“Orang-orang yang tinggal bersama dirinya,” tulis Edward Said, “adalah para pecundang sejarah – dibuang ke pinggiran ketika mereka terlihat menggelandang dengan sedih. . . . Dengan pengecualian satu atau dua novelis dan penyair, tidak ada yang pernah membuat keadaan yang mengerikan ini menjadi lebih baik.”
Mungkin mengejutkan untuk mengetahui bahwa beberapa paragraf sebelumnya, intelektual ikonik Palestina itu sedang menceritakan dirinya ketika menyelundupkan edisi terlarang dari Superman dan Captain Marvel ke rumah masa kecilnya, karena dia tidak memuji buku akademis tebal atau dokumenter politik, tetapi sebuah buku komik – khususnya Palestina karya Joe Sacco.
Dirilis dua puluh lima tahun yang lalu tahun ini, komik Joe Sacco yang menggambarkan kehidupan di wilayah pendudukan itu menjadi terobosan. Jarang, dan masih jarang melihat seseorang mendokumentasikan orang-orang nyata yang tinggal di Palestina, di balik berita utama dan debat politik. Sacco melukiskan gambaran kehidupan di Tepi Barat dan Gaza dalam semua realitasnya yang berantakan dan tak sempurna, tanpa “agenda” atau solusi yang diusulkan.
Gambar-gambar itu melekat pada Anda: anak-anak Arab yang ditembak dengan peluru nyasar memenuhi bangsal rumah sakit. Para pemukim remaja berpatroli di Hebron bersenjata dengan sepucuk Uzi. Seorang kakek menangis setelah dipaksa oleh tentara Israel untuk menebang kebun zaitun keluarganya, satu-satunya sumber pendapatan mereka. Rumah-rumah dibongkar sebagai balasan atas kejahatan yang tidak terbukti oleh keluarga penghuninya.
Dan terlepas dari usia mereka, cerita-cerita itu memiliki relevansi yang meresahkan hari ini: tahun lalu menandai empat tahun tertinggi dalam penghancuran rumah-rumah Palestina, sementara bulan lalu, pasukan Israel menumbangkan tiga ribu pohon zaitun Palestina.
Dalam Palestina, Sacco menjalin sejarah Deklarasi Balfour – pernyataan tahun 1917 yang menandai dukungan pemerintah Inggris untuk “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” – ke dalam Nakba, dan realitas dari apa yang diwakili oleh peristiwa-peristiwa ini bagi orang-orang Palestina.
Dia menceritakan kisah-kisah seperti seorang pengungsi Palestina lanjut usia yang kembali ke bekas desanya setelah setengah abad dan menemukan bahwa desa itu telah dihancurkan.
Lihat: Palestina, Setelah Deklarasi Balfour
Pada saat banyak yang mengklaim bahwa orang Palestina “tidak ada” – seperti yang pernah dikatakan oleh mantan perdana menteri Israel Golda Meir – penggambaran Sacco tentang kehidupan di wilayah pendudukan adalah penolakan keras terhadap gagasan itu.
Orang Palestina memang ada, mereka memang ada, dan mereka akan terus ada, sebagai orang yang nyata, dengan kehidupan, pekerjaan, keluarga, dalam ketidakpastian pendudukan yang tidak pernah berakhir.
Lahir di Malta, Joe Sacco dibesarkan di Australia dan Amerika, menjadi jurnalis yang bekerja di layanan berita regional AS dan mempraktikkan ilustrasinya di komisi untuk dewan turis Malta. Pada akhir 1980-an, dia pergi bepergian, akhirnya mendapati dirinya berada di Timur Tengah pada saat Palestina sedang meletus. Sejak Intifada Pertama, dia telah menulis tentang konflik Bosnia (Safe Area Gorazde dan The Fixer), kemiskinan di Amerika (Days of Destruction, Days of Revolt) dan pengalaman penduduk asli Kanada (Paying the Land).
Dalam cerita ini, seperti jurnalis gonzo tahun 1970-an, Sacco menolak asumsi bahwa cerita penulis bisa independen – bahwa karya dapat dibangun tanpa bagian dari penulis yang tumpah ke halaman. Palestina-nya Sacco mengakui perannya sendiri dalam cerita tersebut.
Dari penggambaran karikatur wajahnya yang berkacamata hilang dalam kerumunan protes Israel hingga komentar informal tentang segala sesuatu di sekitarnya dan kritik terus-menerus terhadap perilakunya sendiri yang tampaknya cacat, tidak mungkin untuk melewatkan peran Sacco dalam karyanya sendiri.
Dalam karya-karya seperti Palestina, pembaca mengikuti Joe Sacco dalam pertemuannya dengan semakin banyak “pecundang sejarah”, dengan patuh menceritakan kisah mereka dan dengan setia membayangkan penderitaan yang mereka hadapi.
Terinspirasi oleh lukisan Goya dan Bruegel serta gaya Catch-22-nya Joseph Heller, ilustrasi Sacco mengambil gaya yang hampir hiperrealistik. Ekspresi berlebihan dari setiap karakter mencerminkan siapa mereka, sementara panoramanya menangkap setiap detail kehidupan sehari-hari yang tak ada habisnya. Sacco memadukan gaya buku komik kontra budaya dengan deskripsi yang begitu jujur tentang subjeknya – bukan sebagai karikatur, tetapi sebagai orang yang sebenarnya.
Menariknya, buku terbaru Sacco, Paying the Land, mengambil arah yang berbeda. Sebagai kisah tentang penduduk asli Dene Kanada selama beberapa dekade, cakupannya sangat luas, mencakup segala hal mulai dari kemiskinan yang meluas, alkoholisme, dan penyalahgunaan obat-obatan hingga pipa minyak dan gas metalik yang luas yang kini melukai lanskap Kanada yang luas.
Dalam salah satu bab yang paling menarik, dia meneliti sejarah tentang bagaimana 150.000 anak-anak adat dididik secara paksa di sekolah berasrama yang dikelola negara di mana budaya dan identitas mereka sengaja dihapus, dan pelecehan verbal, fisik, dan seksual marak. Sekitar enam ribu anak meninggal di sekolah-sekolah itu, yang tetap buka sampai tahun 1990-an dan dikutuk dalam laporan tahun 2015 sebagai alat “genosida budaya” yang direstui negara.
Melalui trauma abadi dari anak-anak yang tinggal di institusi ini, Joe Sacco menawarkan sekilas gambaran yang langka tentang sejarah yang menyakitkan dan komplit soal orang-orang Dene, yang membentuk rasa sakit dan kemiskinan yang mereka hadapi hingga hari ini.
Kekuatan lain dari Sacco adalah tidak adanya solusi dan struktur politik. Karyanya memiliki sinisme yang tertanam terhadap tentara dan politisi, terhadap penegak hukum atau tokoh jauh yang tidak pernah menghadapi penderitaan yang didokumentasikannya.
Sebagian dari kritik itu ditujukan untuk jurnalis lain; ketika Sacco menghabiskan berbulan-bulan dengan subjeknya di tempat-tempat seperti Palestina dan Bosnia, dia menyaksikan kunjungan singkat dari jurnalis Barat yang akan menggunakan kehancuran sebagai latar belakang yang menarik untuk laporan berita sebelum menghilang keesokan harinya.
Seperti yang dikatakan Edward Said: “Joe akan berada di Palestina dan hanya itu – menghabiskan waktu sebanyak yang dia bisa, jika tidak pada akhirnya menjalani kehidupan terkutuk yang dijalani orang-orang Palestina.”
Hal itu memang inti dari kehebatan tentang pekerjaan Joe Sacco. Karyanya bukan sekadar reportase, atau berburu sudut pandang tertentu, tetapi upaya untuk menyempurnakan kisah orang sungguhan, baik mereka yang selamat dari perang Bosnia yang menemukan rasa identitas budaya dalam rokok buatan Bosnia atau jeans Levi’s, orang Palestina di pengungsi kamp-kamp semi permanen yang berbagi cerita dengan suguhan teh yang kemanisan, atau orang-orang Dene, yang “tidak terikat pada budaya yang pernah melabuhkan mereka,” karena tanah mereka diserahkan kepada perusahaan minyak dan gas.
Kesetiaan Sacco adalah kepada manusia yang terperangkap di tengah konflik besar, pergolakan, dan intervensi liberal tahun 1990-an dan 2000-an – mereka yang paling sedikit berpengaruh, tapi paling menderita.
Dia telah memberikan wajah dan suara untuk “pecundang sejarah” – sebagaimana Said menyebut mereka – dan memastikan bahwa kehidupan, cerita, dan kemanusiaan sehari-hari mereka selalu di depan dan di tengah.
Seperempat abad sejak publikasi pertama Palestina, Joe Sacco mengimbau orang-orang untuk menolak melupakan korban jiwa dalam tiap inti konflik.
*
Diterjemahkan dari artikel Jacobin berjudul Joe Sacco Has Given Voice to the Oppressed in Palestine and Beyond.
Palestine, tanah para Nabi dengan konflik tak berrkesudahan
pray for palestine always
Miris yah… aku baca ini sedih. Sebagaimana perang yg terjadi tetap warga sipil yg nggak tahu apa2 jadi yg paling menderita.. padahal impian mereka sama yakni hidup yg aman, nyaman, dan tentram tanpa konflik..
Konflik ini udah terlanjur lama. Bahkan umurnya pun sudah lebih dari 100 tahun. Entah skema apalagi yg harus digunakan agar menemui titik tengah.. tapi ahh sudahlah..
Iya miris banget, padahal dulu Palestina yg jadi salah satu yg awal mengakui kemerdekaan Indonesia. Kasihan sampai hari ini masih dalam masa penjajahan mereka. Titik tengah justru kerugian, harusnya kayak Indonesia juga, penjajah ya pastinya kudu diusir.
Para Uzi di sini artinya pasukan bersenjata yang pakai senapan mesin ringan bernama uzi itu, kah? Saya pertama tahu Uzi dari nama karakternya Keret, terus dulu sempat iseng googling itu ternyata tembakan, nama si pembuatnya Uzi siapa gitu. Enggak tahu kalau misalkan ada arti lainnya. XD
Kisahnya kok sedih pisan, anak-anak dididik secara paksa, terus identitasnya dihapus, mengalami pelecehan.
Kerenlah Sacco bisa konsisten menyuarakan mereka-mereka yang tertindas. Saya baru dengar nama dia dan otomatis jadi pengin baca komiknya, tapi di lain sisi ada rasa malas sekiranya terpicu kesedihan mendalam. Lagi pengin mengurangi bacaan-bacaan sejenis itu juga.
Iya Uzi di situ maksudnya jenis senjata yg sering dipake di sana, bahkan umum dipake warga biasa. Itu saya salah nulis harusnya: “Para pemukim remaja berpatroli di Hebron bersenjata Uzi.”
Komik karya Sacco ini bagus2, dan dia sendiri tetap bilang komik bukannya pake label “novel grafis” biar dianggap lebih tinggi derajatnya. Yg paling bikin sedih karena buat Palestina, konfliknya masih berlangsung sampai hari ini dan bahkan bisa ditonton langsung, dilematisnya kita ga bisa ngapa-ngapain.
Suka sedih kalau baca tentang Palestina. Walaupun nggak bisa bantu banyak minimal bisa bantu lewat doa.
“Pada saat banyak yang mengklaim bahwa orang Palestina “tidak ada” – seperti yang pernah dikatakan oleh mantan perdana menteri Israel Golda Meir –” pernyataan si meier ini membunuh, bahkan sebelum peluru2 tentaranya diletuskan ke orang Palestina 🙁 tapi Palestina akan tetap hidup, dalam komik Sacco, maupun pada simpati warga dunia yg bersimpati pada keadilan