Jalan Terus, Belok Kiri

1118full-the-motorcycle-diaries-screenshot

Usianya 23 tahun. Satu semester lagi untuk menyelesaikan gelar kedokterannya, ia dan kawannya yang lebih tua, seorang ahli biokimia, meninggalkan Buenos Aires dalam rangka melakukan perjalanan mengarungi Amerika Selatan. Selain tujuan akhir perjalanan untuk bekerja sukarela di koloni penderita kusta di Peru; niat utama mereka, awalnya, hanya untuk merasakan petualangan dan senang-senang. Mereka berangkat dengan motor butut Norton 500, yang dikasih nama La Poderosa, atau Yang Perkasa. Siapa sangka, perjalanan itu justru menjadi inspirasinya. Untuk tinggal di sisi yang teraniaya, untuk hidup di sisi orang-orang yang enggak diberi keadilan, dan yang enggak punya suara. Pemuda itu yang kelak menjadi simbol perlawanan dan kebebasan, yang potret dirinya hari ini terpacak di dinding-dinding kota seluruh dunia dan di kaos, biasanya dalam warna merah. Film The Motorcycle Diaries, adaptasi dari memoarnya, memotret perjalanan seorang Che Guevara muda tadi. Gael Garcia Bernal, yang berakting di The Science of Sleep dan Babel – dua film kesukaan saya, patut diacungi jempol atas perannya sebagai Che Guevara. García Bernal yang seorang Meksiko mengadopsi aksen Argentina dan menghabiskan berminggu-minggu untuk membaca beragam biografi Che Guevara, juga membaca karya-karya dari José Martí, Karl Marx dan Pablo Neruda, para penulis favorit sang pejuang revolusi itu, yang memang luas bacaannya, dan seorang pembaca rakus. “Aku merasa sangat bertanggung jawab. Aku ingin melakukannya dengan baik karena apa yang Che representasikan pada dunia,” ungkap García Bernal, “Dia seorang romantis. Dia memiliki kesadaran politik yang mengubah Amerika Latin.” Film ini sendiri mendapat kritik bagus karena berhasil memotret masa muda seorang Che. Selain sebagai film perjalanan, film ini masuk dalam genre coming-of-age; tentang petualangan, awalnya berpusat pada hedonisme masa muda, lalu Guevara menemukan dirinya diubah oleh pengamatannya pada kehidupan kaum miskin dan kondisi sosial yang timpang. Geram melihat kemudharatan yang tercipta berkat kapitalisme, Che yang berasal dari kelas menengah itu banting setir ke kiri. Lewat film ini, kita bisa merasakan keresahan seorang Che muda, yang selanjutnya mengubah dirinya, dan dunia. “Che dalam The Motorcycle Diaries lebih mirip dengan Jack Kerouac atau Neal Cassidy ketimbang Marx atau Lenin,” sebut si produser film.

2

Aku terkejut, seperti biasa, dengan betapa mudahnya tindakan meninggalkan sesuatu, dan betapa nyaman rasanya. Dunia tiba-tiba kaya dengan beragam kemungkinan.

– Jack Kerouac, On the Road

Orang sinis seperti saya memang enggak punya kerjaan selain mengkritisi orang lain. Entah sudah berapa kali saya melihat orang memakai kaos bergambar potret Che Guevara, ada juga Tan Malaka. Bagi saya itu sama saja seperti fotografer yang ingin dianggap fotografer, yang merasa kudu pakai kaos berlogo National Geographic, atau Canon, atau merk kameranya, atau komunitas fotografinya. Tentu, ini bukan masalah besar. Jika dikasih kaos gratis, saya pun enggak akan nolak. Hari itu pun saya pakai kaos gratisan. Sabtu itu, hari ketiga pelaksanaan Pekan Literasi Kebangsaan yang berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat, adalah giliran Kedai Preanger untuk menjamu kopi. Karena hanya bisa meracik Indocafe atau Good Day, saya sadar diri dan duduk di pojokan, membaca On the Road-nya Jack Kerouac. Jika sudah bosan, menyimak diskusi di ruang sebelah atau ngobrol dengan orang yang dikenal, dengan masih menentang novel tadi. Novel yang bagi Jim Morrison, membuka dunia pemikirannya dan paparan pada penulis-penulis lainnya. Tokoh dalam novel Kerouac membicarakan Rimbaud, Nietzsche, William Blake, Kafka dan Baudelaire, semua penulis yang selanjutnya menjadi favorit Morrison. Jika dia enggak nulis On the Road, tegas Ray Manzarek, personel yang memegang keyboard, The Doors enggak akan pernah ada. Lebih jauh, jika novel tadi enggak ditulis, gerakan counterculture 60-an enggak mungkin terjadi, dengan para bocah tanggung Amerika yang kabur ke jalan mencari jati diri mereka dan menjalani pengalaman transendental yang Kerouac jelaskan dalam novelnya. On the Road sendiri berdasarkan perjalanan nyata Kerouac dan teman-temannya yang menjelajahi Amerika, dengan protagonis menjalani hidup dengan latar belakang jazz, puisi, dan penggunaan narkoba. Kerouac sering memakai teman-teman dan anggota keluarganya sebagai karakter fiksinya. Menurut saya, bukan hanya Kerouac, setiap penulis pun begitu, pengarang fiksi ilmiah atau fantasi sekalipun. Inspirasi enggak datang dari ruang hampa. Beruntung, juga berhati-hatilah bagi kamu yang berteman dengan penulis, karena ada kemungkinan dirimu akan dicatut dan abadi dalam karyanya. Masih di GIM, entah berapa kopi dan rokok yang sudah saya habiskan. Berkat nama acara, kegiatan literasi kekiri-kirian ini bisa berlangsung adem ayem, enggak bernasib naas seperti Belok Kiri Fest. Karena enggak ada tanda-tanda penggerebekan, saya bisa tenang dan kembali melanjutkan pembacaan novel Kerouac tadi. Timbul keinginan untuk menerjemahkan On the Road ini. Juga, rasanya saya ingin punya kaos dengan potret Kerouac, dengan tambahan kutipannya, mungkin bakal keren.

3

Kemustahilan punya pesonanya sendiri. Keterpesonaan pada yang mustahil, ketahanan untuk menolak tunduk pada pakem usang, keberanian untuk menghalusinasikan dan mewujudkan tatanan baru. Ada yang cuma mengharapkan tegaknya khilafah, atau tumbuhnya kembali komunis, tapi pada akhirnya seorang mesiah sekalipun, seperti halnya ideal-ideal Kiri, akan bakal babak belur di hadapan kerasnya mesin kapitalisme global. Jatuh pada lubang fatalis enggak akan merubah apa-apa. Sebagai seorang pesimis akut, saya masih berani bermimpi. Dekadensi harus dilawan. Saya mengacungkan kepalan dengan jempol dijepit telunjuk dan jari tengah, simbol mano in fica, perlambang persetubuhan. Kemudian dikomentari: Roberto Bolano cabul. Saya merasa terhormat. Asal tahu saja, saya lebih seorang penggaya ketimbang penulis. Bahkan, model tulisan begini hanya gaya-gayaan seperti gaya penulis asal Cile itu. Bolaño menghabiskan usia mudanya hidup sebagai gelandangan, berpindah-pindah dari Cile, Meksiko, El Salvador, Perancis, dan Spanyol. Bolano pindah ke Eropa pada tahun 1977, dan akhirnya sampai ke Spanyol, yang kemudian ia menikah dan menetap di pantai Mediterania dekat Barcelona, bekerja sebagai pencuci piring, penjaga tempat perkemahan, pesuruh dan pengumpul sampah—yang bekerja pada siang hari dan menulis di malam hari. Ogah jadi Stalinis, Trotskyis ataupun anarkis, untuk menghindari kaul ketaatan dan keseragaman, namun, ia mengaku, ia selalu berada di Kiri. Mati tahun 2003, tapi enggak untuk semangat pemberontakannya yang tertuang dalam kata, seperti Che, layaknya Kerouac. “Setiap kali aku menyadari bahwa seluruh dunia bersepakat tentang sesuatu,” kata Bolaño, “setiap kali aku melihat seluruh dunia mengecam sesuatu secara bebarengan, bulu kudukku merinding dan ini membuatku menolaknya.”

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1924

4 Comments

  1. Saya enggak ngerti mo komentar apa… But, segala movie, book yang disebut di sini, rasa-rasanya lezat buat dicicipi.. Hehe…
    Dan karena saya (sepertinya) nge-fan sama blog ini.. jadi excited aja tiap ada postingan baru.. Ok, Bolano yang seabrek tersaji di sini, saya pengen nyicipi salah satu..
    Nuhun. ☺

    • Kalau bosen sama Hollywood dan bahasa Inggris, The Motorcycle Diaries sama Science of Sleep asyik buat ditonton.
      Makasih udah baca, dan nunggu postingan baru, jadi pengen nerjemahin puisi Jack Kerouac atau Bolano.

    • Iya jadi dokter, tapi yg paling keren karena dia kemudian jadi pejuang revolusi dan akhirnya ditembak mati CIA.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *