Kasmaran

Alih-alih sedikit-sedikit mengecek ponsel, saya bisa kembali masyuk membaca buku, setelah selama sekitar dua bulan otak saya dibanjiri dopamin dan testosteron – hormon-hormon yang punya peran mendatangkan “kebodohan yang diprogram secara biologis” pada otak yang sedang kasmaran. Berbarengan dengan semakin menurunnya mereka, How the World Works-nya Noam Chomsky makin menyadarkan saya, dunia ini sedang enggak baik-baik saja: hancurnya beragam gerakan kerakyatan, letusan kudeta-kudeta yang polanya seragam, kacaunya berbagai negara, genosida ini itu, naiknya para diktaktor, dan busuknya media dalam memberitakan, serta bahwa semua itu berakar pada kebijakan Amerika Serikat dan korporasi multinasional. Dapat mengolah bacotan Chomsky ini membuktikan bahwa fungsi otak saya, setidaknya, sudah kembali normal.

Meskipun orang-orang mendapat pengalaman jatuh cinta yang berbeda, pergolakan kimiawi di balik ketertarikan awal menunjukkan bahwa ada penjelasan biologis, misalnya merasa pusing selama minggu-minggu awal yang bahagia itu. Hal pertama yang terjadi ketika kita jatuh cinta dengan seseorang adalah kita mengambil makna khusus – semua tentang dirinya jadi istimewa. Selama sekitar dua tahun, dia hanya teman perempuan cantik biasa dan sekarang, senyumannya bahkan mengingatkan saya pada Kim Min Hee. Kita jadi sangat posesif secara seksual dan sosial. Anda hanya menginginkan orang ini. Kita mendambakan dirinya. Kita mendapat kegembiraan ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan jatuh dalam keputusasaan ketika dia enggak membalas chat. Dan kita sangat termotivasi untuk memenangkan orang itu. Apa yang akan dilakukan orang ketika mereka jatuh cinta benar-benar di luar dugaan. Ini sebuah dorongan, seperti kehausan atau kelaparan.

René Magritte, The Lovers, 1928
René Magritte, The Lovers, 1928.

Dopamin, yang menyebabkan orang terobsesi tentang minat cinta barunya, yang melahirkan kegamangan berbunga-bunga, ketika udara terasa lebih menyegarkan, langit tampak lebih biru, senja tampak lebih sendu, yang bikin orang dapat menghabiskan hingga 85% dari waktu bangunnya untuk memikirkan si dia, yang mengukir senyum ketika menatap fotonya, efeknya telah menurun dalam kepala saya. Sementara itu, testosteron, yang selain meningkatkan hasrat seksual, juga meningkatkan perilaku agresif, yang dapat mendorong seseorang untuk berani mengejar si dia, nampaknya sudah menyurut.

Korteks ventral medial prefrontal, wilayah otak yang berfokus pada negatif, menjadi kurang aktif ketika seseorang jatuh cinta. Padahal korteks ventral medial prefrontal adalah teman terbaik saya. Karena darinya saya bisa mengamalkan ajaran kaum Stoik dan kebijaksanaan “untuk melihat gelas separuh kosong”: Hampir segala harapanmu akan hancur, beragam mimpimu harus masuk kubur, belahan jiwa idamanmu hanya eksis dalam khayalanmu, hari ini berjalan buruk, kemungkinan besar besok bakal lebih buruk, hingga yang paling buruk akhirnya terjadi. Dia mempersiapkanmu untuk yang terburuk, mengurangi ketegangan akibat ekpektasi, menjagamu dari kekecewaan, bahkan membuatmu sedikit tertawa karena memikirkan hal-hal buruk ini. Tampaknya, konteks prefrontal medral ventral saya sudah kembali aktif, saya mulai teringat pada Tom Hansen dalam (500) Days of Summer dan para protagonis murung yang dibikin merana karena mengejar kekasih dambaannya dalam novel Haruki Murakami.

Saya ingin berpikir bahwa jatuh cinta cuma reaksi kimia yang memaksa hewan untuk berkembang biak. Tentu, sebuah kesalahan untuk mereduksi cinta hanya pada bahan kimia, karena begitu banyak faktor lain yang bekerja di otak dan pikiran. Dan bukan hanya tentang seks, meski Freud bakal protes. Ini tentang peduli pada seseorang secara paripurna, timbulnya beragam distraksi, ketidaksabaran, kegelisahan takut ditinggalkan, dan campur aduk lainnya, yang makin diperumit setelah munculnya Romantisisme dan manusia-manusia yang selalu meromantisir. Romantisisme adalah tempat kita belajar tentang cinta, tentang naksir seseorang, tentang momen sekejap mata seseorang bertemu orang lain di seberang ruangan dan bagaimana itu mengarah ke bahagia selamanya. Masih percaya kamu akan mengejar belahan jiwamu dengan menjelajah melintasi Eropa? Kamu dapat berterima kasih kepada Richard Linklater untuk Before Sunrise, tetapi romantisme macam begini yang perlu kita salahkan atas obsesi kita dengan ketertarikan instan yang mengarah pada cinta dan kenyamanan seumur hidup.

Karena orang yang jatuh cinta enggak memproses dunia di sekitar mereka dengan rasional, dan menurunnya fungsi kognitif, ketika para hormon tadi mulai menormal, muncul beragam kegelisahan. Beberapa mungkin takut kemungkinan penolakan, yang menurunkan kenikmatan jatuh cinta. Yang lain mungkin takut untuk mengikatkan komitmen, atau takut karena bakal terlalu membutuhkan, dan sebagai akibatnya, mengenyahkan gebetan mereka. Beberapa mungkin terus menyelam, aman dengan harapan mereka bahwa ini mungkin hubungan yang akan bertahan. Saya sendiri masih enggak habis pikir atas apa yang saya rasakan dan alami kemarin-kemarin.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *