Ketika Berharap Lebih, Ingat Spurs

Sebagai pendukung Tottenham Hotspur, saya gagal belajar dari pengalaman, bahwa harapan hanya akan memperpanjang penderitaan.

Jika saja gugur setelah berhadapan dengan City atau Ajax, mungkin rasa sakitnya enggak terlalu terasa. Tapi mereka bisa melangkah jauh sampai final, meninggikan harapan, dan makin sakit pula kalau jatuh.

Harapan adalah sumber kemurungan. Menonton Spurs bisa terus melaju, menyingkirkan City dan Ajax, dengan begitu dramatisnya, menciptakan harapan, bahwa tim medioker ini bisa jawara. Final yang entah bakal kapan lagi. Harapan sudah tinggi, dan berakhir jadi kekecewaan.

Mungkin, memang ada kesalahan taktikal, kenapa pula Harry Kane harus jadi starter, bukannya Lucas Moura. Kalau saja. Tapi kalau saja dan pengandaian-pengandaian lainnya sesuatu yang mustahil dalam sejarah. Spurs bisa sampai final tentu sebuah pencapaian, yang bakal terlupakan. Sejarah tak mencatat yang menjadi kedua.

Sepanjang sejarah, harapan telah dipandang sebagai hal yang sangat penting bagi kebahagiaan kita. Sangat disayangkan bahwa kita hidup di dunia yang penuh harapan. Kita hidup di dunia yang dikelilingi oleh buku-buku self-help. Dan salah satu hal tentang buku self-help adalah mereka terus-menerus menyuruh kita bangun, bangun dari tempat tidur dan mencapai hal-hal dan melakukan hal-hal indah, agar terus berharap. 

Apa sebenarnya harapan? Ini semacam keinginan, hasrat, dan bahkan ketidakpuasan dengan masa kini. Adalah keinginan agar sesuatu menjadi berbeda atau lebih baik entah bagaimana. Ia ingin berada di sana alih-alih di sini. Bahwa “rumput tetangga lebih hijau”. Ini adalah perlawanan masa kini yang menyebabkan rasa sakit dan perjuangan. Untuk menemukan kesalahan dan menyoroti apa yang kita anggap kurang dari ideal, hanya menyebabkan lebih banyak kesengsaraan. Apa yang akan meringankan penderitaan dan rasa sakit serta membuka pintu bagi kedamaian dan kebahagiaan untuk masuk adalah penerimaan. Bukan harapan, tapi penerimaan. 

Penerimaan adalah mengakui apa yang ada, secara sadar memilih pemikiran kita tentang hal tersebut, dan memiliki keinginan untuk menerimanya, sebagaimana adanya, dan tetap bergerak maju. Satu studi menemukan orang yang sakit kronis justru lebih bahagia ketika mereka benar-benar berhenti mengharapkan bahwa hal-hal akan membaik (lihat: Chronically ill may be happier if they give up hope). “Harapan memiliki sisi gelap,” sebut Peter Ubel, MD, salah satu penulis penelitian tersebut. “Harapan bisa membuat orang menolak menerima kehidupan mereka; pada dasarnya, harapan bisa menghalangi kebahagiaan.”

Ada esai indah dari filsuf Montaigne: yang intinya jika Anda tiba di ranjang dengan harapan yang tinggi, ada risiko yang sangat serius bahwa segala sesuatunya akan salah. Ini adalah kisah nyata. Ada seorang lelaki di dekat desa Montaigne yang “gagal dengan seorang wanita”, untuk kemudian memotong anunya dan mengirimkannya kepada wanita itu sebagai penebusan dosa atas kesalahannya. Dan ini sangat mengganggu masyarakat dan sangat mengganggu Montaigne sehingga dia mengambil pena dan mencoba menulis tentang hal ini. Dan kesimpulan intinya adalah, ketika memasuki kamar tidur, selalu katakan bahwa Anda adalah kekasih yang buruk. Ini adalah satu-satunya cara di mana Anda dapat memiliki kesempatan untuk membuat kesan yang baik. Anda harus selalu menurunkan harapan. Itulah cara agar Anda bisa menjadi kekasih yang baik. Tapi saya pikir ada poin yang lebih dalam di sini. Ini bukan hanya tentang kinerja seksual, ini tentang kinerja kehidupan. Entah bagaimana menaikkan harapan dan menyarankan bahwa semua akan berjalan dengan baik adalah cara paling pasti untuk menjadi gugup dan dengan gugup, muncul kegagalan. Jika Anda berharap untuk berhasil, Anda hampir pasti akan gagal.

Tottenham Hotspurs mengajari saya menjadi stoik dan buddhis. Segalanya akan mulai memburuk dan kita akan menyadari bahwa hidup pada dasarnya tak berarti; bahwa usaha kita tak menuju ke mana-mana. Dan bahwa kita akan dihancurkan oleh kematian dan orang-orang yang kita cintai dan semua keinginan kita akan layu dan balik jadi debu. Ini adalah fakta dasar kehidupan manusia, meski sering ditolak.

Meski seringnya, Spurs terus-terusan memberi harapan palsu.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1789

3 Comments

  1. Jangan pernah berhenti mendukung Tottenham, musim depan bakal lebih baik lagi, walaupun tim sekelas Spurs ini belum bisa dianggap jadi kontestan reguler finalis Liga Champions. Tapi ingat LIverpool, mereka gagal, tapi bisa bangkit lagi. Kenapa Spurs tidak bisa.

    COYS!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *