Ketika membaca Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto, kita seperti diajak masuk ke dalam lorong waktu. Buku ini tidak sekadar memuat gagasan, tetapi juga semangat zaman, pergulatan ideologi, dan perjuangan atas nama kemanusiaan.
Dalam karya ini, Tjokroaminoto mengupas suatu pertautan yang pada masa itu terdengar provokatif: Islam dan sosialisme. Dua konsep yang, bagi sebagian orang, berada di ujung spektrum yang berlawanan. Namun, di tangan Tjokroaminoto, keduanya menemukan harmoninya.
Islam dan Sosialisme dalam Renungan H.O.S. Tjokroaminoto
Apa yang membuat Islam dan Sosialisme begitu menarik adalah keberanian Tjokroaminoto dalam mendobrak narasi dominan.
Di awal abad ke-20, sosialisme sering diasosiasikan dengan ateisme, suatu pandangan yang berakar dari materialisme dialektis Karl Marx. Namun, Tjokroaminoto menghadirkan tafsir yang berakar pada nilai-nilai keislaman. Baginya, sosialisme bukanlah monopoli Barat, tetapi esensinya ada dalam ajaran Islam yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan solidaritas sosial.
Sebagai seorang pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto memahami betul konteks zamannya: rakyat yang terbelit kemiskinan di bawah penjajahan kolonial. Dalam kerangka itu, Islam menjadi sumber moral dan spiritual, sementara sosialisme menawarkan kerangka ekonomi dan politik untuk perubahan struktural. Bagi Tjokroaminoto, mengintegrasikan keduanya bukanlah pengkhianatan terhadap Islam, melainkan sebuah bentuk aktualisasi ajarannya di ranah sosial.
Namun, gagasan ini tentu tidak lepas dari kritik. Sebagian ulama pada masa itu memandang sosialisme sebagai ideologi Barat yang berbahaya, sedangkan para sosialis garis keras meragukan kompatibilitas Islam dengan visi mereka. Tjokroaminoto tidak gentar. Dalam buku ini, ia menegaskan bahwa Islam, sebagai agama yang “kaaffah” atau menyeluruh, mencakup aspek-aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan politik. Ia juga mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan sosial, seperti kewajiban zakat dan larangan riba, sebagai bukti bahwa Islam sejatinya mendukung semangat sosialisme.
Gaya bahasa Tjokroaminoto yang lugas dan retoris membuat buku ini tidak hanya menjadi dokumen intelektual, tetapi juga manifesto yang membakar semangat. Kita dapat merasakan gelora idealismenya dalam setiap paragraf. Namun, di balik keberaniannya, ada kerendahan hati untuk tetap berpijak pada nilai-nilai agama yang ia yakini.
Menarik untuk merenungkan relevansi buku ini di era sekarang. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kapitalisme global, apakah gagasan Tjokroaminoto masih memiliki daya tawar? Jawabannya mungkin ada pada inti pemikiran beliau: keadilan sosial sebagai fondasi masyarakat yang beradab. Kita mungkin tidak lagi berbicara tentang sosialisme dalam terminologi klasik, tetapi spiritnya tetap hidup dalam perjuangan melawan ketimpangan dan eksploitasi.
Islam dan Sosialisme adalah pengingat bahwa ide-ide besar tidak lahir dari ruang hampa. Mereka adalah respons terhadap kondisi zaman, upaya untuk menjawab persoalan-persoalan mendesak. Tjokroaminoto, dengan segala keterbatasannya, telah memberikan kontribusi yang luar biasa dalam memformulasikan visi masa depan yang lebih adil. Ia mengajarkan bahwa agama bukanlah penghalang bagi perubahan, melainkan sumber inspirasi untuk memperjuangkannya.
Membaca ulang buku ini adalah kesempatan untuk merefleksikan bagaimana kita memaknai agama dan ideologi dalam menghadapi tantangan modern. Tjokroaminoto telah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah entitas yang saling menegasikan, tetapi bisa menjadi mitra dalam mewujudkan dunia yang lebih baik. Sebuah pelajaran yang, saya kira, tetap relevan hingga hari ini.