Jepretan Kedua Kamera Digital 2000-an: Romansa CCD dan Nostalgia dalam Foto Jadul

Di tengah kemudahan teknologi, muncul gelombang anak-anak muda yang kembali menggali apa yang usang: kamera digital jadul.

Kamera digital jadul ini punya banyak sebutan: kamera saku, digicam (kadang camdig), atau point-of-shot. Secara garis besar, kategori kamera level konsumer yang banyak digunakan untuk kebutuhan personal, untuk membedakannya dengan kamera profesional setingkat DSLR.

Di era di mana segala sesuatu tampak mulus, serba instan, dan tersambung dengan satu klik jari, saya kerap merasa ada yang hilang. Waktu berlari cepat, tanpa ampun, membawa kita ke dalam dunia yang semakin canggih, namun juga semakin kehilangan sentuhan manusiawi.

Kamera digital, alat sederhana yang pernah saya anggap sebagai sesuatu dari masa lalu, kini dicari kembali. Mungkin menjadi simbol perlawanan terhadap laju waktu yang terus melaju.

Romansa Analog di Dunia Digital

Bukan rahasia lagi bahwa generasi muda hari ini tumbuh dalam dunia yang serba digital. Layar ponsel adalah cermin, kamera adalah sahabat, dan algoritma media sosial menjadi penentu selera. Namun di balik hiruk-pikuk dunia digital, saya melihat sesuatu yang unik.

Video-video pendek di TikTok menampilkan anak-anak muda yang dengan bangga memamerkan kamera digital jadul dari merek seperti Olympus, Fujifilm, Sony, Canon hingga Kodak. Kamera saku yang sudah ketinggalan zaman itu kini kembali hadir di tangan mereka.

Dalam banyak video, misalnya, penonton diberi tahu bahwa kamera point-and-shoot murah semacam itu adalah cara untuk memberikan foto-foto baru dengan nuansa vintage.

Mereka tidak mencari kualitas gambar terbaik. Kamera-kamera yang mereka gunakan sering kali menghasilkan foto yang buram, berbintik, dan jauh dari standar kamera ponsel pintar masa kini.

Saya diingatkan akan teknologi CCD, teknologi lawas yang digunakan kamera-kamera ini, yang memang jauh tertinggal dibanding CMOS dalam hal efisiensi dan kualitas gambar. Tetapi justru di sinilah letak daya tariknya—foto-foto yang dihasilkan terlihat kuno, seolah-olah membawa kita kembali ke masa lalu.

Dalam keburukan teknisnya, ada sebuah romansa yang sulit dijelaskan.

Bahkan ada yang mengklaim bahwa kamera-kamera itu dapat meniru nuansa yang dihasilkan kamera analog film. Banyak yang menunjukkan berbagai “foto-foto vintage” hasil jepretannya. Ini juga salah satu alasan digicam makin diminati, soalnya harga roll film dan ongkos cuci scan makin tak terjangkau.

Mungkin, bagi mereka, setiap ketidaksempurnaan itu adalah upaya merebut kembali kendali atas kehidupan yang sudah terlalu digital.

Menggali Nostalgia di Balik Bintik CCD

https://www.tiktok.com/@camdig.id/video/7405160559060077830

Mungkin saya sedikit nostalgia, tapi saya memahami kenapa kamera digicam ini bisa kembali populer. Ada kenangan yang mereka kejar, sebuah perasaan tentang masa kanak-kanak yang dipenuhi dengan foto-foto keluarga yang kurang sempurna.

Ketika saya melihat foto dengan bintik-bintik dari sensor CCD yang mereka unggah, saya teringat foto-foto lama di album rumah—foto yang diambil tanpa pretensi, tanpa filter, tanpa pencahayaan profesional.

Kamera-kamera itu, dengan segala keterbatasannya, menciptakan gambar yang tampak lebih manusiawi. Bukan sekadar gambar, melainkan jejak-jejak kehidupan yang tidak selalu tertata rapi.

Generasi Z dan Alpha ini tampaknya memahami, bahkan merayakan, keterbatasan kamera jadul. Dengan sengaja, mereka memilih teknologi yang “buruk,” kamera dengan resolusi rendah, tak memiliki fitur modern seperti stabilisasi gambar, apalagi AI yang bisa memperbaiki setiap ketidaksempurnaan.

Mereka menginginkan gesekan, perlawanan terhadap kelancaran teknologi masa kini. Di dunia yang begitu mulus, kesalahan-kesalahan teknis pada foto-foto mereka justru menjadi cara mereka menegaskan bahwa tidak semua hal harus sempurna.

Saya melihat ini sebagai bentuk ekspresi yang sangat personal, sebuah penolakan halus terhadap standar yang dipaksakan oleh kecanggihan teknologi modern.

Noise Sebagai Protes

epson rd 1 leica voigtlander kamera digital mirrorless

Di tengah kemudahan teknologi, ada sebuah ironi yang menyentuh: anak-anak muda justru menyukai sesuatu yang lebih merepotkan. Kamera digicam yang mereka pakai bukanlah alat yang praktis untuk hari ini.

Port-port yang sudah usang, kabel pengisi daya yang sulit dicari, hingga kartu memori yang tidak lagi dijual. Tetapi justru di sinilah letak pesonanya. Dalam dunia yang begitu mulus, gesekan itu—proses yang lebih rumit dan tidak efisien—menjadi semacam protes terhadap keterburu-buruan zaman.

Saya pun teringat pada waktu-waktu ketika segala sesuatunya terasa lebih lambat, lebih terkendali. Mungkin, dengan menggunakan kamera yang tampak kuno ini, mereka sedang berusaha memperlambat waktu.

Mereka ingin merasakan kembali perasaan menunggu—menunggu hasil foto yang baru akan terlihat setelah dipindahkan ke komputer, menunggu momen yang tepat karena kamera mereka tidak secepat ponsel pintar. Dalam setiap keterbatasan teknologi, mereka menemukan ruang untuk bernapas, untuk melawan laju waktu yang semakin cepat.

Saya mulai bertanya-tanya, apakah ini bukan sekadar tren sesaat? Mungkin di balik semua ini ada kebutuhan mendasar yang selama ini terabaikan.

Sebuah kebutuhan untuk kembali merasakan hidup secara lebih lambat, lebih nyata, lebih manusiawi—sesuatu yang, dalam dunia digital, sulit kita dapatkan. Dan mungkin, seperti mereka, saya juga merindukan saat-saat itu. Saat di mana teknologi, dalam segala keterbatasannya, justru memperkaya pengalaman hidup, bukan merenggutnya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1860

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *