Kekerasan Emosional Bernama Ghosting

Tiap kisah cinta punya kesempatan berbalik jadi kisah horor ini. Awalnya 500 Days of Summer, berakhir jadi Midsommar. Kisah horor ini begitu akrab bagi manusia kiwari, berlaku bagi siapa saja. Meski tanpa monster buruk rupa ala Lovecraft atau penampakan semacam Kuntilanak, kisah ini sama seramnya. Dalam cerita horor ini, jika kita dapat peran sial jadi korban, kita bakal dibiarkan nelangsa, dibikin bingung dan terjebak perasaan tersiksa.

Cerita hantu itu terus bermekaran. Premisnya selalu sama, kamu percaya ada yang betul-betul memperhatikanmu, apakah itu seorang teman atau seseorang yang lebih dari itu, tapi kemudian lenyap tanpa penjelasan. Tak ada lagi panggilan telepon tiba-tiba, tak ada pesan, tak ada notifikasi DM, bahkan sekadar emoticon pun tak muncul. Namun anehnya, kita terus menunggu hantu yang tak akan melancarkan penampakan lagi.

Ghosting bukan konsep anyar, ini hanya istilah baru untuk sesuatu yang telah dilakukan manusia dari dulu: hilang tanpa kabar. Kemunculan internet dan media sosial, dari Facebook, Instagram, Twitter, sampai beragam aplikasi pesan, membuat kisah horor ini lebih biasa. Di era digital ini, bukankah kita hanya bayang-bayang piksel dari diri kita sendiri? Tak berbeda jauh seperti hantu. Mudah untuk terhubung, dan mudah pula untuk menghilang.

Survey dalam situs kencan Plenty of Fish pada 2016 menunjukkan bahwa 78% milenial pernah di-ghosting. Meski ghosting terbilang lumrah, tapi efek emosionalnya bisa destruktif. Salah satu aspek paling berbahaya adalah menyebabkanmu bukan hanya mempertanyakan validitas hubungan yang kamu miliki, tapi menyebabkan kamu mempertanyakan dirimu sendiri.

Kita dibiarkan bergulat dengan pertanyaan yang belum terselesaikan sendirian. Tak adanya jawaban pasti akan membuat kita bertanya-tanya, “Aing salah apaan ya?” Kemudian berlanjut dari “Gue pasti yang bikin kesalahan” sampai “Aku emang ga guna.” Dan sebelum kita menyadarinya, kita terjebak dalam lingkaran pernyataan menyalahkan diri.

Ghosting tidak memberi kita semacam petunjuk untuk bagaimana kita bereaksi. Dia menciptakan ambiguitas, sekaligus semacam penolakan sosial. Naomi Eisenberger, seorang professor psikologi, merasa penasaran bahwa kita sering menggambarkan ditolak dalam hal rasa sakit fisik: ‘Patah hati’, ‘Aku merasa hancur’, atau ‘Dia menyakiti perasaanku’. Lebih dari sekadar metafora, ungkapan-ungkapan ini tampaknya menangkap sesuatu yang penting, bahwa ada hubungan antara penolakan dan rasa sakit fisik.

Menurut Eisenberger, sepanjang sejarah, kita bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup: mereka memelihara kita, membantu mengumpulkan makanan dan memberikan perlindungan terhadap predator dan suku musuh. Hubungan sosial benar-benar membuat kita tetap hidup. Seperti halnya rasa sakit fisik, rasa sakit akibat penolakan juga berevolusi sebagai sinyal ancaman bagi kehidupan kita.

Secara ilmiah, penolakan sosial terbukti mengaktifkan jalur rasa sakit yang sama di otak dengan rasa sakit fisik. Sebuah penelitian bahkan mengungkapkan bahwa kita dapat mengurangi rasa sakit emosional ini dengan obat penghilang rasa sakit seperti Tylenol.

Bagi banyak orang, ghosting dapat menyebabkan perasaan tidak dihargai, menganggap diri cuma alat yang bisa digunakan dan dibuang begitu saja. Jika kamu telah mengenal orang tersebut lebih dari beberapa kencan maka itu bisa menjadi lebih traumatis. Ketika seseorang yang kita cintai dan percayai lepas dari kita, rasanya seperti sebuah pengkhianatan mendalam.

Tidak ada yang suka di-ghosting. Jadi mengapa banyak dari kita yang melakukannya? Sebuah studi tahun 2018 dalam Journal of Social and Personal Relationships melaporkan bahwa 20 persen dari sekitar 1.000 responden mengakui melakukan ghosting. Fenomena ghosting ini melahirkan lingkaran setan, seorang korban bisa berubah jadi pelaku.

Orang-orang yang hantu terutama berfokus pada menghindari ketidaknyamanan emosional mereka sendiri dan mereka tidak berpikir tentang bagaimana hal itu membuat orang lain merasa.
Ebony Utley, professor kajian komunikasi di Long Beach State University berhati-hati untuk tidak melabeli pelaku yang melakukan ghosting sebagai pengecut. “Banyak dari kita berpikir bahwa mereka hanyalah orang yang mengerikan,” katanya, “tetapi saya pikir banyak pelaku tidak ingin melukai perasaan orang lain.” Namun Utley menegaskan tidak ingin membuat ghosting sebagai perilaku baik-baik saja.

Memang bukan pekerjaan mudah untuk menjelaskan kepada seseorang mengapa kita tidak tertarik pada mereka, tetapi bahkan penjelasan singkat jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Menutup sebuah hubungan secara terbuka lebih baik untuk kesehatan: Mengungkap perasaanmu, secara fisiologis, dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi stres.

Jika kamu kebetulan jadi korban ghosting, selalu ingatkan diri bahwa itu bukan kesalahanmu, dan hindari pula menyalahkan yang lain. Kebalikan cinta bukanlah benci, melainkan pengabaian. Semoga, ketika kita melewati pengalaman semacam ini, kita menjadi sedikit lebih arif dan sedikit lebih tangguh. Kita akan segera melihat bahwa hidup ini hanya serangkaian pertemuan dan perpisahan. Bahwa segala sesuatu akan selalu berakhir pada titik tertentu. Kita akan melihat betapa tidak sehatnya mendefinisikan diri kita lewat laku orang lain.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *