“Aku juga berjuang,” bela Kartini, “ikut melawan tirani budaya yang feodalistis, tiranik dan hegemonis. Sama sepertimu.”
“Ya, ya, aku tak hendak mencibirmu atau apa. Maksudku-”
“Oke, jujur saja, tak perlu berputar-putar. Kau iri kan?”
“Hey!” Muka Dewi Sartika mendadak merah padam. Seakan ada sejuta sumpah serapah tercekat di kerongkongannya, memaksa ingin keluar. “Di Sumatera sana, Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia dengan gagah berani mengangkat senjata langsung. Ada pula Nyai Siti Ahmad Dahlan juga Maria Walanda Maramis yang sama-sama sepertiku, berjuang lewat pendidikan. Dan, ya, mungkin aku memang iri. Kenapa cuma kau yang namanya diabadikan jadi lagu dan ada hari peringatannya segala? Kami, paling banter cuma jadi nama jalan.”
Bayangan kedua perempuan yang kemudian silih jambak layaknya cewek-cewek belia yang bentrok karena rebutan pacar sungguh menyiksa pikiran saya—membuat saya ingin mati ketawa. Apalagi jika sampai saya mengisahkan kalau mereka selain adu jotos, juga adu mulut dengan beragam umpatan dan kata-kata jorok, sungguh kualat benar saya. Maka, saya tak hendak melanjutkan kisah ini. Namun, masih ada pertanyaan yang masih tertinggal: “Kartini atau Dewi Sartika?”
***
Dalam sesi berbagi Ngaleut Dewi Sartika yang dilakukan tepat di depan pekuburan “Makam Para Boepati Bandoeng” (13/12/15), hampir semua peserta ngaleut menyinggung Kartini, bahkan membandingkannya. Bahwa Dewi Sartika kalah pamor ketimbang Gadis Jepara itu, padahal pahlawan perempuan dari Bandung ini jasanya ‘begitu nyata’.
“Nike atau Adidas?”, “Pepsi atau Coca-Cola?”, “Honda atau Toyota?”, “Airbus atau Boeing?” dan seterusnya. Saya tak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu (kecuali mungkin jika salah satu di antara mereka membayar saya). Dan ini hampir sama kasusnya seperti ketika harus memilih antara Dewi Sartika atau Kartini. Ini juga berlaku ketika saya ditanya, “Devi Kinal Putri atau Viny?”, “Taeyeon atau Seohyun?”, “Camus atau Sartre?” Meski memang, untuk semacam tokoh ini, saya bisa saja memilih bahwa yang satu lebih saya sukai ketimbang yang lain. Saya akan memberanikan diri memilih, bahkan meskipun saya tak punya alasan yang memadai kenapa memilih.
Dan jujur, saya sebenarnya lebih suka Dewi Sartika. Salah satu alasannya, selain karena beliau begitu gigih memperjuangkan kaumnya lewat pendidikan, tentu saja karena tanpanya, tak akan lahir Raden Atot yang kemudian menginisiasi terbentuknya Persib. 😎
Pahlawan sendiri, berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “phala-wan” yang memiliki arti “orang yang dari dalam dirinya telah menghasilkan sesuatu (phala) yang berkualitas untuk bangsa, negara dan agama” atau bisa juga diartikan sebagai orang yang terkenal akan keberanian dan pengorbanannya dalam usaha untuk membela kebenaran. Meski kita tahu, soal-soal kepahlawanan masih diakuisisi institusi negara. Yang pasti, tanpa perlu membeda-bedakan, kedua perempuan pejuang tadi tentu saja pahlawan.
Iya, menurut saya juga mereka tidak perlu diperbandingkan karena mereka pasti punya makna sendiri-sendiri di hati orang-orang yang ingat. Mungkin telah digariskan Tuhan kalau Kartini mendapat kehormatan untuk diabadikan dalam hari peringatan dan lagu wajib nasional (bagaimanapun kita butuh wakil). Kalau semua pahlawan punya hari peringatan dan lagunya sendiri, bisa dipastikan kita bakal upacara hampir setiap hari…
mungkin sekarang mereka menjadi inspirasi kita melalui sudut sudut yang berbeda 🙂
Entahlah, Rip. Tapi aku punya firasat klo penyematan gelar pahlawan atau penetapan hari gitu, ga bisa lepas dari unsur politis atau KKN nya.
Tapi aku suka prolog nya itu. Ngena!
Emak saya juga pahlawan.
Kartini atau Dewi Sartika?
Btw, gw baru denger nama Dewi Sartika malah..
Emang iya sih, Kartini lebih terkenal ketimbang pahlawan2 wanita yg lain.
kalo ditanya Julia Perez atau Nikita Mirzani lu lebih milih mana? hehe..
Jupe atau NM ya? Hmm, saya sih ga terlalu mikirin soal kebesaran dada, apalagi pilihannya ini tante-tante gini. Preferensi saya lebih ke yg imut dan manis.
Senyum-senyum sendiri baca percakapan pembukanya 🙂
Jangan diikuti sikap saling irinya ya Mbak, hihi
[…] Tautan asli: http://yeaharip.com/2015/12/14/kartini-atau-dewi-sartika/ […]
Khas cewek banget. Bahahah! 😀
Aku lebih milih kamu. *memandang tembok*
Si Pebi maksudnya nih?
Ya betul juga, kalah pamor…
Tapi tetap pahlawan, terkhusus untuk wanita dari tatar sunda…
Salam
Dewi sartika mungkin masih banyak yg belum tahu, karena sejarah lebij banyak mengungkap tentang kisah perjuangan RA kartini