Imposter Syndrome, Self-Handicapping dan Modesty Bias: Siasat Psikologis dalam Pencarian Jati Diri

Seperti banyak dari kita, saya pernah berada di persimpangan yang melelahkan antara ambisi dan ketakutan; persimpangan di mana kegigihan menjadi tumpul oleh kecemasan yang merongrong.

Setiap kali mencapai sesuatu, perasaan senang tak pernah tinggal lama. Ia selalu diikuti oleh keraguan—sebuah bisikan yang mengingatkan saya untuk tidak terlalu larut dalam rasa bangga.

Namun, apakah semua ini soal rendah hati semata? Atau, mungkin, ada bayangan yang lebih gelap yang mengintai di balik perasaan itu?

Imposter Syndrome dan Keinginan untuk Menyembunyikan Diri

Dalam banyak kesempatan, saya merasa seperti penyamar yang terjebak dalam sebuah permainan identitas.

Orang menyebutnya Imposter Syndrome—sindrom penyamar—dan menurut para ahli, ini adalah rasa tak layak yang muncul meski bukti keberhasilan nyata di depan mata. Seolah ada dua diri saya: yang satu bekerja keras dan mencapai hasil, yang satu lagi merasa bahwa hasil itu hanyalah kebetulan, sekadar beruntung.

Orang-orang seperti saya, yang bergelut dengan sindrom ini, sering kali menolak mengakui kemampuan sendiri. Mereka merasa cemas dan takut dianggap tahu lebih dari yang sebenarnya mereka tahu. Kadang, saya berpikir inilah alasan saya lebih suka menggunakan avatar anonim, bahkan ketika berbicara soal hal-hal yang saya pahami.

Dengan menyembunyikan diri di balik simbol-simbol sederhana, saya bisa bersembunyi dari ekspektasi yang membuat saya gugup. Sebuah perisai, barangkali, untuk mencegah pandangan orang lain merobek lapisan yang sudah saya bangun sebagai perlindungan.

Menghadang Diri Sendiri: Self-Handicapping sebagai Tameng Gagal

Namun, tidak hanya merasa seperti penyamar, saya juga kadang menjegal diri sendiri sebelum pertandingan dimulai.

Tindakan ini dikenal sebagai self-handicapping, di mana seseorang, entah sadar atau tidak, menciptakan penghalang yang menghambat performa mereka. Ironisnya, saya lebih memilih kesalahan daripada menerima hasil buruk yang menohok harga diri. Mungkin, begitulah cara saya melindungi rasa percaya diri yang sebenarnya begitu rentan.

Misalnya, saat menghadapi tantangan besar, saya kadang-kadang sengaja menunda persiapan dengan berbagai alasan kecil. Ada kalanya saya berkata pada diri sendiri, “Ah, ini cuma karena saya tidak cukup tidur,” atau “Mungkin hasilnya tak optimal karena saya terlalu sibuk dengan hal lain.”

Mungkin saja, ada sisi dalam diri saya yang lebih memilih menyiapkan alasan untuk kegagalan daripada menghadapi kenyataan bahwa saya mungkin memang tidak cukup baik.

Dengan self-handicapping, saya punya alasan untuk melarikan diri dari ketakutan akan ekspektasi dan kegagalan, seolah-olah memberikan izin pada diri saya untuk tak perlu begitu khawatir terhadap hasil akhir.

Saya menyadari, ini bukan solusi, tetapi lebih kepada pelarian dari perasaan tak nyaman yang menyelimuti.

Bayangan Kerendahan Hati: Modesty Bias dan Citra yang Saya Jaga

Dan di sinilah, di atas semuanya, kerendahan hati menjadi sesuatu yang terasa ambigu. Secara teoritis, modesty bias menjelaskan kecenderungan seseorang untuk merendahkan atau menutup-nutupi pencapaian mereka demi citra rendah hati.

Namun, bagi saya, kerendahan hati lebih dari sekadar tidak sombong. Ia adalah upaya untuk menjaga keseimbangan sosial dan emosional, agar tak terlihat menonjol, agar tetap seirama dengan norma masyarakat. Saya ingin menjadi orang yang bisa diterima di segala kalangan, tanpa mengusik kenyamanan orang lain.

Dalam budaya yang menghargai rendah hati, seperti yang dijelaskan oleh banyak ahli, modesty bias adalah strategi sosial untuk tetap berada di batas kenyamanan orang lain. Tidak mencolok. Tidak mengusik. Di satu sisi, mungkin ini positif; di sisi lain, mungkin saya hanya takut menerima tanggung jawab dari pujian yang datang.

Di balik bias ini, ada sebuah paradoks. Keberhasilan mungkin tampak lebih manis saat kita mengakuinya secara tulus, tetapi lebih mudah bagi saya untuk berkata bahwa apa yang saya capai hanyalah kebetulan.

“Ah, saya hanya beruntung,” begitu saya sering berucap, meski dalam hati saya menyadari bahwa keberuntungan tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Sering kali, dengan merendahkan pencapaian, saya tak perlu menjelaskan tentang kerja keras yang terlibat, tentang segala keraguan dan rasa takut yang menemani di sepanjang jalan.


Di persimpangan ini, saya berdiri—antara menyembunyikan diri dan mengakui kemampuan. Begitulah, bayangan diri yang berkabut ini terus menyertai, mendorong saya untuk menggali lebih dalam dan bertanya: apakah semua ini tentang rendah hati atau hanya ketakutan pada refleksi diri sendiri?

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1880

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *