Riding has become a pas de deux. Rider and road are partners dancing. It can even happen that you fall in love.
John Berger
Kalau bulan bisa ngomong, dan motor bisa nulis. Sayangnya tidak. Kalau saja saya bisa merenungkan dan merumuskan pengalaman dan menuliskannya sebaik John Berger. Sayangnya belum. Tapi kalau sekadar berandai-andai, terus-terusan begitu, tak akan ada yang tercipta. Pengalaman momotoran tiap minggu selama sebulan kemarin hanya akan lenyap begitu saja. Tak akan ada yang tertuliskan.
Oke, pertama-tama siapa itu Berger? Singkatnya, dia itu kritikus seni, pelukis, novelis, dan penyair. Seorang intelektual dan humanis Marxis yang meninggal Januari 2017 kemarin, yang banyak pemikirannya akan terus hidup. Lalu apa hubungannya Berger dan motor? Dia juga seorang motoris. Tonton John Berger or The Art of Looking (2016), dan kita bakal melihat seorang aki-aki di usia 90 masih gagah naik motor gede Honda CBR1100XX alias Blackbird. Ini boleh diikuti atau tidak, saat tinggal di pedesaan Prancis, dia hobi membawa motor tadi di jalanan pegunungan Alpen dengan kecepatan tinggi. Yang pasti, beragam pemikirannya soal momotoran sesuatu yang enggak boleh dilewatkan.
Dalam Bento’s Sketchbook, Berger menyebut bahwa selama bertahun-tahun dia terpesona oleh hubungan paralel antara tindakan mengemudikan motor dan tindakan melukis. Hubungan itu mempesonanya karena bisa mengungkapkan suatu rahasia. Tentang apa? Tentang perpindahan dan penglihatan. Bahwa melihat membuat kita lebih dekat. Kamu mengendarai motor dengan matamu, dengan pergelangan tanganmu dan dengan bersandar pada tubuhmu. Matamu yang paling penting dari ketiganya. Motor mengikuti dan membelok ke arah apapun yang diarahkan. Ini menuruntukan penglihatanmu, bukan pikiranmu. Tidak ada pengemudi kendaraan roda empat yang bisa membayangkan ini. Jika kamu melihat dengan susah payah halangan yang ingin kamu hindari, ada risiko besar justru kamu akan menabraknya. Lihatlah dengan tenang jalan di hadapan dan motor akan menempuh jalan itu.
Berger juga menerangkan dalam Keeping a Rendezvous, bahwa momotoran mendekatkan kita dengan dunia. Sebabnya selain perlengkapan pelindung yang dikenakan, enggak ada apa-apa lagi antara kita dan dunia saat bermotor. Udara dan angin menekan langsung. Karena kita berada di atas dua roda dan bukan empat, kita lebih dekat ke tanah. Dengan lebih dekat berarti lebih intim. Membungkuk menghasilkan efek intim lainnya. Setiap garis kontur di peta yang kita lewati berarti poros keseimbangan kita ikut berubah. Persepsi ini bersifat visual tapi juga taktil dan ritmis. Seringkali tubuh kita tahu lebih cepat dari pada pikiran kita.
Lebih jauh, Berger menyebut momotoran sebagai pas de deux. Dansa berpasangan. Pengendara dan jalanan adalah mitra menari.
Saya enggak tahu di Eropa sana apakah ada touring motor dan Berger pernah ikutan atau tidak. Sudah bisa dipastikan, Berger belum pernah merasakan bermotor beriringan di jalanan di wilayah Priangan, dan sesekali melakukan perjalanan jauh menyusuri pantai selatan Jawa Barat dan Banten. Sebulan kebelakang ini Komunitas Aleut memang masih melakukan ngaleut tiap minggunya. Tapi aleut-aleutan dengan motor.
Saya setuju dengan pemikirannya bahwa dengan momotoran membuat kita lebih intim dengan dunia. Semakin sedikit perlengkapan pelindung yang dikenakan, justru makin membuat kita membumi. Tentu saja, keamanan tetap nomor satu. Tapi, setelah saya rasakan, hanya dengan memakai sandal jepit, jaket biasa bahkan cuma kemeja flanel, di sunblock serta body lotion dan barang bawaan seadanya malah membuat saya makin nyaman, bahkan aman. Karena secara psikologis merasa sedang momotoran di kampung sendiri. Meski saya sedang di Sinumbra, Agrabinta, Jampang, Bayah, Darangdan, Tanggeung, Sindangbarang, atau kawasan Priangan lain. Seperti warga lokal.
Enggak seperti kelompok touring motor lain yang seringnya meminggirkan yang lain saat kelompoknya lewat jalanan tertentu, dan biasanya dengan kecepatan edan, momotoran bersama di Komunitas Aleut justru menawarkan keselowan. Enggak sok jago, kecuali yang baru ikutan. Karena memang enggak ada yang jago. Yang paling nyeleneh, dengan hanya motor-motor biasa buat jalanan perkotaan, dan seringnya motor itu jarang diservis, justru doyan menguji kekuatan dengan sengaja memilih rute jalan terpencil dan yang bikin sinting. Masuk hutan, lewat tanjakan curam, turunan licin, melintas jalanan berlubang, berbatu, berlumpur, bahkan jalan yang enggak ada jalannya, dan asyiknya itu semua seringnya dilakukan pas gelap.
Jika Berger hanya bermotor sendiri, maka momotoran di Komunitas Aleut pasti bakal dapat pasangan. Pasangan yang mengisi jok belakang. Itupun kalau mencukupi. Soal pemasangan ini pun sangat politis. Biasanya malam sebelum keberangkatan, ditentukan siapa dengan siapa. Pegiat aktif yang luwes biasanya bakal dipasangkan dengan anggota baru. Tujuannya agar si anggota baru tadi kerasan, sehingga ikut lagi dan lagi. Bahkan, sudah jadi rahasia umum, pemasangan ini jadi semacam biro jodoh. Selain itu, lewat momotoran, kita bisa tahu sifat asli seseorang, karena dalam kondisi lelah secara otomatis topeng seseorang akan terbuka. Mana yang culas atau egois, dan mana yang memang benar-benar berkesadaran secara kelompok.
“Kemudian saya mulai melihat sesuatu yang tidak begitu konseptual namun fenomenologis, berkaitan dengan pengalaman,” ungkap Berger saat diwawancara di pameran lukisannya di London. “Kontur di peta, sungai-sungai, jalan-jalan, barisan pegunungan, mulai membentuk metafora tentang tubuh pengendara dan motornya. Dengan cara yang aneh kamu menjadi perjalanan yang telah kamu buat, sampai perjalanan yang akan dijalani selanjutnya. Kamu memakannya dan kamu memberakkannya; Perjalanan merasuk dalam tubuhmu.”
Mantap ini, tapi kayaknya selain lebih dekat dengan Dunia juga lebih dekat dengan akhirta 😀
[…] Tautan asli: https://yeaharip.com/2017/05/09/john-berger-atau-seni-momotoran-ala-komunitas-aleut/ […]