Cerpen Terjemahan: “Hidupku Sebuah Lelucon” Karya Sheila Heti

Ketika aku mati, tak ada seorang pun di sekitar yang melihatnya. Aku mati sendirian. Tak mengapa. Beberapa orang berpikir bahwa ini adalah tragedi besar untuk mati sendirian, dengan tidak ada orang di sekitar yang menyaksikan. Pacarku saat SMA ingin menikah denganku, karena dia berpikir yang terpenting dalam hidup adalah sebuah penyaksian. Menikahi pacar semasa SMA-mu, dan hidup dengannya sepanjang hayat—inilah sebuah penyaksian. Segala yang penting bakal disaksikan seorang wanita. Aku tak suka dengan gagasannya soal fungsi seorang istri—yang hanya untuk bergantung dan mengawasi hidupmu agar bisa terungkap. Tapi sekarang aku mengerti. Bukanlah hal sepele ketika harus punya seseorang yang mencintaimu agar bisa menyaksikan kehidupanmu, dan membicarakan soal hidup ini denganmu setiap malamnya.

Alih-alih menikahinya, aku memutuskan melajang. Kami putus. Aku tinggal sendirian. Aku tidak punya anak. Aku adalah satu-satunya saksi hidupku sendiri, sementara ia menemukan seorang wanita untuk dinikahi, kemudian memiliki seorang anak kandung. Keluarga asal istrinya tergolong besar dan tinggal di dekat mereka—sama halnya dengan keluarga pacarku. Aku mengunjungi mereka satu waktu, dan saat makan malam ulang tahunnya hadir tiga puluh kerabat dan teman dekat, sudah termasuk anak semata wayangnya itu. Kami berada di rumah orang tua istrinya, di kota pesisir kecil tempat mereka membangun kehidupan mereka. Dia punya segala yang ia inginkan. Dia memiliki tiga puluh saksi terpercaya. Bahkan jika setengah dari mereka mati atau pindah atau beralih membencinya, dia masih memiliki sisa lima belas. Ketika ia meninggal, ia akan dikelilingi oleh keluarga yang penuh kasih, yang akan mengingat ketika ia masih memiliki rambut. Yang akan ingat setiap malam ketika ia pulang ke rumah dengan mabuk sambil berteriak-berteriak. Yang akan mengingat setiap kegagalan yang dialaminya, namun mencintainya terlepas dari itu semua. Ketika semua saksinya mati, hidupnya baru akan berakhir. Ketika anaknya sudah mati, dan istri anaknya sudah mati, dan anak-anak dari anaknya juga mati, kehidupan pacar pertamaku baru akan selesai.

Ketika aku menghembuskan napas terakhirku, tidak ada yang melihatku. Mobil yang menabrakku melaju cepat pergi, kemudian seorang sopir berhenti untuk memindahkanku dari tengah jalan. Aku sudah mati ketika ia memindahkanku, jadi aku bisa mengatakan bahwa aku meninggal sendirian.

Sekarang, kalian mungkin bisa mengatakan bahwa aku berbohong. Jika aku benar-benar tak memasalahkan fakta bahwa tidak ada orang yang kucintai menyaksikan kematianku, mengapa aku harus susah-susah datang kembali ke sini dari kematian? Mengapa aku memakai kembali daging tubuhku dan pakaian yang kukenakan saat hari terakhirku di dunia? Mengapa aku memakai kembali suaraku saat berbicara seperti ketika aku masih hidup, dan kembali ke berat badanku semula pada saat kematianku? Aku bahkan membersihkan beragam kotoran dari mata dan rambutku, memperbaiki letak gigi di mulutku seperti sebelum kecelakaan itu. Mengapa aku harus repot-repot melakukan hal itu? Ini pekerjaan yang melelahkan. Aku bisa saja berbaring di tanah untuk selamanya. Aku bisa terus diam di sana, tetap hancur, jika aku merasa bahwa urusan hidupku sudah selesai. Jika tidak ada kekhawatiran dalam diriku yang masih perlu dikatakan, aku pasti masih akan meringkuk di tanah.

*

Begini: Aku adalah lelucon, dan hidupku adalah sebuah lelucon. Orang terakhir yang kucintai—bukan pacar SMA-ku—bilang ini saat pertengkaran terakhir kami. Aku tiga puluh empat saat itu. Selama pertengkaran, saat aku mencoba menjelaskan pembelaanku, ia berteriak, “Kamu adalah lelucon, dan hidupmu adalah sebuah lelucon!”

Malam sebelumnya, kami masih saling mencintai. Kami pergi ke tempat tidur pada waktu yang sama, dan karena ia sedang asyik membaca sebuah novel pop kriminal dalam teleponnya, aku tertidur di bantal, lembut menyentuh lengannya. Beberapa hari kemudian, aku mati. Aku memikirkan ini sejak saat itu—sudah empat tahun—untuk memahami makna penuh dari yang dia katakan: bahwa aku adalah lelucon dan hidupku adalah lelucon. Pada saat dia mengatakan itu, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku begitu terpukul, aku hanya mulai menangis. Ini hanya membuktikan kepadanya bahwa dia benar. Aku menatapnya dengan mulut terbuka. Tentu saja, aku tahan terhadap kekejamannya saat itu, tapi tetap terasa sakit.

Ketika aku menerima undangan kalian untuk datang berbicara di sini malam ini—tidakkah kalian tahu bahwa aku sudah mati? Kalian memang tidak tahu—ketika aku menerima undangan kalian, pada awalnya aku pikir, TIDAK, aku tidak bisa datang. Sebenarnya aku tidak punya alasan apapun. Tapi kemudian beberapa bulan kemudian aku menulis catatan kepada kalian: Aku akan datang jika kalian akan membayar biaya untuk menggali kuburanku. Jika kalian akan bersedia membayar untuk menerbangkan mayatku melintas Amerika Utara, dari tempatku dikuburkan, dan memangkuku menuju tempat mike berdiri, maka ya, aku akan datang. Saat aku di atas pesawat, aku bekerja sangat keras agar otak matiku ini bisa mengingat apa yang ingin aku ungkapkan—itulah alasanku akan mengatakan ya. Aku punya sesuatu yang penting untuk diungkapkan. Apa itu? Apakah aku sudah mengatakannya? Ah pikiran mudah tergelincir begitu cepat dari otak yang sudah mati. Aku tidak ingat apakah aku sudah memberitahukannya.

Terbaring di sana, garam dan tanah dan keringat dan cacing dan tanaman yang baru tumbuh dan anak pohon dan tulang-tulang burung kering terkumpul di mulutku, dan darahku berlapis kering, dan jari-jari kakiku mengkerut, dan otakku penuh dengan rambut dan bulu burung, dan bola putih kecil yang menyebar di tanah—serpihan styrofoam—dan kotoran anjing, dan kencing sigung, dan tanaman yang baru tumbuh dan anak pohon dan biji dan kismis; itu sesuatu yang menakjubkan karena aku masih bisa berpikir saat itu, meski di kegelapan total yang basah itu. Kalian tidak pernah tahu, berbaring di tanah, apa yang bakal muncul dalam pikiran picik kalian. Kalian hanya bisa memilih satu pikiran untuk dibawa menuju liang lahat, dan selalu itu adalah sebuah pikiran yang mengganggumu, sesuatu yang harus dipikirkan bagaimanapun caranya sebelum kalian bisa menemukan kedamaian. Pikiran yang kuambil adalah perkataan seorang pria yang kucintai itu, “Kamu adalah lelucon, dan hidupmu adalah sebuah lelucon.” Ini terpatri ke kepalaku dan ototku dan tulangku, sampai-sampai aku bukan lagi apa-apa selain kata-kata itu. Ketika kehidupanku runtuh—inilah kematian, kehidupan runtuh ke dalamnya—kata-kata pacarku tak ikut runtuh; itu menjadi hal yang terpisah dariku. Dan, karena itu terpisah dariku, aku bisa menyimpannya—ini satu-satunya hal yang aku punya.

Bisakah aku minta segelas air, tolong? Dimana airku? Aku kekeringan dan aku telah mati. Besok aku akan terbang pulang ke rumah, dengan semua barang-barang perbekalan, kedamaian dalam tulang-tulangku, setelah mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan—sesuatu yang aku sadari ketika aku masih di bawah tanah. Lalu aku akan mati selama sisa keabadian, tidak lagi harus menghapus keberadaanku sendirian.

Orang yang mengatakan bahwa aku adalah lelucon dan hidupku adalah sebuah lelucon—ia memang tidak ada di saat-saat terakhirku, menyaksikan hembusan napas terakhirku, tapi apa yang aku sadari adalah: ia meramalkan kematianku. Ia meramalkan dengah hanya melihatku dalam-dalam—karena telah jadi saksi jiwaku. Ketika ia mengucapkan kata-kata yang mengerikan itu, ia menyaksikanku menembus ke masa depan, masa depan yang dia tahu akan aku alami. Selama pertengkaran kami, aku mencoba untuk meyakinkannya bahwa dia salah. “Aku bukan sebuah lelucon!” Teriakku. “Kaulah leluconnya! Kau adalah lelucon!”

*

Ketika seseorang tergelincir karena kulit pisang kemudian mati, maka hidupnya adalah lelucon. Tergelincir pada kulit pisang bukan cara matiku. Ketika seseorang berjalan memasuki bar bersama dengan rabbi, pendeta, dan seorang biarawati, kemudian ia mati, maka hidupnya itu yang lelucon. Ini pun bukan cara matiku. Ketika seseorang adalah seekor ayam yang melintasi jalan untuk menuju ke sisi lain, dan kemudian ia mati, maka hidupnya adalah lelucon. Nah, ini adalah cara aku mati—seperti ayam yang menyeberang jalan untuk sampai ke sisi lain.

Ketika aku melintasi jalan hari itu, tentu saja ke sisi lain yang aku tuju—aku masih dalam kegamangan waktu itu, perkelahian kami masih menganggu pikiranku. Mengapa ayam menyeberang jalan? Untuk menuju ke sisi lain pasti. Sebuah tindakan bunuh diri. ‘Sisi lain’ itu adalah kematian. Semua orang tahu itu, kan?

Aku tergesa-gesa di depan mobil tua berkarat itu, dan tertabrak oleh besi itu, gigiku terdorong ke dalam tenggorokanku oleh spatbor, dadaku benar-benar tercerai berai.

Aku tidak datang ke sini untuk menakut-nakuti kalian. Aku datang ke sini untuk memberitahu kalian sebuah lelucon. Atau, lebih tepatnya, menunjukkan leluconnya. Aku! Dan untuk membual bahwa akulah yang menyaksikannya. Bahwa pacar pertamaku—ia tinggal tidak jauh dari sini. Mungkin dia ada di antara penonton, sedang mendengarkan kah? Sedang minum bir kah? Aku berharap dia ada di sini! Hidupku dan kematianku disaksikan, aku memberitahumu! Disaksikan dan dinubuatkan! Kamu tidak lebih baik dariku. Tampaknya kami berdua menang, pada akhirnya.

Ayam macam apa aku ini. Aku tidak tahan setiap aspek kehidupan. Terutama nasihat tua itu: bahwa kalian harus hidup dengan lebih baik daripada orang lain.

Seperti apa ‘sisi lain’ itu, kalian mungkin bertanya-tanya. Karena aku sudah berada di sini, aku juga bakal memberitahu kalian: itu adalah tempat konyol di mana setiap orang selalu tertawa. Ini seperti sesuatu yang pernah aku alami sekali, saat penerbangan lintas benua. Wanita yang duduk di sampingku menertawakan lelucon bodoh dalam setiap acara apa pun yang sedang ia tonton, setiap lelucon yang dibuat di acara. Lalu ia menonton acara lain, lalu acara lain lagi. Tawanya membahana mengisi barisan kursi kami. Dia tidak berhenti tertawa dari saat lepas landas sampai pendaratan pesawat. Oh betapa tawa seseorang dapat membuat kalian membencinya! Tahukah orang yang tertawa di dunia ini tahu soal itu? Apakah mereka pikir hal itu membuat mereka dicintai? Siapa yang suka mendengar seseorang tertawa sendirian, dia yang memakai headphone, sambil menatap layar? Mungkin hanya orang sama yang suka menguping orang asing yang bercinta di balik dinding kamar sebelahnya.

Di sana di ‘sisi lain’ itu, seperti itulah sepanjang waktu—anjing-anjing tertawa, pohon-pohon tertawa, semua orang tertawa—baik ada sesuatu yang lucu atau tidak. Aku berlatih pidato ini di ‘sisi lain’ itu, waktu itu penontonnya berjumlah enam belas orang, dan latihan itu menghabiskan waktu empat jam, dari awal sampai akhir, karena aku harus menunggu sampai tawa mereda di setiap kalimat yang beres kukatakan. Di bumi itu berbeda, tentu saja. Kesunyian dalam hidup adalah salah satu anugerah yang besar. Apakah kematian sama untuk setiap orang, atau dunia tertawa ini adalah kematian yang hanya dibuat untukku? Bagaimana aku bisa tahu pasti?

Apakah yang aku katakan masuk akal? Aku sadar diri tentang pembicaraanku. Apakah suaraku terdengar baik-baik saja? Ketika kalian mati, sulit untuk membawa pikiran. Kepalaku terasa diisi dengan kapas; mataku terasa dijejali dengan bola kapas; telingaku terasa disumbat dengan kapas. Sulit untuk berpikir, untuk mengurai makna demi makna. Aku tidak datang ke sini untuk memberitahu kalian bahwa aku mencintai kalian. Itukah yang kalian pikir bakal aku katakan? Aku hanya mencintai dua orang lelaki. Salah satu dari mereka adalah yang ingin menikahiku, dan yang lainnya adalah ia yang berpikir bahwa hidupku adalah lelucon. Pacar pertamaku bisa menemukan dirinya yang bisa jadi saksi, dan aku datang untuk menyatakan bahwa aku pun menemukan juga. Aku menang, kau lihat? Aku menang! Aku memenangkan hal terbaik yang seorang manusia bisa raih—untuk diperlihatkan! Aku menyatakan di sini hari ini. Ini satu-satunya alasanku merangkak kembali ke dalam dagingku untuk berdiri di hadapan kalian—mempertontonkan lelucon di atas panggung ini. Kata-katanya tidak lagi menyakitiku. Mereka membuatku merasa sangat bangga.

Mengapa ayam menyeberang jalan? Itulah aku. Akulah si ayam. Dan aku pergi ke sisi lain. Pacarku itu tahu ini akan terjadi ketika ia mengatakan itu. Ah sesuatu yang indah untuk disaksikan.

***

Terjemahan My Life Is a Joke dari Sheila Heti, penulis Kanada keturunan imigran Yahudi Hungaria, yang terbit di The New Yorker edisi 11 Mei 2015. Membaca Heti, seperti membaca Etgar Keret; minimalis, surealis, dan komikal, juga cerdas, apa gara-gara orang Yahudi, ya? Menulis adalah cara yang paling jelas dan jalan yang sangat ajaib untuk menyendiri, kelakarnya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1788

6 Comments

    • Wah Papa Hemingway emang cerpenis favorit, tapi karena banyak yg udah diterjemahin jadi bingung mana yg harus saya terjemahin

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *