Hijrah ke Blogspot

Sejak mula punya blog dari SMA sekitar tahun 2008, saya selalu memilih platform WordPress, menjajal dari layanan gratisan sampai self-hosted berbayar. Seperti kebanyakan orang yang ingin memulai ngeblog, kebingungan yang bakal dihadapi adalah memilih platform yang sesuai, saat itu opsinya antara WordPress, Blogspot atau Multiply. Saya menentukan pilihan pada WordPress dan terus memakainya selama bertahun-tahun, dan sampai sekarang, meski memakai Blogspot, saya sebenarnya tetap menyukai WordPress.

Kalau saja harga sewa WordPress tak terlalu bikin pening, saya akan tetap bertahan di sana. Pada 2019, ketika sewa domain yeaharip.com berakhir, saya memutuskan tak memperpanjangnya. Lagipula, saya tak terlalu aktif ngeblog, dan untuk menampung tulisan saya beralih ke Medium.

Setelah mengetahui kalau tulisan bisa jadi duit, saya selalu menimbang-nimbang untuk mengepos sebuah tulisan di blog. Lebih baik mengirim dulu ke media lain, kalau ditolak redaktur baru dipos di blog sendiri. Pada 2017 saya ditawari jadi penulis mild report di Tirto.id, ditawari langsung oleh Zen RS yang saat itu jadi editor at large, hanya serabutan dan bisa mengerjakannya di Bandung, biasanya dia meminta tulisan untuk akhir pekan, karena kebetulan waktu itu media itu baru berusia satu tahun jadi masih sering kekurangan tulisan. Gaya tulisan saja jadi lebih dingin, dalam artian mengurangi opini dan lebih mementingkan referensi. Di tahun yang sama, saya mulai menulis juga di media Voxpop, di sini gaya tulisannya lebih santai. Juga ke beberapa media daring ketika kantong mulai mengering.

Sementara itu, blog setidaknya cuma diisi terjemahan fiksi dan artikel dari situs berita luar, biasanya yang bersifat longread. Kegiatan menerjemahkan ini untuk latihan membangun narasi, dari menemukan kosakata baru sampai cara mengulik inspirasi tulisan. Saya sendiri jarang curhat di blog, meski ada beberapa. Sisanya diisi tulisan-tulisan yang ditolak redaktur itu, dan jarang terjadi.

Blog seringnya ditelantarkan. Namun saya pikir saya tetap membutuhkan semacam portofolio digital, lewat blog, dan harus dengan top level domain. Satu-satunya alasan beralih ke Blogspot karena ini. Sampai sekarang, saya masih berpikir perpindahan dari WordPress ke Blogspot ini justru penurunan kelas.   Saya masih tak suka dengan editor pos di Blogspot, utamanya dalam pengeditan tulisan, yang tak seapik di WordPress atau Medium. Misalnya, untuk bikin antar paragraf ada jarak dan terlihat rapi harus dengan pencet enter dua kali. Mungkin ini masalah sepele, tapi ketika ingin memindahkan dari/ke Word, jadinya harus menyunting dua kali. Baru-baru ini, ada perubahan di editor pos, saya cukup senang, tapi tampaknya cuma dari tampilan doang.

Entah kenapa saya sering dipusingkan oleh masalah trivial, bukannya memikirkan yang lebih mendesak. Saya harus belajar bersiasat dan mencintai keterbatasan.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1887

4 Comments

  1. Awal tahun 2014, saya pikir Blogspot lebih berkelas daripada WordPress, makanya saya ngotot mau pakai Blogspot, tapi apa daya Blogspot tidak bisa dipakai lewat hape, terpaksa pakai WordPress.

  2. Haha saya juga inget dulu milih wordpress karena fitur lewat hapenya enak. Satu lagi yg bikin saya sebel sama blogspot itu kolom komentarnya ga ada fitur gravatar.

  3. ini rupanya kenapa yeaharip gak aktif lagi. tapi keren kang itu dapat ajakan langsung menulis di tirto, itu menunjukkan kalo tulisannya kang arip benar-benar apik dan bahasannya cukup dalam.

    saya kalo diminta untuk menggambarkan sosok kang arip, bakal bingung saya. orang kesehatan, yang menekuni sejarah dan budaya, aktif bersastra sekaligus penulis media yang demen fotografi. O.O

    saya sampai sekarang juga nggak begitu suka dgn editornya blogspot, pernah dibikin kerepotan saat saya membahas materi pecahan. tampilan baru pun hanya sekadar tampilan yg malah memberatkan loading. tapi saya juga gak bisa pindah ke wordpress, dengan alasan yg sama, belum kuat memberi makan tempat tinggal di sana dari hasil tulisannya itu sendiri.

  4. Jack of all trades, master of none. Semua bidang tadi cuma dijalanin setengah hati, padahal pengennya punya satu yg dapat dijagoin bener-bener. Bisa dapet kesempatan nulis di tirto juga karena kebetulan editornya udah kenal aja.

    Iya padahal ngarepin editor terbaru punya fitur yg lebih ngegampangin user, ternyata cuma tampilan doang. Malah kalau pakai editor yg baru, seringnya gambar thumbnail ga kedeteksi, makanya sekarang balik ke editor lama.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *