Terbayang sebuah perjalanan di atas rel, menyusuri lembah dan perbukitan hijau yang sekarang hanya dinikmati oleh kenangan. Alangkah indahnya jika jalur kereta Bandung-Ciwidey masih hidup, menghubungkan kota besar dengan ketenangan alam di Bandung Selatan.
Menghirup aroma tanah yang basah dan melihat hamparan perkebunan, kereta ini seolah mengundang sebuah perjalanan untuk menelusuri masa lalu—masa ketika rel-rel itu adalah urat nadi dari kehidupan agraris dan kolonial di Tatar Sunda.
Pembukaan Jalur Kereta Bandung-Ciwidey
Kembali ke masa lampau, di tahun 1917, perusahaan kereta api pemerintah Belanda, Staatsspoorwegen, memutuskan untuk memperpanjang tangan industrinya ke arah Bandung Selatan. Bukan untuk sekadar menjelajah atau menambah fasilitas bagi penduduk, melainkan karena kebutuhan ekonomis—jalur ini adalah jalan bagi komoditas dari perkebunan untuk mengalir ke kota dan pada akhirnya menuju pelabuhan.
Jalur yang dimulai dari Bandung, melewati Cikudapateuh hingga Ciwidey, menandai keterikatan ekonomi antara pusat dan pinggiran, antara kota dan desa. Soreang, yang kala itu disebut Kopo, adalah sebuah titik sentral dalam kawasan Kewedanaan Bandung yang baru tumbuh dan mengembangkan identitasnya sebagai kawasan agraris.
Rel-rel besi itu menyusuri Dayeuhkolot dan Banjaran, lalu berbelok untuk mencapai daerah Majalaya dan Pangalengan. Setiap tikungan dan persimpangan adalah saksi bisu pembangunan yang penuh tantangan alam.
Pembangunan jalur menuju Ciwidey tak hanya soal menghamparkan rel, tetapi juga tentang bagaimana manusia mengatasi alam—membangun jembatan besar di Sadu, Rancagoong, dan Andir. Tantangan itu menjadi bagian dari sejarah yang terjalin dalam setiap pos pemberhentian di Sadu, Cukanghaur, dan Cisondari.
Jalur kereta Bandung-Ciwidey ini tak hanya menampung kayu, hasil perkebunan, atau produk lain, tetapi juga menyimpan kisah pekerja-pekerja pribumi yang berkeringat di bawah langit kolonial.
Penutupan Jalur Kereta Menuju Bandung Selatan
Jalur kereta Bandung-Ciwidey masih terus digunakan setelah Indonesia merdeka, dan bertahan cukup panjang.
Namun, di tahun 1970-an, terjadi tragedi di Cukanghaur, ketika sebuah kereta tergelincir, mungkin karena beban kayu yang terlalu berat. Deretan kayu yang siap dikirim ke Jakarta justru membuat jalur ini terbenam dalam keheningan yang kelak berujung pada kematiannya.
Setelah kecelakaan itu, jalur kereta Bandung-Ciwidey mulai meredup, seperti lilin yang habis sumbunya. Dan pada 1982, jalur ini resmi dinyatakan mati, terkubur dalam perkembangan transportasi yang semakin modern. Mobil dan truk mengambil alih fungsi kereta api. Perkebunan tak lagi harus mengandalkan rel, karena jalan raya lebih cepat dan praktis, mengantarkan hasil hingga ke depan pintu.
Jejak jalur ini masih tersisa hingga kini, meski tak lagi bergema deru lokomotifnya. Di antara rerumputan yang merambat liar dan batu-batu kerikil yang mengeras, masih tampak sisa rel dan jembatan yang menjadi peninggalan dari masa ketika kereta adalah nyawa perjalanan.
Jalur kereta Bandung-Ciwidey menyisakan kerinduan pada sebuah kehidupan yang kini berakhir dalam sejarah. Bayangkan, jika saja jalur ini hidup kembali, barangkali kita bisa sekali lagi menumpang kereta dari Bandung, merasakan kesejukan udara, dan berhenti sejenak di pos-pos tua untuk mengingat kembali hidup yang pernah berdenyut di antara rel-rel itu.
Maka, jalur kereta ini bukan sekadar sarana transportasi, melainkan benang yang menghubungkan masa lalu dan kini. Sebuah peninggalan yang diam dalam waktu, menunggu untuk disentuh, untuk dihidupkan kembali atau mungkin dibiarkan dalam kedalaman ingatan.