Satu sore di lapang dekat penggilingan padi, seorang bocah membuka lebar telapak tangannya, menyedot puluhan dedemit ke dalamnya. Bocah lain datang, dan teriak dengan pongah, “Urang mah kan Naraku, boloho bakal kasedot racunna.”
Indosiar saat Minggu pagi memperkenalkan saya pada Inuyasha. Satu anime yang banyak menyumbang stok imajinasi bagi saya dan bocah lain: Sumur ajaib, pedang juga boomerang super besar, lubang hitam di tangan yang bisa menyedot siluman. Karena bisa dipastikan Inuyasha banyak ditonton yang lain, ia jadi bensin imajinasi kolektif ketika bermain sepanjang sore dengan teman. Beradu peran dan bertukar jurus.
Beberapa TV Nasional bertanggungjawab membaptis para bocah jadi penonton anime. Hiburan impor Jepang yang bahkan menjangkau anak kampung macam saya. Sayangnya, kebanyakan anime yang ikuti saat itu tak sampai kita tonton sampai tamat. Alasan pertama, animenya memang belum tamat, yang kedua, stasiun televisinya tak kuat bayar untuk memborong episodenya. Inuyasha, adalah contohnya, berkat kedua alasan itu.
Sebagai manga, Inuyasha perdana dirilis pada 1996, dan baru berakhir tahun 2008. Manga ini diadaptasi menjadi anime, setidaknya berangsur dua kali. Yang pertama diproduksi sepanjang 167 episode, di 2000an awal. Inilah yang saya dan bocah lainnya tonton di Indosiar itu, meski perlu dipertanyakan sampai episode berapa. Yang kedua, yang disebut Inuyasha: The Final Act, diproduksi setelah manga itu tamat, ada 26 episode.
Ditulis mangaka perempuan Rumiko Takahashi, Inuyasha berbeda dengan sebagian besar karya sebelumnya yang lebih komedi, seperti Ranma 1/2. Inuyasha berurusan dengan subjek yang lebih gelap dan lebih serius, menggunakan latar periode Sengoku untuk dengan mudah menampilkan konten kekerasan, meski tetap mempertahankan beberapa elemen komedi.
Serial ini dimulai dengan Kagome Higurashi, seorang siswi berusia 15 tahun dari Tokyo modern yang berpindah ke periode Sengoku setelah jatuh ke sumur di kuil keluarganya, untuk kemudian bertemu dengan manusia setengah siluman anjing, Inuyasha. Ketika siluman dari era itu mencoba untuk mengambil Bola Empat Arwah yang terkandung dalam Kagome, dia secara tidak sengaja menghancurkan bola itu menjadi banyak bagian yang tersebar di seluruh Jepang. Inuyasha dan Kagome mulai berkelana untuk memulihkannya, berlomba dengan Naraku sebagai karakter jahatnya. Inuyasha dan Kagome mendapatkan sejumlah sekutu selama perjalanan mereka, dan terbentuk kelompok perjalanan tetap antara Shippo si siluman rubah, Miroku sang pendeta cabul, Sango pemburu siluman dan Kirara nekomata yang bisa jadi alat transportasi.
Sebelumnya saya sempat membaca dua chapter terakhir manga Inuyasha beberapa tahun ke belakang, hanya untuk memuaskan rasa penasaran bagaimana Inuyasha tamat. Memang klise, tapi tak mengecewakan. Yang membuatnya menarik adalah ketika saya membaca kembali, saya masih bisa mengikuti alurnya, dan karakter-karakternya masih saya kenali. Ini juga yang saya rasakan ketika memutuskan menonton Inuyasha: The Finale Act, meski telat satu dekade dan sudah lama tidak mengikuti anime ini, saya masih bisa mengikuti perjalanan mereka.
Inuyasha bukan plot yang sangat kompleks yang banyak tikungan, tetapi cukup untuk membuat kita tetap terhubung dan terhibur. Penuh dengan klise shounen tradisional, dan saya masih menyukainya. Optimisme penuh sakarin beserta kekuatan cinta dan persahabatan, sesuatu yang terasa begitu imajinatif bagi saya hari ini.
Mungkin karena Inuyasha adalah anime yang saya tonton ketika kecil, saya mungkin bias tapi saya pikir ini benar-benar anime yang luar biasa. Mungkin saya tidak sedang merindukan anime ini, yang saya rindukan adalah versi muda dari diri saya yang masa depannya masih panjang. Saya merindukan kehidupan yang lebih sederhana dan tanpa beban, yang harus saya lakukan selain sekolah adalah menonton anime semacam ini sehingga saya tidak akan ketinggalan diskusi dengan teman-teman di sekolah pada hari berikutnya. Tapi sekarang saya bangun, beberapa dekade setelahnya, saya punya pencapaian sekaligus penyesalan, hal-hal yang bahkan tidak saya tahu bisa saya lewati. Orang-orang melihat saya secara berbeda dan saya juga melihat dunia secara berbeda. Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hati, saya tahu saya masih pemimpi yang sama saat itu.
Ulasan ini didedikasikan untuk Rumiko Takahashi; terima kasih telah membuat Inuyasha dan membawa seri ini ke dalam hidup saya.