Ketika Stuart Hall meninggal pada tahun 2014, dia adalah salah satu intelektual Inggris paling ternama, yang dikenal karena tulisan-tulisan kepeloporannya dalam kajian budaya, sebuah bidang yang dia bantu kembangkan bersama dengan Raymond Williams, dan Hall tersohor sebagai seorang juru bicara Kiri Baru.
Profesor Harvard Henry Louis Gates, Jr. menggambarkannya sebagai “Du Bois of Britain,” dan The Guardian menjulukinya “godfather of multiculturalism.” Selama enam dekade ia tinggal di Inggris, Hall tampil secara reguler di TV dan radio (termasuk dalam serialnya di BBC tentang sejarah Karibia), mempopulerkan istilah “Thatcherism,” menulis rembugan sebuah buku berpengaruh tentang ras dan pengaturan kebijakan, dan membantu membangun The New Left Review.
Hall mengambil pandangan yang lebih ekspansif terhadap budaya populer ketimbang generasi kiri Inggris sebelum-sebelumnya, yang cenderung mencemooh budaya populer sebagai sarana monolitik ketika kelas pekerja menjadi sasaran hegemoni kelas atas.
Hall melihat budaya pop sebagai medan perjuangan, yang berpotensi membawa perubahan positif, bukan sekadar penindasan. Seiring pemikirannya yang berkembang, dia hadir untuk menekankan pada visi politik yang lebih besar, yang bergerak melampaui aktor dan institusi tradisional ke wilayah yang lebih subjektif.
Politik, menurutnya, bukan hanya masalah pemilihan umum: Politik ada dimana-mana, hadir dalam segala hal mulai dari permainan sepak bola hingga opera sabun. “Kondisi-kondisi eksistensi,” dia pernah berkomentar dalam sebuah wawancara adalah “budaya, politik dan ekonomi” — secara berurutan.
Terlepas dari reputasi tadi, warisan Hall jauh dari terjamin pada saat dia meninggal. Pada tahun 2014, satu-satunya buku yang ditulisnya secara mandiri gagal naik cetak, dan esainya tersebar di jurnal-jurnal dan antologi-antologi yang tak jelas.
Di London Review of Books, Terry Eagleton memperingatkan Hall karena “teori-teori daur ulang yang hingar bingar dalam ranah budaya”-nya, memanggilnya “bukan seorang pemikir orisinil yang tidak lebih baik dari seorang bricoleur yang brilian, seorang penemu ulang imajinatif dari ide-ide orang lain.”
Baru-baru ini penerbit Amerika mencoba menghidupkan kembali warisannya. Duke telah meluncurkan sebuah seri buku yang didedikasikan untuk tulisan-tulisannya yang telah dikumpulkan, diedit oleh Catherine Hall dan Bill Schwarz, serta menerbitkan kumpulan esainya oleh David Scott, seorang antropolog budaya di Columbia yang sedang mengerjakan biografi Hall. Harvard menerbitkan sebuah trifecta dari kuliah Hall yang disampaikan di universitas pada tahun 1994 dengan judul The Fateful Triangle; MIT mengeluarkan antologi esai tentang karyanya, dan Routledge menerbitkan percakapan antara Hall dan bell hooks.
Upaya ini tepat waktu: Karya Hall telah menjadi sangat resonan karena Inggris telah memilih menjadi identitas yang lebih sempit dan sikap yang lebih bersifat isolasionis terhadap seluruh dunia. Karena nenek moyangnya sendiri “sebagian Skotlandia, sebagian Afrika, sebagian Portugis-Yahudi,” Hall selalu melihat identitas sebagai sesuatu yang pluralistik, dan menolak anggapan bahwa seseorang benar-benar “Inggris” atau “Jamaika.”
Menjelang akhir hayatnya, Hall mulai percaya bahwa ketegaran perbedaan budaya tidak akan mampu menyatu dengan baik karena pemerintah dan media konservatif terkesan mendesak “Britishness.” Hal ini sebagian disebabkan oleh “modernisasi regresif” yang dilihat Hall di bawah kepemimpinan Thatcher — yang masih bergema di Brexit dan Donald Trump — tapi juga karena kegagalan imajinatif di sisi politik lain; yang kiri dengan mudah menerima bahwa visi konservatif atas dunia sebagai konsensus terhadap kenyataan.
*
Stuart Hall lahir di Jamaika pada tahun 1932 menjadi “kelas menengah berkulit coklat,” anak dari seorang pekerja United Fruit dan seorang ibu berkulit terang. Ibunya, yang keluarganya dulu kaya raya, mengidealkan masa kolonialisme dan mencegah anaknya bermain dengan anak-anak yang dia anggap di bawah mereka. Sebagai anggota tergelap dalam sebuah keluarga yang mengisolasi diri dari dunia “Jamaika hitam,” Hall menjadi semakin terasing di rumah, tulisnya, dan mulai tertarik pada “Jamaika yang tak terlalu hierarkis pada warna yang sedang berkembang.”
Meskipun kemerdekaan masih puluhan tahun lagi, Hall muncul di era yang tepat saat berkembangnya anti-imperialisme. Saat tahun pertamanya di SMA, seorang anak laki-laki yang lebih tua diskors karena melempar buku ke guru sejarah kolonialisnya. Anak laki-laki itu, Michael Manley, yang nantinya jadi kepala Partai Nasional Rakyat sayap kiri dan, akhirnya, menjadi perdana menteri.
Pada tahun 1951, Hall meninggalkan Kingston untuk mengambil beasiswa Rhodes di Oxford. Ini adalah perjalanan pertamanya ke Inggris, dan meski telah tumbuh dalam bayang-bayang Kerajaan Inggris, dia terpesona melihat betapa “tak tertahankannya keinggrisan” yang terlihat, bagaimana perilaku dipandu oleh matriks peraturan dan kode sosial yang tak tertulis.
Beberapa hari kemudian, konsepsi Hall tentang Inggris ditantang saat, melewati Stasiun Paddington, dia melihat “arus orang-orang kulit hitam menumpahkan diri saat sore di London” — pertemuan pertamanya dengan diaspora Karibia, yang mulai tiba di Inggris tiga tahun sebelumnya pada SS Empire Windrush. Dia menceritakan kembali dalam otobiografinya, Familiar Stranger:
Sulit untuk merekonstruksi efek dari melihat pria dan wanita kulit hitam Indian Barat di London ini, dengan koper mereka yang terentang dan keranjang jerami yang menonjol, mencari lingkungan seolah-olah mereka berencana untuk tinggal dalam jangka panjang. Mereka telah melakukan upaya luar biasa dalam usaha mereka untuk berpakaian sebegitu rupa, seperti yang biasa dilakukan orang Indian Barat pada masa-masa ketika bepergian atau pergi ke gereja: orang-orang dengan topi bertepi lapuk, meneleng dengan sikap gagah, para wanita dengan gaun katun yang tipis dan berwarna-warni, melangkah tak menentu ke arah angin, atau menunggu kerabat atau teman untuk menyelamatkan mereka dari keanehan yang menyelimuti. Mereka ragu-ragu di depan jendela tiket, mencoba mencari cara untuk naik kereta lain ke tempat yang sama asingnya, untuk menemukan orang-orang yang mereka kenal yang telah mendahului mereka.
Seperti yang akan dikatakan oleh Hall dalam wawancara, dia tiba di Inggris saat adanya peralihan dari “sebuah masyarakat kelas ke sebuah masyarakat massal”: suatu momen yang ditandai dengan masuknya imigran, perpecahan budaya yang disebut “tradisional” terhadap Amerikanisasi, dan munculnya politik pasar bebas yang konservatif.
Di Oxford, benteng pertahanan keinggrisan itu, Hall bertemu dengan mahasiswa asing (tidak termasuk V.S. Naipaul, yang Hall ingat sebagai seorang snob), dan, meskipun pada awalnya dia bercita-cita menjadi seorang novelis, semakin melekatkan diri dalam politik pembebasan “Dunia Ketiga”.
Fakultas sastra saat itu bergulat dengan warisan F.R. Leavis, yang jurnalnya Scrutiny merevolusi kritik dengan menerapkannya, secara menghina, pada budaya massa. Hall tertarik pada para ilmuwan Marxis yang menyetujui gagasan Leavis bahwa hanya para novelis Inggris hebat yang bisa menyelamatkan peradaban dari yang katanya disebut barbar.
Kritikus muda tersebut membaca Raymond Williams dan belajar bersama Richard Hoggart, yang penggunaan Uses of Literacy revolusionernya akan segera menerapkan lensa sosiologis-sastra ke budaya kelas pekerja Inggris. Pada saat yang sama, Hall mulai melakukan perjalanan reguler ke London, tinggal dengan “para radikal berjanggut” yang telah diwanti-wanti orang tuanya untuk dijauhi.
Meski ada rasa kurang percaya, Hall sedang dalam perjalanan untuk mendapatkan tempatnya dalam sastra Inggris. Ia menyelesaikan gelar sarjana dan mulai menulis tesis doktoral tentang Henry James, meski tak yakin ke mana usaha ini akan menuntunnya.
Kemudian, 1956 membuyarkan segalanya. Ketika Rusia menginvasi Hungaria untuk menghancurkan sebuah revolusi yang baru lahir, serta Inggris dan Prancis menyerbu Mesir untuk menghentikan nasionalisasi Terusan Suez, Hall meninggalkan tesisnya untuk menjadi guru paruh waktu dan aktivis. Sementara dia tidak pernah menjadi seorang Marxis yang sepenuhnya berkomitmen, kejadian tahun itu, dia kemudian menulis, “mengakhiri suatu jenis kepolosan sosialis.”
Dari keinsafan mentah ini, Kiri Baru lahir. Tahun berikutnya, saat Ghana mengumumkan kemerdekaannya, Hall mendirikan sebuah majalah bernama Universities and Left Review, yang tiga tahun kemudian akan digabungkan dengan The New Reasoner untuk membentuk New Left Review.
Untuk sementara, dia mendirikan dan mengelola Partisan Café di London untuk membantu mendanai penerbitan tersebut. Bar kopi ini menjadi tempat nongkrong favorit bagi kaum kiri anti-Stalinis, menarik ratusan orang ke pertemuan mingguannya, termasuk Eric Hobsbawm, Karel Reisz, Doris Lessing, John Berger, sekaligus para anggota polisi yang menyamar. Kampanye Perlucutan Nuklir juga tumbuh dari pertemuan ini, dan pidato Hall untuk organisasi tersebut membantu memperkuat reputasinya sebagai seorang aktivis dan intelektual publik. Delapan tahun kemudian, dia direkrut oleh Hoggart untuk membantu menjalankan Pusat Studi Budaya Kontemporer Birmingham.
Sementara komitmen politik Hall makin kukuh pada saat dia meninggalkan Oxford, metodologi intelektualnya selamanya bergeser, beralih dari sosiologi politik ke teori media hingga strukturalisme—apa pun yang terbukti paling berguna dalam membongkar materi yang diberikan budaya massal.
Hall pertama kali mendapat pengakuan sebagai teoretikus media untuk karya inovatifnya dalam teori resepsi, yang menganalisis bagaimana latar belakang dan pengalaman pembaca mempengaruhi pembacaan teks mereka. Pemikirannya telah merevolusi pada tahun 1970an, bagaimanapun, ketika Frankfurt School dan pemikir utama Eropa diterjemahkan ke bahasa Inggris. Tiba-tiba, melalui kesediaan mereka untuk membaca politik melalui lensa institusi dan budaya populer, Adorno dan Althusser menawarkan alat baru untuk memahami perubahan iklim politik Inggris.
Antonio Gramsci, teoretikus politik Italia awal abad ke-20, terbukti sangat berpengaruh. Dari dia, Hall meminjam gagasan tentang “konjungtur”—di mana “kontradiksi sosial, politik, ekonomi dan ideologis yang berbeda” berkumpul untuk membentuk momen sejarah yang khas. Gagasan ini akan menjadi dasar pendekatan awal Hall terhadap politik. Konsensus pasca-PDII, di mana negara-negara Eropa Barat memeluk program kesejahteraan anak-anak, menjadi salah satu konjungtur tersebut; munculnya Thatcherisme, seperti yang akan ditunjukkan oleh Hall, adalah hal lain. Terhadap mereka menempatkan sejarah lebih bawah terhadapa teori-teori global yang menyapu, Hall menekankan kekhasan pada momen-momen tertentu.
*
Sementara Hall kadang-kadang sangat tertarik pada jargon, ada kemurahan hati dan imajinasi sastrawi dalam tulisannya—sebuah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk kompleks dan kontradiktif yang dibentuk oleh, antara lain, apa yang mereka percaya, di mana mereka tinggal, bagaimana mereka berbelanja, dan dengan siapa mereka tidur bersama. Sebagai orang asing dan orang kulit hitam di Inggris, Hall menolak abid atau interpretasi reduksionis mengenai politik, seperti Marxisme dogmatis, yang gagal memperhitungkan orang-orang seperti dia.
Hal ini terbukti dalam esai politiknya, namun disampaikan secara lebih eksplisit dalam serangkaian ceramah yang dia sampaikan di Universitas Urbana-Champaign pada musim panas 1983, yang baru-baru ini diterbitkan kembali oleh Duke dengan judul Cultural Studies 1983, yang akan menjadi dasar teoritis bidang ini. Ceramah tersebut membangun kerangka analisis melalui peminjaman dari, dan kadang-kadang membuang, gagasan Hoggart, Leavis, Durkheim, dan Levi-Strauss, serta Althusser dan Gramsci. Dalam pembicaraan ini, kita melihat Hall mempertanyakan ortodoksi Marxis, dan berusaha melampauinya:
Saya bertanya-tanya bagaimana semua orang yang saya kenal benar-benar yakin bahwa mereka tidak berada dalam kesadaran palsu, tapi bisa mengatakan secepat kilat sebaliknya pada semua orang lain. Saya tidak pernah mengerti bagaimana orang bisa maju di bidang organisasi politik dan berjuang dengan menganggap perbedaan mutlak antara mereka yang dapat melihat melalui permukaan transparan, melalui kompleksitas hubungan sosial … Memang, saya selalu bergerak dari posisi yang berlawanan, dengan asumsi bahwa semua ideologi yang pernah mengorganisir pria dan wanita secara organik punya sesuatu yang benar tentang dirinya.
Hall mencirikan ideologi sebagai kerangka kerja yang digunakan orang untuk menerjemahkan dan menafsirkan masyarakat, dan dia melihat mereka berfungsi di sekelilingnya—di TV dan di pub, di ruang kelas dan bioskop, dan terutama dalam media massa. Seperti yang dicatat oleh sejarawan Frank Mort, mengkaji budaya sebagai politik pada saat itu sangat mengejutkan, hal itu menggambarkan sejarah kerja sosiologis kiri di Inggris. (Oleh karena itu, Hall pernah mengatakan bahwa dia ingin “melakukan sosiologi yang lebih baik ketimbang para sosiolog.”) Dari tahun 1930an sampai pertengahan 60an, gerakan Mass Observation bertujuan untuk mencatat “kehidupan sehari-hari” orang-orang Inggris, dan pada tahun 1950an Institute of Community Studies memetakan struktur keluarga masyarakat berpenghasilan rendah di London. Institut tersebut akhirnya menelurkan Open University, di mana Hall mengajar selama 18 tahun setelah meninggalkan Birmingham.
Pada pertengahan 1960an, Hall menikahi Catherine Barrett, seorang sejarawan feminis Inggris yang karyanya akan sangat memengaruhi dirinya sendiri, dan telah menulis bersama The Popular Arts, salah satu buku pertama yang menerapkan analisis serius terhadap film populer. Pada saat itu, pasangan ini tinggal di kota industri Inggris, yang menurut James Vernon dalam esai yang sangat bagus tentang Hall dan ras, terbelah oleh ketegangan rasial. Tahun mereka pindah ke sana, Vernon menulis, seorang “kandidat Partai Konservatif menjalankan kampanye pemilihan slogan ‘Jika Anda ingin seorang negro jadi tetangga, pilih Partai Buruh.'” Tiga tahun kemudian, pada tahun 1968, anggota parlemen konservatif Enoch Powell akan memberikan pidato “sungai darah” yang terkenal di Birmingham, menunjukkan bahwa banjir imigran akan menghasilkan hal tersebut. Pada tahun yang sama, Catherine melahirkan anak perempuan mereka, anak pertama dari dua bersaudara.
Akhir tahun 60an dan awal 70an di Inggris terjadi kebangkitan gerakan sosial sayap kiri, yaitu kekuatan kulit hitam dan feminisme, yang diikuti Catherine dengan memulai kelompok pembebasan perempuan pertama di Birmingham. Ini juga merupakan era teriakan berita utama tentang kejahatan dan apa yang disebut undang-undang “Sus”, yang memberi polisi kekuasaan penuh untuk menghentikan dan melecehkan pria muda (kulit hitam) yang “mencurigakan”. Ini memberi panggung untuk karya terobosan Hall, yang menerapkan lensa zoom ke suasana nasional yang berkonflik. Dalam Policing the Crisis, Hall dan rekan-rekannya memeriksa ledakan laporan berita tentang bangkitnya “perampokan” di Inggris, menyanggah bahwa tren ini menangkap kepanikan moral tentang orang luar dan imigran, dan umumnya mencerminkan perasaan kemunduran karena Inggris, yang berjuang dengan pengangguran dan kesejahteraan yang tidak efisien, beralih dari tatanan demokratis sosial.
Analisis Hall, yang menguraikan penelitian media sebelumnya, adalah yang pertama mengidentifikasi ketakutan dan keterbukaan jurnalistik terhadap kekerasan sebagai faktor-faktor yang akan membawa konservatif radikal berkuasa. Pada kalimat terakhir, dia meramalkan pendakian Margaret Thatcher yang akan terus berlanjut. Sayangnya, dia memang benar. Pada tahun 1979, setahun setelah Crisis diterbitkan, Thatcher terpilih sebagai Perdana Menteri.
*
Kemenangan Thatcher menandai dimulainya momen sejarah baru. Terpilih oleh pemilih kelas bawah dan kelas menengah menyusul “musim dingin ketidakpuasan”-nya Inggris, Thatcher membidik serikat pekerja, program hak, dan industri-industri yang telah dinasionalisasi—mencabut kebijakan publik Keynesian yang telah menopang negara tersebut selama lebih dari tiga dekade. Sebagai gantinya, Thatcher menawarkan apa yang kemudian digambarkan oleh Hall sebagai “konservatisme yang sangat berakar dan tertutup di seputar mitos kecil sebuah negara dengan budaya yang homogen … ditambah dengan individualisme jangka pendek yang berkepanjangan yang terikat pada pasar.”
Dalam Thatcherism, Hall menemukan studi kasus yang akan menyita pikirannya pada banyak karyanya dan, ironisnya, mencontohkan jenis politik budaya yang dia harapkan dapat diaktifkan di sebelah kiri. Esainya The Great Moving Right Show, yang ditulis pada tahun 1979, merupakan upaya untuk membedah fenomena dan daya tariknya di antara para pemilih. Bagi Hall, Thatcherisme mencerminkan apa yang oleh Gramsci disebut sebagai krisis “organik”: suatu momen ketika orang berhenti mempercayai pemimpin-pemimpin dan partai-partai politik, dan kekuatan yang baru naik menantang mereka yang ingin melestarikan tatanan lama. Selama periode ini, kontradiksi muncul memberi tanda semua kelompok yang berbeda, dan gagasan tentang apa yang dianggap “pikiran praktis biasa” berubah. Thatcher berhasil bukan karena menipu para pemilih, ungkap Hall, melainkan dengan membangun pandangan dunia yang memetakan kehidupan dan masalah nyata mereka (jika bukan identitas kelas mereka) dan memajukan kebijakan yang mencerminkan keprihatinan tersebut. Dia menganggap ini sebagai pengingat bahwa “kepentingan bukan kebiasaan tapi konstruksi politis dan ideologis.” Hall akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengkritik Thatcher, tapi dia menghargai kecerdikan taktik Thatcher.
Ketika tahun 80an, anak-anak generasi Windrush turun ke jalan untuk memprotes rasisme struktural yang dihadapi orang tua mereka dalam diam, dan Hall mengalihkan perhatiannya pada kegagalan kiri dalam menghadapi Thatcherisme. Dalam esai menariknya pada 1987 berjudul Gramsci and Us, Hall menyalahkan Partai Buruh karena pemahaman administratif tentang politik, dan keyakinan mereka bahwa subjek politik adalah aktor satu dimensi yang motivasinya dapat direduksi hanya sebagai kepentingan ekonomi. Tahun itu di Inggris, krisis tidak berkurang. Thatcher terpilih kembali, kerusuhan ras meletus di Leeds, dan satu orang setiap harinya sekarat karena AIDS. Namun di sisi kiri, Hall menulis,
tampaknya tidak memiliki konsepsi sekecil apapun tentang apa yang menyusun proyek sejarah baru. Mereka tidak mengerti sifat manusia yang kontradiktif, dalam identitas-identitas sosial. Mereka tidak mengerti politik sebagai produksi. Mereka tidak melihat bahwa adalah mungkin untuk terhubung dengan perasaan dan pengalaman biasa yang dimiliki orang dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta untuk mengartikulasikannya secara progresif ke bentuk kesadaran sosial modern yang lebih maju. … Mereka tidak menyadari bahwa ada identitas-identitas yang dibawa oleh orang-orang di dalam kepalanya—subjektivitas mereka, kehidupan budaya mereka, kehidupan seksual mereka, kehidupan keluarga mereka dan identitas etnis mereka, selalu tidak lengkap dan telah dipolitisir secara besar-besaran.
Realita Thatcher sekarang adalah realita Inggris sendiri, dan partai politik tidak menawarkan jawaban. Sehubungan dengan ini, Hall memusatkan perhatiannya pada “identitas-identitas yang dibawa orang-orang di kepala mereka.” Budaya sekarang menjadi wilayah utama politik, dan identitas individu dinegosiasikan di wilayah ini. Sayap kiri, terlepas dari klaim akan inklusivitas dan keadilan sosial, telah gagal memberikan kosakata yang cukup manusiawi dan cukup spesifik untuk dikenali orang.
Sementara itu, di antara generasi muda Inggris yang merupakan seniman kulit hitam dan Asia menggali kembali karya Hall. Ini termasuk Isaac Julien, Keith Piper, dan seniman visual dan pembuat film lainnya yang pada akhirnya akan membentuk British Black Arts Movement. John Akomfrah, seorang pembuat film yang dokumenter arsipnya The Stuart Hall Project (2013) menyaingi I’m Not Your Negro-nya Raoul Peck dalam kedalaman intelektual dan emosionalnya, termasuk di antara mereka. Menggambarkan daya tarik Hall di Stuart Hall: Conversations, Projects, Legacies, Akomfrah menulis bahwa “untuk sekelompok orang muda yang telah berubah dari warna menjadi hitam … dan banyak julukan yang menghina di antaranya dalam kehidupan mereka yang sangat pendek,” kemampuan Hall untuk bergerak dengan lancar antara identitas, subjek dan posisi teoretis justru menjadi daya tarik. Dalam dekade terakhir hidupnya, Hall menjadi ketua pendiri Iniva (Institute of International Visual Arts) dan organisasi fotografi Autograph ABP, keduanya menamai perpustakaan mereka untuk menghormatinya, dan dia terus bekerja dengan British Film Institute, sebuah hubungan yang panjang sejak tahun 60an.
Ketika politik terorganisir gagal, seni muncul sebagai cara untuk mengakses subjektivitas individu. Untuk melihat “bagaimana perbedaan beroperasi di dalam kepala orang-orang,” Hall mengatakan dalam sebuah wawancara pada tahun 2007, “Anda harus menuju dunia seni, Anda harus menuju budaya—ke tempat orang membayangkan, ke tempat mereka berfantasi, ke tempat mereka melambangkan.”
***
Diterjemahkan dari artikel New Republic berjudul Why We Need Stuart Hall’s Imaginative Left. Jessica Loudis adalah seorang penulis dan editor yang tinggal di Brooklyn.