Dengan segala romantisme yang melingkupi, waifu telah menjadi manifestasi dari keinginan, harapan, bahkan rasa cinta yang fana namun intens. Di tengah banyaknya karakter fiksi yang menjadi idola dan dambaan, Jeanne d’Arc, tokoh sejarah Perancis abad ke-15, telah dihadirkan kembali sebagai waifu.
Muncul sebagai prajurit tangguh dalam seragam yang gemerlap di anime, manga, dan game, Jeanne d’Arc mengalami reinkarnasi yang jauh dari sekadar cerita sejarah di buku pelajaran.
Apa yang membuat tokoh ini menjadi begitu populer sebagai waifu? Mengapa Jeanne d’Arc versi anime menjadi idola modern? Saya pun mencoba memahami fenomena ini melalui tiga sudut pandang yang saling berkaitan: sejarah, idealisasi, dan budaya pop.
Dari Mitos Sejarah ke Eksploitasi Fantasi
Jeanne d’Arc, sebagai tokoh sejarah, memiliki kisah yang memikat sejak dahulu kala: seorang gadis muda yang berani memimpin pasukan dalam Perang Seratus Tahun dan kemudian dihukum mati sebagai martir.
Tentu, ada daya tarik tersendiri dari seorang perempuan muda yang gagah berani di medan perang, terlebih ketika ia melakukannya dengan tekad yang lahir dari keyakinan. Dalam sejarah, Jeanne adalah simbol kekuatan dan keberanian. Namun, dalam transformasinya sebagai waifu, citra ini diromantisasi, dimanipulasi, dan akhirnya dieksploitasi.
Dalam serial seperti Fate series, Jeanne dihidupkan kembali dengan kecantikan ideal, seragam tempur yang glamor, dan senyuman lembut namun mematikan.
Sejarahnya yang heroik pun dimodifikasi agar cocok dengan narasi modern yang menempatkannya sebagai sosok penyelamat yang bisa dicintai. Ini bukan sekadar rekreasi sejarah, tapi sudah menjadi bentuk fantasi yang mempermainkan imaji tentang seorang pahlawan yang tak pernah ada di masa lalu.
Jeanne yang kita lihat di layar bukan lagi milik Perancis abad ke-15, tapi milik budaya pop yang didorong oleh hasrat dan konsumsi massa.
Jeanne Sebagai Ideal Kecantikan dan Kesucian Modern
Waifu bukan hanya sekadar karakter fiksi; ia adalah idealisasi dari apa yang diinginkan oleh sebagian penggemarnya. Jeanne d’Arc dalam budaya pop Jepang menjadi perwujudan dari kecantikan yang luhur, kekuatan yang suci, dan kesetiaan yang abadi.
Ia adalah gambaran tentang wanita yang lemah lembut namun tangguh, cantik namun tidak mengumbar, suci namun penuh gairah tersirat. Para penggemar melihat dirinya sebagai sosok sempurna yang tak mungkin ditemukan di dunia nyata.
Maka, Jeanne tak hanya menjadi sekadar karakter; ia adalah cerminan dari apa yang para penggemar inginkan dari pasangan ideal. Kebijaksanaan dan kesederhanaannya yang ditampilkan dalam berbagai adaptasi juga menjadi daya tarik utama.
Di dunia nyata, sosok seperti Jeanne mungkin sulit ditemui, namun dalam dunia maya, idealisasi ini bisa diraih. Jeanne menjadi sebuah proyeksi dari cinta dan kekaguman yang penuh kontradiksi, sesuatu yang suci namun juga duniawi, yang transenden namun intim.
Jeanne dan Budaya Pop
Fenomena waifu Jeanne d’Arc pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari mesin kapitalisme yang terus menggiling kebutuhan penggemarnya.
Dengan meningkatnya popularitas Jeanne sebagai waifu, produsen barang-barang budaya pop tidak tinggal diam. Dari merchandise, patung, poster, hingga gacha di game online, Jeanne dihadirkan dalam berbagai bentuk yang bisa dikoleksi, dimiliki, bahkan mungkin “dinikahi.”
Jeanne tidak lagi hanya sebagai simbol sejarah atau idealisasi karakter, tetapi telah menjadi komoditas yang dapat dipertukarkan dan dieksploitasi demi keuntungan.
Di sinilah ironinya. Jeanne d’Arc, yang dalam sejarahnya menjadi simbol perlawanan dan kesetiaan pada tanah air, kini menjadi salah satu produk konsumsi massal. Dalam satu sisi, ini adalah bentuk penghargaan dari budaya modern, namun di sisi lain, ini adalah komersialisasi yang tanpa ampun.
Saya merenung, apakah Jeanne akan tetap menjadi Jeanne jika ia tahu bahwa gambarnya dipuja sebagai simbol ideal waifu oleh jutaan orang, ataukah ia justru akan memandang dengan getir betapa fana dan sempitnya dunia yang ia bela dengan nyawanya sendiri?
Pada akhirnya, Jeanne d’Arc sebagai waifu adalah fenomena yang kompleks, penuh dengan paradoks antara sejarah, fantasi, dan kapitalisme. Di satu sisi, ia menghubungkan kita dengan sejarah heroik yang jauh, namun di sisi lain, ia menjadi cerminan dari keinginan manusia modern yang memimpikan kesempurnaan dalam sosok yang tak pernah benar-benar ada.