Hong Sang-soo memiliki reputasi sulit dalam wawancara, dan dia tahu itu. Di Claire’s Camera, salah satu dari tiga filmnya yang diputar perdana pada tahun 2017, seorang sutradara Korea yang berada di Cannes untuk mempromosikan film terbarunya mencoba membatalkan dua janji pers dalam jadwalnya. “Anda perlu melakukan sebanyak itu,” agen penjualnya membujuknya. “Tak banyak-banyak amat.”
Hong, juga, diketahui membatalkan atau menjadwal ulang wawancara dan memberikan jawaban-jawaban singkat dan tampak tidak tertarik. Dia cenderung membicarakan metode-metode produksinya dengan istilah yang saklek dan menolak pertanyaan tentang hal-hal kepengarangan. Meminta dia untuk menafsirkan karyanya sendiri adalah pekerjaan tolol. “Saya bangun jam 4:00, saya merokok, dan sesuatu yang tidak saya duga datang kepada saya,” katanya kepada saya.
Saya bertemu Hong di sebuah bar di Loews Regency pada tanggal 9 Oktober, sore setelah dua film barunya, On the Beach at Night Alone dan The Day After, diputar perdana di New York Film Festival. Ia lelah dari larut malam tapi ramah dan murah hati. Strategi saya adalah memulai dengan menyoal aspek karirnya yang kurang dibahas — soal pelatihan awal Hong dalam program-program seni interdisipliner, dan bukan sebuah sekolah film industri, yang telah membuatnya mempunyai teknik produksi inkonvensional ini. Dari situ dia mengambil diskusi dalam beberapa arah yang tak terduga. Ada keajaiban, memang.
NOTEBOOK: Saya pernah mendengar Anda menceritakan sebuah cerita bahwa Anda terjerumus dalam pembuatan film saat mahasiswa, bahwa Anda bosan dan memutuskan untuk pindah ke jurusan film atas saran seorang teman. Apakah itu benar?
HONG SANG-SOO: Saya dalam keadaan bingung. Saya tidak mengikuti ujian masuk. Dan kemudian ada dramawan dan sutradara teater, teman ibu saya, datang ke rumah kami. Mereka mengadakan pesta kecil. Semua orang pulang kecuali dia karena dia sedang mabuk. Dia duduk di sofa sendirian. Ini sekitar pukul 2:00 atau 3:00 pagi, dan saya sedang bersih-bersih. Saya menyukainya karena dia berkarakter. Saya duduk di sampingnya dan dia berkata, “Apa yang sedang kamu lakukan?” “Saya tidak melakukan apapun.” [Tertawa] Dia berkata, “Mungkin kamu harus mencoba teater? Mungkin kamu bisa melakukannya?” Dia hanya mengatakannya. Saya tidak tahu apakah dia bersungguh-sungguh. Dia mabuk. Tapi ketika dia pergi, saya mulai berpikir, “Kedengarannya sangat bagus.” Jadi saya bersiap untuk ujian masuk selama beberapa bulan dan kemudian saya masuk jurusan teater. Tapi sayangnya saya memiliki sebuah masalah dengan para siswa senior, jadi saya tidak dapat terus berada di jurusan ini.
NOTEBOOK: Apa maksud Anda “sebuah masalah”?
HONG: Kami punya masalah parah. [Tertawa] Pada masa itu, terutama di jurusan teater, ada hirarki antara siswa senior dan junior. Betul-betul ketat. Tapi kebetulan itu cuma jurusan teater dan sinema, dan ketika saya melihat siswa film, mereka tidak punya hubungan hierarkis yang sama. Jadi saya berpikir, “Mungkin saya akan mencoba film.”
NOTEBOOK: Apa di sana hanya produksi film atau juga termasuk sejarah film?
HONG: Produksi. Ada kursus sejarah film juga, tapi saya tidak pernah bermaksud menjadi seorang sarjana.
NOTEBOOK: Apakah Anda seorang cinephile sebelum itu?
HONG: Saya hanya menonton film di akhir pekan di TV. Film-film Hollywood.
NOTEBOOK: Anda akhirnya masuk ke California College of the Arts dan School of the Art Institute of Chicago, yang merupakan program film interdisipliner.
HONG: Ya, mereka mendorong Anda untuk belajar jurusan lainnya. Itu adalah kecelakaan lain. Suatu hari saya melihat artikel surat kabar tentang bagaimana mereka membiarkan seorang siswa pergi ke luar negeri meskipun dia tidak memenuhi wajib militernya. Dia bisa belajar di luar negeri, kembali, dan melakukan dinas militer sesudahnya. Saya berada di tahun kedua atau ketiga di universitas Korea ketika saya melihat artikel kecil ini. Saya mulai mencari dana yang bisa saya gunakan untuk pergi ke luar negeri. Pertama saya pergi ke beberapa institusi yang membantu Anda menemukan sebuah sekolah dan saya berkata, “Saya ingin pergi ke luar negeri dan belajar film. Kampus apapun tak masalah asalkan harganya murah!”
Dan kemudian saya pergi ke seseorang yang merupakan kenalan ibu saya. Dia berkarakter juga. Dia adalah seorang biksu dan kemudian menjadi produser film. Dia juga seorang penulis, dan saya menyukainya, dan saya memiliki perasaan bahwa dia bisa menolong saya. Jadi saya mendatanginya dan berkata, “Saya ingin pergi ke luar negeri dan belajar film, dan jika Anda membantu saya sekarang, saya akan membantu Anda nanti. Bisakah Anda melakukannya?” Dan dia berkata, “Ya.” Jadi saya mendapat dana darinya agar bisa belajar di luar negeri.
NOTEBOOK: Mengapa ibu Anda dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menarik?
HONG: Karena dia suka orang-orang yang menarik, orang berbakat. [lama jeda] Bagaimanapun, saya sangat beruntung mendapat jawaban “iya.”
NOTEBOOK: Sebagian besar sekolah film di Amerika melatih siswanya untuk berperan dalam mesin produksi yang lebih besar. Sekolah yang Anda masuki itu…
HONG: Tidak begitu.
NOTEBOOK: Apakah Anda bertemu dengan pembuat film di sekolah-sekolah yang menunjukkan jenis model produksi lainnya?
HONG: Di kedua kampus itu, kebanyakan pengajar memang pembuat film. Senang melihatnya. Selama liburan mereka akan membuat film mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah pembuat film eksperimental. Saya menyukai mereka dan saya sangat senang berbicara dengan mereka. Mereka sangat membantu. Mereka banyak mendorong saya. Saya lagi-lagi beruntung.
NOTEBOOK: Apakah Anda melihat itu sebagai model untuk diikuti? Bisakah Anda membayangkan diri Anda mengajar dan membuat film selama liburan?
HONG: Tidak, saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang pengajar. Sekarang saya mengajar di universitas, tapi saya tidak punya rencana konkret.
Sampai berusia 27 tahun, ketika saya melihat Diary of a Country Priest, saya tidak pernah menyangka akan membuat film naratif dengan fitur panjang. Saya selalu berpikir saya akan membuat film eksperimental, film pendek, yang aneh. [Tertawa] Itu adalah rencana yang tidak jelas. Hanya itu yang saya pikirkan. Dan kemudian saya melihat Diary of a Country Priest dan menganggapnya sangat indah. Film itu adalah sesuatu, sungguh. Ini memberi saya harapan: Jika sebuah film bisa melakukan ini maka saya bisa belajar bagaimana membuat film naratif.
NOTEBOOK: Di mana Anda menontonnya?
HONG: Di Chicago. Dalam sebuah seminar.
NOTEBOOK: Apa ini seminar Robert Bresson?
HONG: Tidak. Mereka menunjukkan banyak film. Ini salah satunya. Maka saya mulai membaca tentang bagaimana menulis naskah.
NOTEBOOK: Kapan Anda pertama kali melihat film Luis Buñuel?
HONG: Di Chicago juga. Richard Peña, yang dulunya adalah direktur New York Film Festival, adalah seorang dosen di sana dan mengajar kursus tentang Buñuel. Saya adalah asisten Pena untuk kursus ini, jadi saya melihat sebagian besar film-film Buñuel dan sangat mencintai semuanya.
NOTEBOOK: Bertahun-tahun yang lalu, setelah pemutaran buku L’intrus-nya Claire Denis, saya sedang mendiskusikan film dengan seorang teman dan dia berkata, “Inilah yang saya pelajari dari Buñuel: Tidak ada gunanya bertanya, ‘apakah itu nyata atau apakah itu mimpi?’ Siapa peduli? Ini sinema.” Saya sering memikirkannya saat menonton film Anda. Pada akhir satu bagian pertama On the Beach at Night Alone, karakter Kim Min-hee diculik oleh orang asing, tanpa penjelasan. Saya asumsikan Anda tidak peduli bagaimana itu ditafsirkan.
HONG: Tidak masalah. Selama saya merasa tidak apa-apa, ya tidak apa-apa. Segalanya adalah ilusi, secara realistis. Semuanya, semua yang kita lihat, kita rasakan, kita bayangkan, semuanya nyata dan pada saat bersamaan palsu. Ini adalah ilusi. Perbedaannya tidak begitu penting.
NOTEBOOK: Apa maksud Anda dalam kehidupan? Atau hanya di film?
HONG: Baiklah, ketika Anda berurusan dengan hal-hal praktis, kita semua harus berbicara dalam bahasa yang sama, jadi kita berpura-pura [berbagi kenyataan yang sama]. Tapi sungguh, sungguh, sungguh-sungguh [tertawa] secara realistis, tidak apa-apa, adalah bagaimana perasaan saya. Tahu apa yang saya maksud? Semuanya adalah ilusi, semuanya adalah anugerah. Tapi ketika Anda menghadapi kehidupan sehari-hari Anda harus berbicara bahasa yang sama untuk berkomunikasi dan mendapatkan apa yang Anda inginkan. Ini dualistik.
NOTEBOOK: Apakah Anda sengaja mengutip Diary of a Country Priest? “Semuanya adalah anugerah.”
HONG: Oh ya, ya. Mungkin salah satu alasan saya menyukai film itu saat pertama kali melihatnya adalah karena dialog itu pada akhirnya. Ini menyentuh saya secara mendalam. Itulah yang terus saya katakan pada diri saya setiap hari.
NOTEBOOK: Ini semua adalah anugerah.
HONG: Semuanya. Entah kita mengakuinya, itu adalah anugerah.
NOTEBOOK: Ini adalah sebuah pertanyaan bodoh dan jelas, tapi apakah itu yang dicari karakter-karakter Anda?
HONG: Karakter Kim Min-hee [di On the Beach at Night Alone] mengatakan sesuatu tentang ini, tentang berdoa kepada Tuhan. Kecuali untuk karakter itu, saya belum pernah menulis seseorang yang mengatakan ini, sikap saya, secara langsung. Saya sedang berhati-hati. Tapi sekarang saya sudah berubah, saya rasa, sedikit. Dengan Kim Min-hee, saya berpikir, “Mungkin tidak apa-apa untuk mengatakan hal ini secara langsung.”
NOTEBOOK: Anda sering berbicara tentang bagaimana Anda memulai setiap film dengan aktor tertentu. Anda melihat beberapa kualitas di dalam dirinya yang menurut Anda bisa Anda jalani. Seperti yang telah saya saksikan dalam film-film terbaru ini, saya telah mencoba untuk mencari tahu apa minat Anda tentang Kim Min-hee saat dia di layar. Dalam adegan panjang pertama di Claire’s Camera, saat dia dipecat oleh atasannya, bahasa tubuhnya indah sekali. Dia memutar bahunya ke depan dan membungkuk ke dalam percakapan.
HONG: Ya, saya juga berpikir itu sangat indah.
NOTEBOOK: Apakah Anda mengintruksikannya?
HONG: Tidak, tidak, selama mereka setia pada dialog yang saya berikan kepada mereka, masing-masing mengambil keputusan mereka sendiri. Mereka bebas menafsirkan dialog. Saya mencoba memberi mereka sejumlah kecil instruksi. Hanya ketika mereka menuju ke arah yang salah [tertawa], saya katakan kepada mereka, “Tidak, tidak, bukan seperti itu.” Jika tidak, saya membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka ingin lakukan.
Biasanya setiap orang mengambil secara sangat berbeda. Setiap orang menjadi semesta kecil. Itu sebabnya saya ingin merekam tanpa terputus, karena masing-masing sangat berbeda. Jadi ketika mereka menyelesaikan [sebuah syut] saya bahkan tidak ingin membicarakannya. Mereka melakukan hal-hal kecil ini. Ada keajaiban. Saya tidak ingin mereka mengulanginya dari sebuah sudut lain.
NOTEBOOK: Dengan syut itu, Anda telah memutuskan posisi kamera.
HONG: Ya.
NOTEBOOK: Dan yang di belakang Kim Min-hee itu. Kita tidak melihat seluruh wajahnya sampai akhir pengambilan, saat dia berbalik ke arah anjing di tanah. Sebagian besar drama itu ada di bahunya yang membungkuk.
HONG: Ya.
NOTEBOOK: Saya juga terpesona oleh pengambilan panjang lainnya, ketika agen penjualannya berbicara dengan sutradara di sebuah kafe. Di tengah jalan, bus atau truk lewat di dekat jendela. Kita tidak melihatnya, tapi secara singkat menghalangi sebagian besar sinar matahari. Ini adalah saat yang menyenangkan bagi saya sebagai penonton. Gambar tiba-tiba menjadi terisi dengan cara baru.
HONG: Saya merencanakan beberapa hal tapi saya harapkan — secara diam-diam, sepanjang waktu — bahwa sesuatu akan terjadi selama pengambilan. Bisa jadi suara bising, bisa jadi perubahan cahaya dari truk yang lewat. [Penafsiran aktor] setiap pengambilan selalu segar untuk saya. Terkadang mereka menekankan baris ini tapi kemudian mereka menekankan baris lain. Mereka selaras. Saya sangat suka melihat perubahan ini di antara perbedaan yang berbeda. Saya membiarkan semua ini terjadi, dan jika saya menyukai hasilnya, saya menyimpannya.
NOTEBOOK: Adakah keraguan tentang pengambilan yang benar? Atau apakah Anda selalu tahu dengan segera?
HONG: Saya agak tahu. Biasanya saya punya satu atau dua hal yang saya simpan, saya rasa tidak apa-apa, dan ketika kembali ke kantor, saya melihat mereka dan memutuskannya.
NOTEBOOK: Saya melihat film baru Claire Denis, Let the Sun Shine In, kemarin, dan rasanya seperti versi film Hong Sang-soo.
HONG: [Tertawa] Pewawancara lain menyebutkan itu juga. Saya belum melihatnya.
NOTEBOOK: Saya hanya menyebutkannya karena dalam sebuah wawancara untuk film tersebut dia mengatakan bahwa dia memberi tahu penulis skenarionya, Christine Angot, “Kami tidak punya banyak waktu. Kami tidak punya banyak anggaran. Mari kita memfilmkan kata-kata Anda.” Pendekatan itu tidak biasa baginya tapi sangat khas untuk Anda. Apalagi di film-film terbaru, karakter Anda hampir tidak ada di luar percakapan.
HONG: Saya selalu memiliki beberapa adegan karakter saja, berjalan. Saya suka mereka karena ada cahaya yang berbeda di luar, atau pepohonan bergerak. Sekalipun adegannya pendek, warnanya sangat berharga. Saya akan mengobrol lama dan di antara ada sisipan kecil atau mereka berjalan di jalan. Hanya itu yang berharga bagi saya.
NOTEBOOK: Apakah ritme itu dirancang sebelumnya?
HONG: Tidak, saya terus saja mengambil secara kronologis. Saya menulis berdasarkan apa yang saya tulis sehari sebelumnya.
NOTEBOOK: Ada beberapa gambar indah di film-film baru. Misalnya syut Kim Min-hee di pantai. Anda bisa saja mengambil adegan-adegan itu di tempat lain, di sebuah kafe atau di depan dinding bata. Seberapa pentingkah keindahan saat Anda merancang sebuah adegan?
HONG: Jika gambar itu mengingatkan saya pada “gambar indah” yang klise, saya mencoba untuk tidak menggunakannya. Ketika saya memutuskan untuk [membuat film] di Cannes, saya tahu saya ingin mengambil sesuatu di pantai. Cannes dikenal karena pantainya, jadi saya tahu saya akan mengambil sesuatu yang penting di sana. Jika ternyata menjadi pemandangan yang indah, tidak apa-apa. Saya puas dengan itu, tapi saya tidak bertujuan untuk mengulangi apa yang orang lain katakan bahwa “pemandangan indah” itu disengaja. Itu harus datang secara alami dan karena kebutuhan.
NOTEBOOK: Apakah gambar klise akan menghancurkan film Anda?
HONG: Saya sering bercanda dengan sinematografer saya sepanjang waktu, “Mungkin ini terlalu indah?” [Tertawa] Saya kira frame saya, sinematografi saya, netral. Saya tidak tahu apakah ungkapan ini benar, tapi saya ingin memuat apa yang terjadi dalam frame paling ekonomis. Mengikuti mereka dengan cara yang paling ekonomis memiliki keindahan tertentu. Hanya itu yang saya inginkan. Tapi kadang kala tercipta pemandangan yang sangat indah sehingga perlu diambil di sudut yang lebih rendah untuk menunjukkan [Kim] kembali pada tingkat yang sama, dan indah sekali. Tidak apa-apa. Saya bisa mengatasinya. Tapi saya tidak bertujuan untuk adegan indah yang disebut. Tak pernah.
NOTEBOOK: Karena film Anda mengikuti irama singkat yang Anda jelaskan sebelumnya, saya selalu tertarik dengan gambar yang mematahkan polanya. Ada syut di Claire’s Camera saat Kim Min-hee dan Isabelle Huppert melihat sebuah mural besar. Mereka berdua cukup kecil dan terpotong di bagian bawah bingkai.
HONG: Itu tempat dimana kita selalu tinggal bersama-sama — kru, semuanya. Saya melihat mural itu memiliki tiga wanita dan saya bertanya-tanya, “Mungkin ini ada kaitannya dengan film saya?” [Tertawa]
NOTEBOOK: Karena sekarang Anda kebanyakan mensyut dalam waktu lama, apakah Anda pernah menyesal untuk tidak menggunakan beberapa metode pengambilan lain? Apakah Anda merindukan close up?
HONG: Saya sering melakukan close up! Saya bisa zoom kapanpun saya mau.
NOTEBOOK: Saya tidak ingat pernah melihat pengambilan close up dalam beberapa waktu.
HONG: [tersenyum] Anda akan melihatnya. Yang baru saja saya syut.
NOTEBOOK: Apakah Anda merasa harus menjaga syut itu untuk kejadian tertentu?
HONG: Itu datang secara alami. Saya tidak bertujuan untuk efek apapun. Saya hanya mengikuti insting saya.
NOTEBOOK: Percakapan terakhir dan terakhir di On the Beach at Night Alone dipentaskan sebagai adegan kelompok, tapi karena ini adalah mimpi, mungkin itu bisa saja ditulis sebagai percakapan antara karakter Kim Min-hee dan sutradara film.
HONG: Baru saja keluar seperti itu.
NOTEBOOK: Sangat menarik, karena kehadiran orang lain mengubah dinamika. Dia ingin validasi dari sutradara. Dia ingin validasi dari semua orang di meja.
HONG: Ini menunjukkan siapa dia. Mungkin kita punya petunjuk mengapa hubungan itu tidak berhasil. Semua hal ini bisa dirasakan oleh kelompok orang ini — bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, hal-hal seperti itu. Tapi saat saya menulis adegan itu, saya tidak berniat melakukannya. Itu baru keluar seperti itu.
NOTEBOOK: Masihkah ada saat ketika Anda terkejut atau sangat senang dengan sesuatu yang, sepuluh menit sebelumnya, Anda tidak berniat menulis?
HONG: Setiap pagi aku kaget! Setiap pagi, setelah satu atau dua jam, sesuatu yang benar-benar segar datang kepada saya, dan saya terkejut. “Wow!” [tertawa]
NOTEBOOK: Apakah itu bagian yang menyenangkan?
HONG: Tentu saja. Ini bagian yang paling intens. Saya sangat menikmatinya.
NOTEBOOK: Apakah menurut Anda proses itu telah membantu Anda untuk mengajarkan cara mengenali rahmat di sekitar Anda?
HONG: Saya pikir itu semua terhubung. Saya ingin menciptakan sesuatu sekarang, pada saat ini, secara spontan. Terkadang saya memikirkan mengapa saya melakukan ini, menulis di pagi hari, dan saya telah mengemukakan penjelasan ini: ini adalah temperamen saya. Saya ingat bahkan ketika masih muda, saya akan bersenang-senang dengan teman-teman saya dan kemudian orang akan berkata, “Mari bertemu lagi akhir pekan ini.” Saya akan mengatakan “tidak.” Saya tidak ingin memiliki masa persiapan. Ini adalah temperamen saya.
NOTEBOOK: Cara Anda menggambarkan proses penulisan Anda terdengar tidak seperti doa, tepatnya, tapi seperti semacam latihan spiritual.
HONG: Saya bangun jam 4:00, saya merokok, dan sesuatu yang tidak saya duga datang kepada saya. Saya bergegas menyelesaikan semuanya, saya mengembalikannya, mencetaknya, dan memanggil para aktor untuk mengaturnya. Dan setelah dua jam saya bisa melihat mereka berakting seperti apa yang saya tulis.
NOTEBOOK: Ini adalah keajaiban setiap hari.
HONG: Ini sangat hebat.
***
Diterjemahkan dari “There are Miracles”: A Conversation with Hong Sang-soo. Dalam wawancara ini, sutradara Korea Selatan Hong Sang Soo membahas kecelakaan membahagiakan yang membuatnya membuat film, penghindaran pada pemandangan yang indah, dan pencarian rahmat.
semesta kecil dalam otak yang setiap pagi dia tulis itu bikin aku ternspirasi juga. tapi tidak bisa dilakukan jika dalam membuat sebuah cerpen, tapi ya kenapa tidak.
.
sutradara “edan” sih ini.keren