Hutang Sepak Bola Pada Sosialisme

Menurut legenda sepak bola John Barnes, Inggris tak akan pernah memenangkan Piala Dunia sampai para pesepakbolanya menginsafi jiwa sosialis pada batin mereka. “Pemain dari negara lain ketika mereka bermain untuk negara mereka adalah entitas sosialis, semua mengarah ke tujuan yang sama,” katanya kepada wartawan Mihir Bose. Selain mencontohkan Brasil dan Argentina sebagai panutan yang melangkah mulus dalam perjalanan ke final Piala Dunia, dia sangat tepat.

Tim sepakbola terbaik bersifat sosialis. Mereka bermain untuk satu sama lain, dan kecemerlangan individu sering tunduk pada kebaikan bersama. Bahkan bahasa tim olahraga begitu sosialis – solidaritas, bersatu, tujuan, datang bersama. Menurut Anda, mengapa kata “United” sangat dicintai oleh masyarakat sepakbola yang bahkan 15 klub di divisi teratas Inggris punya kata ini dalam nama klub mereka? Barcelona, ​​mungkin klub paling sukses di dunia, adalah perwujudan cara hidup dari “Old Clause IV” (masih ingat itu?) – dimiliki oleh pendukung demi para pendukung, mereka memang “dijamin dengan tangan atau otak dari buah industri mereka dan hasil distribusi yang adil daripadanya” seperti yang sebagian kita katakan.

Kita kembali ke pemain Inggris dan Liga Premier. Belum pernah ada contoh kultus individu yang lebih murni dan dangkal: sebuah Liga Premier di mana segala sesuatu diukur dengan uang dan kesuksesan yang dibeli oleh uang itu, dan uang yang akan makin berlipat oleh kesuksesan itu: monster hydra paling berkuasa berkepala banyak. Ini adalah dunia di mana uang menuntut balas untuk kesuksesan instan dan jika tidak datang tim hebat maka akan ada kepala yang bergulir di tiap akhir musim (contohnya klub saya, Manchester City). Tentu saja, Lampard dan Gerrard dan Rooney tahu persis seberapa layak mereka – berapa bayaran yang mereka terima.

Apakah bermain untuk Inggris sama pentingnya dengan bermain untuk Chelsea, Manchester United atau Liverpool? Tidak, karena imbalan uang tidak bisa dibandingkan. Sementara itu, “liga terbaik di dunia”, karena terus-menerus memuji dirinya sendiri, terus memakan dirinya sendiri – semakin banyak klub dalam utang besar, semakin sedikit pemain binaan yang dipupuk, dan makin sedikit peluang bagi tim Inggris yang sukses di masa depan berkat permintaan untuk gratifikasi instan di Liga Premier sehingga tidak ada waktu untuk menumbuhkan pemenang Piala Dunia di masa depan.

Lupakan Brasil dan Argentina, tim yang benar-benar bermain seperti sebuah tim, dengan prinsip sepakbola sosialis Barnes, adalah Jerman – 11 pemain di lapangan, 23 dalam skuad, bekerja bersama demi kebaikan bersama; tidak satupun dari mereka adalah bintang besar, dan kebanyakan bermain di liga Jerman yang tidak mengangkat individu di atas kolektif.

Manajer sepak bola terbesar selalu tahu berapa banyak olahraga berutang pada sosialisme. Brian Clough, yang menghadiahkan tiket dalam permainan Derby untuk para penambang yang sedang melancarkan aksi dan gelisah karena pemain yang keluar (diakui setelah dia keluar dari Derby), pernah ditanya oleh mantan anggota parlemen Buruh, Austin Mitchell, apakah dia orang yang percaya takhayul? “Tidak, Austin, aku tidak percaya,” jawabnya. “Aku seorang sosialis.” Tentu saja dia mengendarai Mercedes, tapi dia ingin semua orang bisa mengendarai Mercedes. Sepotong kue berdarah untuk semua, itu adalah filosofinya.

Bill Shankly, mungkin yang terbesar dan paling bijaksana dari mereka semua, percaya bahwa sepakbola dan sosialisme tidak dapat dipisahkan. “Sosialisme yang kupercayai adalah setiap orang bekerja untuk tujuan yang sama dan setiap orang memiliki bagian dalam penghargaan. Itulah bagaimana aku melihat sepakbola, itulah bagaimana aku melihat kehidupan,” katanya.

Untuk Piala Dunia, kita seharusnya tahu bahwa tidak ada peluang untuk meraih kemenangan bagi The Three Lions dengan koalisi Con-Dem. Bagaimanapun, Inggris tidak pernah memenangkan Piala Dunia di bawah Tories atau Liberal, atau Demokrat Liberal, atau Buruh Baru. Sebagaimana Harold Wilson membanggakan pada tahun 1966: “Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana kita hanya memenangkan Piala Dunia di bawah pemerintahan Partai Buruh?”

*

Terjemahan dari kolom Piala Dunia 2010 The Guardian berjudul Football’s Debt to SocialismSimon Hattenstone adalah penulis fitur, dalam kolom ini menulis tentang tim Inggris yang tak pernah menang dan hubungannya tentang prinsip sosialis yang harus diterapkan dalam sebuah tim.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1887

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *