dia bilang bra meremas payudaranya. Dia menolak untuk memakainya, bahkan di depan umum, bahkan di depan teman suaminya, meskipun, katanya, dia tidak memiliki semacam “payudara indah yang mungkin sesuai dengan ‘penampilan tanpa bra’.” Pak Cheong menganggap ini memalukan.
Suatu pagi, Pak Cheong mendapati istrinya membuang daging yang ada di kulkas mereka. Yeong-hye telah menjadi vegetarian, dia mengatakan kepadanya, karena dia “bermimpi.” Sebelumnya, dia bisa memikirkan istrinya “sebagai orang asing. . . seseorang yang menaruh makanan di atas meja dan menjaga rumah agar tetap baik.” Sekarang Pak Cheong merasa malu dan dikhianati. Akhirnya, Pak Cheong terangsang oleh kebodohannya, dan dia mulai memaksakan dirinya pada Yeong-hye. Kalah kuat, Yeong-hye menyerah. Reaksi Yeong-hye yang sunyi redam membangkitkan, bagi Pak Cheong, gambaran dari masa lalu Korea sebagai negara yang terjajah: “seolah-olah dia adalah ‘wanita penghibur’ yang diseret bukan karena kehendaknya, dan aku adalah tentara Jepang yang menuntut jasanya.”
Keputusan Yeong-hye untuk tidak makan daging diterima sebagai celaan yang mengerikan oleh seluruh keluarganya, terutama ayahnya, veteran Perang Vietnam yang tendensi kekerasannya menunjukkan trauma di medan perang. (Lebih dari tiga ratus ribu orang Korea bertugas bersama tentara Amerika dalam konflik itu.) Saat acara makan keluarga, diatur sebagai semacam intervensi, dia mencoba untuk mendorong sepotong daging babi asam-manis ke bawah tenggorokan putrinya. Sebagai tanggapan, Yeong-hye mengiris pergelangan tangannya saat seluruh keluarga menyaksikan dengan ngeri. Akhirnya, Yeong-hye dirumahsakitkan.
Menjelang akhir buku, adik Yeong-hye yang tampak lebih konvensional, In-hye, mengunjunginya di rumah sakit. Tiga tahun telah berlalu sejak makan acara malam keluarga, dan In-hye mulai menyadari bahwa perannya sebagai “anak sulung yang bekerja keras, mengorbankan diri sendiri telah menjadi sebuah tanda, bukan kedewasaan melainkan kepengecutan. Itu adalah taktik bertahan hidup.” Di rumah sakit, Yeong-hye telah lisut sampai enam puluh enam pound. Menolak untuk berbicara atau menerima makanan dalam bentuk apapun, dia telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencoba meniru sebuah pohon: berdiri dengan satu tangan dan berjemur di bawah sinar matahari. Han Kang mengatakan kalau karakter Yeong-hye terinspirasi oleh sebuah baris puisi dari Yi Sang, seorang penyair modernis pada awal abad ke-20 yang sangat disensor di bawah pemerintahan Jepang, dan yang karyanya mendedah kekerasan dan agitasi imperialisme. Yi menggambarkan penarikan diri katatonik sebagai gejala penindasan. “Aku percaya bahwa manusia harusnya tanaman,” tulisnya.
Jika Yi labas dengan trauma kolektif kolonialisme, Han memusatkan perhatian pada penderitaan yang lebih intim dan bersifat pribadi. Tapi tulisannya juga berakar pada sejarah Korea. Hal ini, menurut Charse Yun, adalah risiko tersesat dalam terjemahan. Salah satu alasan mengapa “banyak pembaca Barat menemukan begitu banyak fiksi kontemporer Korea yang tidak menyenangkan,” tulisnya, adalah karena kepasifan naratornya. Smith, bagaimanapun, menekankan “konflik dan ketegangan,” membuat karya Han lebih menarik perhatian pembaca Barat ketimbang penafsiran yang setia. Ketika Yeong-hye mengabaikan sebuah pertanyaan dari suaminya, misalnya, dia mengatakan bahwa “as if she hadn’t heard me (seolah-olah dia tidak mendengarku),” dalam terjemahan Yun secara harfiah dari bagian tersebut. Dalam versi Smith, suaminya menegaskan bahwa dia “perfectly oblivious to my repeated interrogation (sangat tidak menyadari interogasi berulangku).”
Namun apa yang membuat Yeong-hye jadi karakter yang berpengaruh bukanlah masalah agresi yang ditingkat-tingkatkan atau perjuangan yang dilebih-lebihkan. “The Vegetarian” berbunyi sebagai perumpamaan tentang perlawanan yang tenang dan konsekuensinya; Ini juga merupakan permenungan tentang budaya Korea, pertanyaan tentang tindakan dan kesesuaian memiliki resonansi tertentu. Inilah pertanyaan di jantung karya Han.
*
Han Kang lahir pada tahun 1970 di Gwangju, sebuah kota provinsi di dekat ujung Semenanjung Korea dengan populasi, pada saat itu, sekitar enam ratus ribu. Ayahnya, Han Seung-won, adalah seorang novelis yang terkenal dan penerima banyak penghargaan sastra. (Dalam dekade terakhir, Han telah memenangkan banyak hadiah yang sama.) Kedua saudara laki-laki Han juga penulis. Ayahnya adalah seorang guru sekaligus penulis, dan keluarganya sering pindah untuk pekerjaannya. Saat masih kecil, Han masuk lima sekolah dasar yang berbeda, dan dia mencari keteguhan dalam buku.
Keluarga tersebut meninggalkan Gwangju, ke Seoul, pada tahun 1980, ketika Han berusia sepuluh tahun, tak lama setelah Chun Doo-hwan, seorang jenderal yang dijuluki Penjagal, merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta dan mengumumkan darurat militer. Demonstrasi mahasiswa yang damai di Gwangju dipenuhi dengan kekerasan: tentara menembak, mengintai, dan memukul pemrotes dan orang biasa. Sebuah milisi sipil, terdiri dari mahasiswa dan pekerja, mengambil senjata dari kantor polisi setempat dan memaksa tentara tersebut untuk sementara menyerah di pinggiran kota. Peristiwa ini, yang sering dibandingkan dengan pembantaian Lapangan Tiananmen di China, berlangsung sembilan hari; Setidaknya dua ratus, jika tidak dua ribu orang meninggal (perkiraan pemerintah kira-kira sepuluh kali lipat lebih sedikit daripada angka tak resmi). Meskipun keluarga Han tidak mengalami kerugian pribadi dalam pembantaian tersebut, nama kota kelahirannya baginya menjadi sebuah metonim untuk “semua yang telah dimutilasi tidak dapat diperbaiki lagi.”
“Human Acts,” novel terbaru Han, yang juga diterjemahkan oleh Smith, menceritakan tentang pembantaian tersebut. Ini dimulai dengan seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun, Dong-ho, menunggu badai hujan dan kedatangan kembali militer, yang telah memenuhi kotanya dengan mayat dan memisahkannya dari sahabatnya. Dong-ho pergi mencari temannya tapi direkrut oleh demonstran untuk menulis katalog mayat yang ditempatkan di gedung pemerintah daerah. (Kamar mayat rumah sakit sudah penuh.) Di sana anak laki-laki itu menemukan serangan metodologis kematian terhadap daging — luka yang terbuka adalah yang pertama membusuk dan bagaimana jari kaki “membengkak seperti umbi jahe tebal” ke dalam warna hitam yang paling mengerikan.
Alunan lagu kebangsaan Korea Selatan secara berkala mengiang ke dalam bangunan; Hal itu dinyanyikan saat upacara pemakaman digelar di luar. Ketika Dong-ho bertanya mengapa para pelayat menyanyikan lagu kebangsaan — “Seakan bukan negara itu sendiri yang telah membunuh mereka” — yang lain bereaksi dengan terkejut. “Tapi para jenderal adalah pemberontak, mereka menangkap kekuasaan secara tidak sah,” seseorang menanggapi. “Tentara rendahan mengikuti perintah atasan mereka. Bagaimana kau bisa menyebut mereka sebagai sebuah negara?” Dong-ho menyadari bahwa pertanyaan yang benar-benar ingin dia tanyakan jauh lebih besar, dan lebih abstrak, atau mungkin ini adalah seikat pertanyaan, tentang persistensi kekejaman dan makna kebebasan. Penulis menggemakan kesadaran In-hye, dalam “The Vegetarian,” bahwa kelangsungan hidupnya bukanlah sebuah kemenangan melainkan kebalikannya, karena telah mengorbankan martabatnya.
Di bab keempat, setelah militer merebut kembali Gwangju, Dong-ho, yang mengangkat tangan sebagai tanda menyerah, ditembak dan dibunuh oleh tentara. Masing-masing bab novel berfokus pada seseorang yang terpengaruh oleh kehidupan singkat Dong-ho: siswa sekolah menengah atas yang tumbuh menjadi editor yang bertugas menyensor fakta pembantaian; sarjana yang menjadi tahanan politik yang pada akhirnya melakukan bunuh diri; gadis pabrik yang menjadi aktivis buruh; Ibu Dong-ho, yang terus dihantui setiap hari, dengan kematian anaknya. Percobaan buku secara banglas dengan narasi sudut pandang orang kedua, dan Han bermain dengan “kamu” di dalamnya, menulis pembaca dan melibatkan kita di dalam reruntuhan.
Bab yang paling mencolok dari buku ini adalah “The Boy’s Friend, 1980,” yang berpusat pada Jeong-dae, teman sekelas Dong-ho yang ditembak mati saat kedua anak laki-laki itu keluar untuk menonton kerumunan. Dong-ho berjongkok di bawah bayang-bayang bangunan, mengamati kaki temannya berkedut saat upaya penyelamatan menyebabkan pembunuhan orang lain, dan akhirnya, saat tentara menyeret jasadnya. Kisah Jeong-dae diceritakan oleh rohnya, yang tertambat ke jasadnya yang masih mengalirkan darah di dasar mayat-mayat yang terus menggunung, seperti balon layu yang tertangkap di dahan pohon. Sementara Dong-ho mengajarkan kita bahasa mayat, Jeong-dae menjelaskan perjuangan jiwa karena memahami kematian tubuhnya. Jiwa yang saling menyentuh tapi tidak bisa terhubung digambarkan sebagai “nyala api menyedihkan yang menjilati dinding kaca yang licin tanpa banyak kata, terlepas dari penghalang apa pun yang ada di sana.”
Tidak seperti Dong-ho, yang mencoba menahan ingatannya, menguburnya karena malu, Jeong-dae mencari perlindungan di masa lalunya sebagai cara untuk menghindari penglihatan mayatnya yang hancur. Dalam buku Han, mereka yang menjauhkan diri dari sejarah mereka ditakdirkan untuk menjalani kehidupan yang nilainya hampir tidak lebih dari sekedar kematian. Karakter yang memeluk kengerian mereka sendiri setidaknya memiliki harapan kebebasan. Membongkar cerita kenangan seperti itu sangat menyakitkan, tapi ada juga bantuan dalam diagnosis luka tersebut.
Dalam sebuah esai tentang menerjemahkan “Human Acts,” yang diterbitkan di majalah online Asymptote, Deborah Smith menjelaskan saat membaca karya Han “ditangkap oleh gambaran tajam yang muncul dari teks meski tanpa dijelaskan secara langsung di sana.” Dia mengutip beberapa “penambahan kadang-kadang”-nya, termasuk ungkapan yang mencolok “sad flames licking up against a smooth wall of glass (nyala api yang menyedihkan menjilat dinding kaca yang halus).” Charse Yun, dalam esainya tentang “The Vegetarian,” menyatakan kekagumannya pada karya Smith namun berpendapat bahwa ini adalah “ciptaan baru.” Smith berkeras bahwa ungkapan yang dia tambahkan adalah gambar “yang sangat kuat ditimbulkan oleh orang Korea sehingga terkadang saya menemukan diri saya mencari teks asli dengan sia-sia, yakin bahwa mereka ada di sana, seperti yang gamblang bagaikan itu sudah ada di kepala saya.”
Ini bukan apa yang biasanya dimaksud dengan terjemahan. Orang bisa membandingkannya dengan karya kolaboratif seorang penulis dan editor; Han telah mengatakan bahwa prosesnya, untuknya dan Smith, saling melibatkan secara timbal balik, “seperti mengobrol tanpa henti.” Ruang gerak dari “imitasi” puitiknya Robert Lowell muncul ke permukaan. (Yun mengutip “Cathay”-nya Ezra Pound.) Namun apa yang Smith jelaskan adalah efek yang diharapkan oleh setiap penulis untuk merayu pembacanya: perasaan begitu mendalam sehingga seolah-olah dia telah menyerap teks itu ke dalam pengalamannya sendiri. Hal ini juga nampak sangat selaras dengan tujuan Han sebagai penulis. Pada tahun 2015, Han menulis tentang sebuah lokakarya terjemahan yang dia hadiri di Inggris, di mana Smith dan yang lainnya berusaha mengubah salah satu ceritanya dari bahasa Korea menjadi bahasa Inggris. Dalam sebuah esai tentang pengalaman itu, Han menggambarkan sebuah mimpi yang dia miliki saat dia berada di sana. “Seseorang terbaring di tempat tidur putih, dan saya diam-diam mengawasinya,” tulisnya. (Esai itu juga diterjemahkan oleh Smith.) Meskipun wajah itu tertutup oleh selimut putih, dia bisa mendengar apa yang orang itu katakan. “Saya harus bangun sekarang. . . Tidak, itu terlalu datar.” Lalu “Saya benar-benar harus bangun sekarang. . . Tidak, itu terlalu hambar.” Dan: “Saya harus meninggalkan tempat tidur ini. . . Tidak, itu aneh.” Terjemahan yang bagus, alam bawah sadar Han tampaknya menyarankan, adalah sesuatu yang hidup dan bernapas, yang harus dipahami dengan persyaratannya sendiri, ditemukan dari balik lembaran putih itu. Han ingat, “Di sesi pagi itu, semua orang senang mendengar mimpi saya. (Saya menyadari bahwa ada kemungkinan mimpi buruk seseorang membuat banyak orang bahagia.)”
*
“Human Acts” diakhiri dengan sebuah bab berjudul “The Writer, 2013,” yaitu tentang Han. (Buku ini terbit di Korea Selatan pada tahun berikutnya). Di dalamnya, kita belajar bahwa Dong-ho adalah orang yang nyata, yang hidupnya tumpang tindih dengan Han dengan cara yang tak terhapuskan. Dalam sebuah wawancara di tahun 2016, Han mengatakan bahwa menulis tentang Jeong-dae dan Dong-ho sangat menyiksa sehingga dia seringnya hanya menghasilkan sedikitnya tiga atau empat baris dalam sehari. Untuk menulis tentang pembantaian Gwangju, dia menjelaskan dalam buku ini, dia telah merencanakan untuk memilah-milah dokumen sejarah, tapi dia mendapati dirinya tidak dapat melanjutkan, “karena mimpi-mimpi itu.” Salah satunya, dia mendapat berita tentang eksekusi massal itu yang dia sendiri tak memiliki kuasa untuk menghentikannya. Di mimpi lain, dia diberi mesin waktu, dan segera mencoba mengangkut dirinya ke 18 Mei 1980. Mungkin ini adalah harapan dari setiap penulis untuk memiliki alam bawah sadar yang terikat erat dengan pekerjaannya, tapi mimpi Han — di mana karakter muncul, seperti jika “through the heart of a guttering flame (melalui pusat sebuah nyala api yang goyah),” seperti yang dia katakan dalam wawancara, yang juga diterjemahkan oleh Smith — adalah pekerjaan yang menguras keringat, interogasi yang diarahkan sendiri di mana dia menjadi korban dan penjahat sekaligus. Kengerian itu mungkin berbeda untuk Han dan Yeong-hye, tapi mereka berasal dari tempat gelap yang sama, di mana kenangan akan kebrutalan bertahan, dan menjalani kehidupan fantasmagorik mereka sendiri.
Pada bulan Oktober, Han menulis sebuah Op-Ed untuk Times tentang menonton berita, dari Seoul, saat Korea Utara dan Amerika Serikat terlibat dalam bencana diplomatik yang berpotensi menghancurkan. “Sesekali, orang asing melaporkan bahwa warga Korea Selatan memiliki sikap misterius terhadap Korea Utara,” tulisnya. “Meskipun seluruh dunia menyaksikan Utara dalam ketakutan, orang Korea Selatan tampak sangat tenang.” Tapi itu hanya permukaannya, Han menegaskan: “Ketegangan dan teror yang telah terakumulasi selama beberapa dekade telah menggali jauh di dalam diri kita dan menunjukkan dirinya sendiri dalam kilatan singkat.” Bagi Han, proyek penulisannya adalah, seperti terjemahan, semacam penggalian: dia harus menggali kembali perasaan terkubur ini, dan mengembalikan rasa tindakan kepada karakter fiktifnya dan kepada orang-orang yang hidupnya menginspirasi mereka.
Dalam “The White Book”, sebuah karya baru yang diterjemahkan oleh Smith dan diterbitkan di Inggris pada bulan November, Han merefleksikan rasa sakit ibunya saat kehilangan seorang bayi perempuan dan merenungkan ritual berkabung. Warna putih berfungsi sebagai simbol kematian, kesedihan, kelahiran, dan penciptaan artistik; Han meninggalkan beberapa halaman di buku itu kosong. (Orang mengira-ngira soal mimpi buruknya tentang terjemahan, di mana selembar kain putih melontarkan ungkapan-ungkapan yang sedang dia coba untuk mendapatkan yang benar.) Dia ingin agar dia menulis untuk “mengubah, menjadi semacam salep putih yang dioleskan pada pembengkakan, seperti kain kasa yang diletakkan di atas luka,” dia menjelaskan yang terpenting, dia perlu menulis tentang rasa sakit karena kematian kakaknya, karena “bersembunyi tidak dimungkinkan.”
Pada bulan Maret, Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye — yang ayahnya, orang kuat militer Park Chung-hee, adalah Presiden selama Perang Vietnam, dan dibunuh beberapa bulan sebelum kudeta tahun 1980 — digulingkan karena kolusi. Skandal tersebut membuat Amerika terserang. Dalam Op-Ed Han di Times, dia mengingat serangkaian demonstrasi yang dia ambil bagian di musim dingin yang lalu, sebelum Park muda meninggalkan kantornya. Itu adalah salah satu demonstrasi warga negara terbesar dalam sejarah Korea. Para pemrotes meniup lilin untuk melambangkan kegelapan yang meliputi. “Kami hanya ingin mengubah masyarakat melalui alat lilin yang tenang dan damai,” tulis Han. Ini adalah isyarat yang bisa dipinjam dari imajinasi Han, atau dari mimpinya. Api adalah hal yang fana dan rapuh yang sekaligus bisa mengingatkan orang mati dan menerangi jalan bagi orang hidup.
***
Diterjemahkan dari artikel The New Yorker berjudul Han Kang and the Complexity of Translation.