Cerpen Terjemahan: “Helix” Karya Banana Yoshimoto

Aku mencari nafkah sebagai penulis, tapi aku masih mabuk berat hari itu dan tak menggarap secuil pun pekerjaan siang itu. Aku sedang dalam kerjaan yang harus cepat selesai, membereskan kata-kata penjelas untuk foto-foto karya seniman kenalanku. Kepalaku yang berdenyut, bagaimanapun, membuatku tak tertarik dengan foto-foto deburan ombak lautannya.

Aku suka berkolaborasi dengan seniman-seniman yang karyanya kusuka, tapi kadang-kadang aku mendapat perasaan aneh, seperti kami saling mengintip otak masing-masing, saling mengingatkan, Hey, ingatkah kau dengan janji yang kita buat?

Tapi hari itu, aku tak berjanji apapun pada siapapun, atau setidaknya aku bertindak seperti tidak ada apa-apa. Aku hanya berbaring di kasur, menerawang langit biru cerah musim panas. Itu sangat cerah sampai-sampai aku merasa sedang ditipu.

Dari ruang sebelah, aku bisa mendengar gadis cilik sedang berlatih biola, dan gesekannya membuatku berurai air mata. Nadanya, meski dengan kekikukannya dalam menggesek dawai, menyebar ke langit biru memenuhi kepalaku. Semakin banyak nada salah tercipta, semakin buruk permainannya, semakin pas suaranya dengan naungan langit biru cemerlang, yang bisa kulihat meski dengan mata terpejam.

Semakin larut mendengarkannya, gambaran langit biru melebur jadi gambaran lain, bulu mata pacarku. Ketika dia kehabisan kata-kata, dia selalu tergagap-gagap – “Ah, tahukah kau” – sementara, di saat yang sama, memejamkan matanya. Aku bisa melihat pinggiran bulu mata hitam pekat di bawah kelopak mata putih berbentuk bulan setengah, dan sadar akan adanya campuran antara kegelisahan dan ketenangan dalam kerutan alisnya. Aku punya sensasi tak biasa untuk menjangkau seluruh kepribadiaannya hanya dalam satu ekspresi tunggal.

Saat-saat pemahaman selalu membuatku bermasalah. Aku merasa jantungku akan berhenti berdenyut, karena ketika aku tahu terlalu banyak soal perempuan, itu tidak akan pernah membuat berhasil antar kami. Dan dengan pacar istimewa, aku lebih gelisah karena cara dia menutup mata yang seperti itu. Dia menutupnya dan mencari kata-kata yang tepat, dan akhirnya (ini tidak akan terjadi dalam lebih dari satu atau dua detik saja), matanya akan terbuka lebar, dan dia akan kembali pada kesadarannya semula. Dia akan berkata sesuatu seperti “Saling mengerti adalah sesuatu yang hebat.”

Kamu tak akan bisa berterus terang lebih dari itu, pikirku, tapi aku tidak akan menentangnya. Faktanya, aku memandang ketulusannya sebagai sikap terpuji, dan berkebalikan dengan sikapku yang mudah putus asa.

Dia menelepon hari itu dan bilang dia ingin bertemu denganku. Aku menyetujui, tapi secara pribadi merasa terganggu, karena kutahu ada sesuatu dalam pikirannya, dan kemungkinan besar dia ingin menumpahkannya padaku malam itu.

Di telepon, di berkata, “Aku akan ada di tempat favorit kita pukul 9.” Aku tahu, kalau tempat yang dia pilih tutup pukul 8. Dia selalu mengacaukan pikiranku.

Aku meneleponnya bahwa aku tak bisa janji, tapi mesin penjawab otomatisnya mengingatkanku kalau dia tidak sedang berada di tempat. Aku tak punya ide di mana dia jika sedang tidak bekerja. Jadi aku tidak punya pilihan selain bangkit dari tempat tidur dan pergi menemuinya.

Tak ada seorang pun di jalanan gelap itu, kecuali angin musim gugur. Aku menjumpai kehampaan ini dalam setiap sudut terang bulan. Mengingat udara yang begitu bersih dan dingin, waktu melambat secara drastis, tapi setidaknya angin dingin menyingkirkan pikiranku dari pikiran tanpa arah.

Ketika aku sampai di kafe, memang sudah tutup, dan dia tidak bisa dijumpai dimana pun. Butik dari barang-barang impor mengisi setengah toko, dan ada area di depan jendela dengan beberapa meja, tempat kau bisa duduk dan memesan minuman.

Aku suka tempat seperti itu ketika satu hal berpindah ke lain hal, mengaburkan batas. Siang dan malam; kuah dalam piring; apa-apa yang mereka jual terletak dekat dengan meja kafe. Aku pikir saat itulah datang rasa cintaku padanya. Dia seperti bulan petang, cahaya putihnya hampir-hampir ditelan gradasi langit biru pucat.

Aku memutuskan untuk mencari kalau-kalau dia menunggu di jalan masuk depan tangga mengarah ke toko ini, tapi dia tidak ada di sana. Sejurus kemudian, aku mendengar suaranya, sayu secara aneh, memanggil namaku, seperti dia sedang bicara dari awan jauh di atas sana.

Aku menoleh dan di sanalah dia berdiri, di depan jendela butik. Kursi-kursi dan meja-meja putih serasa melayang dalam kegelapan di belakangnya. Dia tersenyum dan memberi isyarat agar aku bergabung dengannya. Aku menaiki tangga dan mendapatinya sedang memegang pintu kaca berat yang terbuka untukku.

“Bagaimana kau bisa masuk?” tanyaku.

“Yang punya meminjamiku kuncinya.”

Dia menuntunku masuk. Ini terasa seperti sedang dalam museum, dengan barang-barang dalam pajangan, dan derap langkah juga suara kami bergema dalam ruangan. Ini terasa sangat berbeda dari kafe yang sering kami kunjungi, tapi ternyata tidak. Seperti hantu dalam keramaian siang hari, kami merangkak dan memilih satu meja.

Dia pergi ke konter dan menemukan beberapa gelas bersih dan sebotol jus apel dalam kulkas.

“Kau diperbolehkan mengambil dari kulkas juga?” tanyaku.

“Tentu, dia bilang aku boleh melakukan sesukaku,” jawabnya dari dari sebelah konter.

“Bisakah kita nyalakan lampu?” pintaku, serasa tak nyaman berada dalam gelap.

“Oh, jangan. Orang-orang bakal berpikir kalau toko ini buka dan akan berkunjung masuk. Kalau sudah begitu apa yang akan kita lakukan?”

“Aku pikir kau benar. Baiklah kita cuma akan duduk di sini dalam gelap.”

“Oh, aku suka itu. Kau pikir ini seru kan?” dia berseru, menyusun gelas berisi jus apel ke atas nampan, layaknya seorang pramusaji.

“Ada bir?”

“Tapi kau masih mabuk berat, jadi aku pikir kau tak ingin.”

“Bagaimana kau tahu?” Aku bertanya dengan sedikit terkejut. “Aku tak ingat aku bilang ini.”

“Ya, kau bilang sendiri, dalam pesan di mesin penjawab,” ucapnya, cekikikan. Aku merasa lega.

“Ini sudah pukul sembilan malam lewat, sumpah mati. Aku sudah mendingan.”

“Baik kalau gitu,” ucapnya, dan pergi menuju kulkas untuk mengambil sebotol bir.

Aku merasa ada sesuatu yang tak beres, meski aku tak tahu apa. Dia terlalu ceria, dan suara langkah kakinya saat berjalan untuk mengambil bir terdengar seperti seseorang yang akan meninggalkan. Ini membuatku sangat senewen.

Ditambah, aku merasa kesulitan menikmati birku dalam ruangan gelap seperti ini. Aku merasa jatuh dari dunia seperti aku sedang minum di Kutub Utara, berkilau dengan es dan dingin. Mungkin ini efek alkohol dalam tubuhku kemarin malam, atau cahaya redup sinar bulan di kafe ini, tapi aku merasa ada dengungan saat-saat sebelum menyelesaikan gelas pertama.

“Aku ingin membicarakan seminar yang akan kuikuti minggu depan,” ucapnya.

“Seminar macam apa?”

“Satu temanku punya masalah personal, dan kemudian seseorang memberitahukannya soal seminar ini. Sesuatu yang radikal, jadi dia ingin aku pergi menemaninya.”

“Radikal? Maksudnya bagaimana?”

“Dia berkata bahwa mereka akan menjernihkan pikiran. Ini tak seperti semacam mental development atau meditasi. Mereka membawamu kembali ke titik nol, jadi kau bisa memulai kembali segalanya. Mereka memberitahunya bahwa segala pikiran dan memori yang memadati otak kita adalah sesuatu yang tak berguna sama sekali. Kedengaran baik kan?”

“Nggak lah, itu buruk. Dan, siapa pula yang bisa memutuskan yang mana yang penting dan yang lain tak penting?”

“Aku menduga kalau itu ada di salah satu sesi. Kau bakal berakhir melupakan hal-hal yang kelihatan begitu penting untukmu, hal-hal yang tidak ingin kau lupakan.”

“Setiap keinginan yang kau inginkan?”

“Itu juga. Temanku sangat depresi akibat perceraiannya, dan aku pikir itu yang ingin dia lupakan. Aku bertaruh dia tidak bisa,”

“Jangan pergi,” cegahku, berkeras.

“Tapi aku tak bisa membiarkannya sendirian. Dia sangat bergantung padaku,” ucapnya. “Dan, di samping itu, aku ingin lihat apa yang terjadi. Bagaimana aku bisa mengataan itu benar kalau aku tak datang melihat sendiri?”

“Aku tak percaya pada tempat seperti itu. Siapa yang mau melupakan semua kenangan begitu saja?”

“Tak masalah jika kau ingin melupakan kenangan buruk, kan? Apa yang salah dengan itu?”

“Mari keluar dari sini. Ini terlalu sunyi. Aku merasa sedang berada dalam konperensi tingkat tinggi atau semacamnya.”

“Yah, apakah gema di dalam sini membuatmu merasa apa yang kauucapkan terdengar begitu dalam? Tunggu sebentar, aku harus mengecek tokonya dulu.”

Kami berkeliling, melihat-lihat barang-barang impor dalam lemari pajang kaca. Kaca kristal, saling bertumpuk satu sama lain, berkilauan seperti prisma, terlihat lebih elegan ketimbang saat siang hari.

Kami keluar lewat pintu depan, lalu menguncinya, layaknya seperti kami saat meninggalkan apartemen sendiri. Di luar, kami disambut hembusan angin dingin, dan, dengannya, jam mulai berdetak kembali.

“Mari minum-minum dulu sebelum pulang ke rumah.”

“Ide bagus,” aku merasa sangat senang.

*

“Aku janji akan bisa memulihkan kembali segala memori tentangmu,” dia berkata, ujug-ujug, saat kami sedang berjalan berdampingan. “Meski jika mereka yang pertama.”

“Semuanya?”

“Tentu saja. Kita telah banyak melakukan hal, kemana aku pergi dan apapun yang kulihat, aku selalu memikirkanmu. Bayi-bayi baru lahir; pola pada piring yang kau bisa lihat lewat potongan tipis sashimi; kembang api di bulan Agustus. Bulan yang bersembunyi di balik awan lautan pada malam hari. Ketika aku duduk di suatu tempat, secara tidak sengaja menginjak kaki orang, dan lalu harus meminta maaf. Dan ketika seseorang mengambilkan sesuatu yang terjatuh dariku, dan aku berterima kasih padanya. Ketika aku melihat lelaki tua yang terhuyung-huyung berjalan, dan memikirkan sampai kapan dia masih hidup. Anjing-anjing dan kucing-kucing mengintip dari lorong-lorong. Pemandangan indah dari gedung tinggi. Embusan angin hangat yang kau rasakan ketika turun ke stasiun kereta bawah tanah. Telepon yang berdering di tengah malam. Sampai pada saat aku jatuh cinta dengan pria lain, aku selalu melihatmu lewat lekukan halis mereka.”

“Jadi, itu berarti bahwa setiap jengkal di bumi ini mengingatkanmu soalku?”

Sekali lagi, dia menutup matanya, dan kemudian, membuka kembali, menatap lurus kepadaku, matanya berbinar seperti kaca.

“Nggak, hanya semuanya ada dalam hatiku.”

“Jadi, maksudmu, cintamu untukku?” tanyaku, agak terkejut.

Saat itu, aku melihat cahaya yang begitu terang dan, sepersekian detik kemudian, terdengar kegaduhan, seperti guntur. Awalnya aku tak tahu apa yang terjadi. Kami mencari tahu dan melihat sinar dari bagian atas gedung di seberang jalan, dan api berkobar. Dan di sana ada ledakan kuyu, disertai pecahan kaca yang berjatuhan dalam gerak lambat di kegelapan ini.

Beberapa saat kemudian, orang-orang, terbangun dari tidur karena kegaduhan itu, mulai berhamburan ke jalan keluar dari beragam pintu. Dalam keriuhan itu, kami bisa mendengar mobil ambulan dan polisi mendekat menuju tempat kejadian, sirene meraung-raung.

“Itu pasti bom!” ucapku, terengah karena tontonan.

“Dan kita adalah satu-satunya saksi mata, kan? Aku harap tak ada yang terluka.”

“Aku ragu. Itu gedung perkantoran, dan tidak ada lampu menyala. Di samping itu, kita hanya orang yang ada di jalan. Aku yakin itu ulah berandalan.”

“Aku harap begitu. Bagaimanapun, itu kelihatan sangat cantik, kan? Ini mungkin terdengar bodoh, tapi itu terlihat seperti kembang api bagiku.”

“Yah. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.”

“Fantastik.”

Dia menatap langit kembali. Aku memandang raut mukanya, dan memikirkan soal kami berdua.

*

Cintamu berbeda denganku. Maksudku, ketika kau menutup matamu, saat itu, pusat dari semesta bersemayam bersamamu. Dan kau menjadi sosok kecil dalam keluasan itu, yang menyebar tanpa batas di belakangmu, dan berlanjut terus mengembang dalam kecepatan yang dahsyat, untuk menelan segala masa laluku, bahkan sebelum aku lahir, dan setiap kata yang telah kutulis, dan setiap pemandangan yang pernah kulihat, dan segala konstelasi, dan kegelapan luar angkasa yang menyelubungi bola biru kecil bernama bumi. Lalu, ketika kau membuka mata, semuanya lenyap.

Aku menantikan di waktu selanjutnya ketika kau mendapat masalah dan harus menutup mata lagi.

Cara kita berpikir mungkin sangat berbeda, tapi kau dan aku adalah pasangan paling kuno dan arketip, lelaki dan perempuan orisinil. Kita adalah model untuk Adam dan Hawa. Untuk semua pasangan yang sedang dimabuk cinta, ada saat-saat ketika si lelaki menatap si perempuan dengan realisasi yang sama. Ini adalah helix tak terhingga, tarian dari dua jiwa yang beresonansi, seperti tangkai kembar pada DNA, seperti keluasan semesta.

Secara aneh, saat itu, dia menatapku dan tersenyum. Seakan-akan menjawab atas apa yang sedang kupikirkan, dia berucap, “Itu sangat indah. Aku nggak akan melupakan ini.”

***

Banana Yoshimoto (Tokyo, 24 Juli 1964) merupakan nama pena dari Mahoko Yoshimoto. Penulis Jepang kontemporer yang karya-karyanya kebanyakan mengangkat masalah yang dihadapi oleh kaum muda, eksistensialisme kalangan urban dan remaja yang terjebak antara imajinasi dan realitas.

Cerpen Banana Yoshimoto ini dialihbahasakan dari Bahasa Jepang oleh Ann Sheriff, dan terdapat di buku kumcer Lizards.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1790

7 Comments

  1. Kok saya jadi curiga kalau si cewek ini adalah yang melakukan pengeboman itu sih Mas *random banget memang :haha*. Tapi tapi! Saya lihat penulis Jepang yang dirimu bahas rata-rata mengangkat masalah imajinasi dan hal-hal yang di luar batas realita. Somewhat jadi semi-skizofrenik tapi yah kita bersenang-senang dalam liarnya gila imajinasi itu :hihi. Semenjak rajin membaca terjemahan cerpen di sini saya jadi belajar untuk berpikir dengan bebas yang ada dalam tingkat sedikit lebih tinggi bahkan cenderung gila :haha *maafkan*.
    Ngomong-ngomong, apa akhirnya si cewek berhasil ikut seminar melupakan itu?

    • Bisa jadi, karena sebuah karya yg udah diterbitkan bukan lagi milik pengarangnya, tapi udah jadi milik publik. Jadi bebas mau interpretasi apapun, kalau mau dilanjutkin juga silahkan.
      Mungkin begitulah para penulis Jepang, dan saya suka bacanya. Juga pengen nulis kayak mereka.

  2. Makin kesini tulisan bang ayip makin bagus yaaaa

    Aul udah lama mandul nih, gegara skripsi, berkas wisuda dan kerjaan.
    Baru2 mau mulai baca2 novel lagi biar jiwa penulisnya bangun

    doakan ya yippp

    • Ini mah iseng aja sebagai latihan nulis, tapi emang beberapa cerpen terjemah udah dikirim ke koran. Ga terlalu bergairah buat buka jasa translasi, tapi kalau ada yg nawarin kerjaan ga bakal nolak juga sih. 😀

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *