Ilusi Positif dan Realisme Depresif

Filsuf Norwegia Peter Wessel Zapffe berpendapat bahwa pada dasarnya kapasitas manusia untuk berpikir dan berkesadaran diri terputus dari alam, dan sebagai bagian darinya kita mendapat lebih dari yang dapat kita atasi. Jadi, agar tidak menjadi gila, “kebanyakan orang belajar untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dengan secara artifisial membatasi isi kesadaran.”

Orang tidak hanya membatasi isi kesadaran tetapi juga mengisinya dengan lebih sedikit kebenaran. Khususnya, kebanyakan orang berpikir lebih tinggi tentang diri mereka daripada yang sebenarnya: Mereka memiliki perasaan yang membubung tentang kualitas dan kemampuan diri mereka, ilusi karena bisa mengontrol hal-hal yang sebagian besar di luar dirinya, dan optimisme salah tempat tentang hasil-hasil dan harapan-harapan mereka.

Sebagai contoh, kebanyakan orang mengklaim lebih baik ketimbang rata-rata pengguna jalan, warga negara, orang tua … yang tentu saja secara matematis tidak mungkin, karena tidak semua orang bisa di atas rata-rata. Pasangan yang baru menciptakan ikatan mungkin cenderung melebih-lebihkan kemungkinan memiliki bulan madu menyenangkan atau punya anak yang berbakat, sementara meremehkan kemungkinan memiliki keguguran, jatuh sakit, atau perceraian.

Konsep ilusi positif pertama kali muncul pada tahun 1988, dalam sebuah makalah oleh Shelley Taylor dan Jonathon Brown berjudul Illusion and well-being: A social psychological perspective on mental health. Sampai hari ini, secara umum diyakini bahwa kesehatan mental sesuai dengan persepsi akurat tentang diri, dengan yang lain, dan dengan dunia, tetapi dalam makalah mereka, Taylor dan Brown berpendapat bahwa bukti menunjukkan sebaliknya dan bahwa ilusi positif adalah karakteristik dari pemikiran manusia normal.

Ilusi positif sangat membantu sejauh memungkinkan kita untuk mengambil risiko, berinvestasi di masa depan, dan menangkis keputusasaan dan depresi. Lagipula, berapa banyak orang yang akan menikah jika mereka benar-benar mengerti apa yang menanti mereka? Tetapi dalam jangka panjang, perspektif dan penilaian yang buruk yang datang dari harga diri yang tidak semestinya dan harapan palsu cenderung menyebabkan kekecewaan dan kegagalan.

Ilusi positif cenderung lebih umum, dan lebih tertanam, di Barat. Dalam budaya Asia Timur, misalnya, orang kurang memberi diri mereka sendiri dan lebih memberi dalam komunitas dan masyarakat mereka, dan cenderung, jika ada, pada penipisan diri (self-effacement) ketimbang peningkatan diri (self-enhancement).

Ilusi positif juga lebih umum pada orang yang tidak terampil, mungkin karena orang yang sangat terampil cenderung berasumsi, meskipun salah, bahwa orang-orang di sekitar mereka menikmati tingkat wawasan dan kompetensi yang sama. Efek Dunning-Kruger ini, sebagaimana telah disebut, dikemas dengan rapi dalam sebuah fragmen singkat dari pengantar Descent of Man-nya Darwin: “… ketidaktahuan lebih sering menghasilkan kepercayaan daripada pengetahuan …” Dan, tentu saja, mungkin juga bahwa, dibandingkan dengan orang yang sangat terampil, orang yang tidak memiliki keterampilan lebih bergantung pada ilusi positif untuk harga diri mereka dan kesehatan mental yang lebih besar.

Realisme Depresi

Seperti umumnya dipercaya bahwa kesehatan mental berhubungan dengan persepsi akurat tentang diri, dengan yang lain, dan dengan dunia, demikian juga pada umumnya dipercaya bahwa depresi menghasilkan, dan dihasilkan dari, pemikiran yang terdistorsi.

“Cognitive distortion” adalah konsep dari Cognitive-Behavioral Treatment (CBT), yang dikembangkan oleh psikiater Aaron Beck pada 1960-an dan secara rutin digunakan dalam pengobatan depresi dan gangguan mental lainnya. Distorsi kognitif melibatkan menafsirkan peristiwa dan situasi sehingga mereka sesuai dengan dan memperkuat pandangan atau kerangka pikiran kita, biasanya berdasarkan bukti yang sangat sedikit atau sebagian, atau bahkan tidak ada bukti sama sekali.

Distorsi kognitif umum dalam depresi termasuk abstraksi selektif, personalisasi, dan pemikiran katastrofik:

  • Abstraksi selektif adalah berfokus pada satu peristiwa atau kondisi negatif dengan mengesampingkan yang lain, yang lebih positif, misalnya: “Pasangan saya tidak menelepon saya kemarin. Dia pasti membenci saya.”
  • Personalisasi adalah untuk mengaitkan peristiwa independen dengan diri sendiri, misalnya: “Perawat itu meninggalkan pekerjaannya karena dia muak dengan saya …”
  • Pemikiran katastropik adalah membesar-besarkan konsekuensi negatif dari suatu peristiwa atau situasi, misalnya: “Rasa sakit di lutut saya hanya akan menjadi lebih buruk. Ketika saya pakai kursi roda, saya tidak akan bisa pergi bekerja dan bayar beragam tagihan. Jadi akhirnya saya akan kehilangan rumah saya dan sekarat di jalan.”

Namun, literatur ilmiah menunjukkan bahwa, terlepas dari kecenderungan mereka untuk distorsi kognitif seperti itu, banyak orang dengan suasana hati yang tertekan juga dapat memiliki penilaian yang lebih akurat tentang hasil dari apa yang disebut peristiwa kontinjensi (peristiwa yang mungkin atau mungkin tidak terjadi) dan persepsi yang lebih realistis. tentang peran, kemampuan, dan keterbatasan mereka — sebuah fenomena yang kadang-kadang, dan secara kontroversial, disebut sebagai “realisme depresi”.

Konsep realisme depresi berawal pada 1979, dalam sebuah makalah berjudul Judgment of contingency in depressed and non-depressed students: sadder but wiser? Atas dasar temuan mereka, para penulis, Lauren Alloy dan Lyn Abramson, berpendapat bahwa orang dengan depresi membuat kesimpulan yang lebih realistis daripada orang “normal”, yang cacat oleh ilusi positif mereka. Ini menunjukkan bahwa orang dengan depresi mampu melihat dunia lebih jelas apa adanya, sementara orang normal hanya normal sejauh mereka berhasil mengakali atau menipu diri sendiri.

Depresi bisa baik bagi kita. Tetapi inilah intinya: Orang dengan depresi begitu pesimistis bahkan dalam situasi ketika pesimismenya tidak beralasan, menunjukkan bahwa alih-alih menjadi lebih realistis, pemikiran mereka hanyalah bias berbeda, dan sama kaku dan terdistorsi seperti orang normal dengan ilusi positif mereka.

Kebijaksanaan, tampaknya, terdiri dari mampu melepaskan ilusi positif kita tanpa juga menyerah pada depresi, meskipun, bagi banyak orang, depresi mungkin merupakan langkah yang perlu dilakukan.

Referensi

  • PW Zappfe. (1933). The Last Messiah.
  • Taylor SE & Brown JD. (1988). Illusion and well-being: a social psychological perspective on mental health. Psychol Bull. 103(2):193-210.
  • C Darwin. (1871). The Descent of Man, Introduction.
  • Alloy LB & Abramson LY. (1979). Judgment of contingency in depressed and nondepressed students: sadder but wiser? J Exp Psychol Gen. 108(4):441-85.
  • Dykman, B.M.; Abramson, L.Y.; Alloy, L.B.; Hartlage, S. (1989). Processing of ambiguous and unambiguous feedback by depressed and nondepressed college students: Schematic biases and their implications for depressive realism. Journal of Personality and Social Psychology 56(3):431–445.

*

Diterjemahkan dari Positive Illusions and Depressive Realism.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1882

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *