Ada masanya, setiap generasi muda berdiri di puncak idealisme, menatap generasi tua dengan tatapan penuh kritik dan cemooh. Saya, generasi milenial, pernah ada di sana, melontarkan olok-olok pada boomer yang dianggap konservatif, kaku, dan tak relevan.
Namun, seperti sebuah lelucon, kini kita berdiri di sisi berlawanan, terperangkap dalam nostalgia masa lalu, mencela generasi Z yang tumbuh dalam dunia yang lebih cepat dari kecepatan unduh modem dial-up yang pernah kita derita.
Generasi milenial adalah anak-anak komputer desktop dan internet awal. Kita belajar mengatur file di folder, membuat blog dengan HTML seadanya, dan menulis email dengan penuh tata krama. Lalu datanglah generasi Z, anak-anak gadget dan konektivitas instan. Dunia mereka adalah layar sentuh, swipe, dan cloud.
Meme seperti “Ok, boomer” sering diarahkan ke milenial, yang terlihat sudah mulai kolot. Perdebatan antara penggunaan email vs. DM, gaya kerja kantoran vs. remote, atau budaya hustle vs. work-life balance. Milenial sering mengkritik TikTok sebagai “dangkal,” seperti bagaimana boomer dulu mengkritik YouTube.
Fenomena generasi milenial yang bertransformasi menjadi seperti boomer, generasi yang dulu mereka kritik, adalah siklus sosial yang menarik dan sering berulang. Nah, saya mencoba memahami fenomena ini dengan beberapa penjelasan dari perspektif sosiologi, psikologi, dan teori budaya:
1. Intergenerational Cycle Theory (Siklus Intergenerasi)
Setiap generasi cenderung mengkritik generasi sebelumnya ketika mereka masih muda, tetapi lambat laun mereka mengambil peran sosial yang serupa saat mereka dewasa. Boomer sering mengkritik gaya hidup dan nilai milenial, seperti budaya kerja fleksibel atau obsesi dengan media sosial.
Ketika milenial mencapai usia matang (30-an hingga 40-an), mereka mulai menilai Gen Z sebagai “tidak serius,” “tidak beretika,” atau “terlalu bergantung pada gadget.”
Fenomena ini adalah bagian dari siklus generasi yang mencerminkan bagaimana setiap kelompok, setelah dewasa, cenderung mendukung status quo yang mereka pahami.
Misalnya Email bagi milenial adalah surat elektronik, dalam artian kita pernah mengalami korespondensi surat tulis, maka salam pembuka dan penutup adalah tanda hormat. Excel adalah teman kerja, dan PowerPoint adalah cara menyampaikan ide. Semua ini, bagi kita, adalah warisan keterampilan yang membentuk bagaimana kita bekerja dan berkomunikasi.
Bergeser ke generasi terbaru, mereka tak perlu tahu apa itu file sistem, apalagi menulis formula Excel yang rumit. Mereka bicara dengan emoji, menyampaikan laporan via pesan suara, dan menyebut email sebagai “platform tua yang ribet.” Formalitas sopan santun terlalu menyedot waktu.
Dalam ruang kerja, kita mulai merasa terganggu. “Masa mereka gak bisa bikin tabel pivot?” misalnya. Kita lupa, teknologi berubah. Seperti dulu kita menganggap para boomer gaptek karena tak paham cara mengganti wallpaper desktop, kini kita memandang generasi Z dengan kecurigaan yang sama.
Mereka tak mengerti kerumitan perangkat keras seperti kita dulu, tapi mereka punya kecepatan adaptasi pada aplikasi baru yang membuat kita terkadang merasa tertinggal. Saya mengakui hal ini, misalnya setelah berganti dari penyuntingan foto dan video lewat komputer ke aplikasi di smartphone, sebab harus belajar lagi dari awal.
2. Efek Bias Nostalgia
Bias nostalgia adalah fenomena psikologis di mana individu cenderung menganggap masa lalu lebih baik daripada masa kini. Masalahnya ini jebakan pikiran, apakah benar masa lalu lebih baik?
Penyumbang signifikan bias nostalgia adalah memori selektif otak. Pikiran kita sering memprioritaskan pengalaman positif sambil meminimalkan atau melupakan pengalaman negatif. Mekanisme penyaringan alami ini membantu kita mengatasi tantangan hidup dan menjaga kesejahteraan psikologis.
Akibatnya, saat kita merenungkan tahun-tahun sebelumnya, perjuangan atau derita yang kita hadapi mungkin memudar ke latar belakang, meninggalkan kenangan masa lalu kita yang membahagiakan namun terdistorsi.
Milenial sekarang memandang masa mudanya antara 1990-an hingga awal 2000-an sebagai era “keemasan” teknologi dan budaya.
Ketika milenial membandingkan Gen Z dengan pengalaman mereka sendiri, muncul bias nostalgia yang membuat mereka merasa bahwa generasi sekarang “kurang otentik” atau “kurang menghargai” nilai-nilai yang mereka anggap penting.
Contohnya banyak milenial merindukan masa-masa forum, blog pribadi, atau festival musik awal 2000-an, dan melihat TikTok atau budaya viral Gen Z sebagai sesuatu yang “dangkal.”
Generasi Z hidup di era pragmatisme. Mereka tak perlu memahami cara kerja di balik layar karena alat-alat baru telah dibuat untuk menyederhanakan hidup. Apakah mereka benar-benar “gaptek,” atau justru kita yang terlalu terikat pada cara lama? Dunia mereka bergerak terlalu cepat untuk mendalami hal-hal yang tak lagi relevan.
3. Tekanan Sosial dan Ekonomi
Ketika milenial mulai memasuki fase kehidupan dewasa, dari karier mapan, membangun keluarga, atau memiliki anak, mereka menghadapi tekanan sosial dan ekonomi yang sama seperti generasi boomer.
Milenial yang dulu progresif kini harus menghadapi realitas tagihan, atau tuntutan pekerjaan, membuat mereka lebih konservatif terhadap perubahan. Dalam menghadapi tekanan ini, mereka mungkin memandang gaya hidup Gen Z yang santai atau fleksibel sebagai kurang bertanggung jawab.
Seiring bertambahnya usia, pola pikir seseorang cenderung menjadi lebih konservatif. Secara kognitif, berbagai penelitian menunjukkan bahwa manusia cenderung kurang nyaman dengan perubahan sosial dan teknologi setelah melewati usia tertentu.
Selain itu, Milenial yang dulu fleksibel kini mungkin mendukung struktur tradisional karena itu membantu mereka mempertahankan stabilitas dalam kehidupan mereka.
Milenial yang dulu bersikap kritis terhadap nilai-nilai materialisme boomer kini menghadapi tekanan konsumerisme yang sama, sering kali tanpa menyadarinya.
Banyak milenial kini mendukung sistem kerja yang mereka kritik sebelumnya karena mereka telah terintegrasi ke dalam sistem tersebut. Seiring usia, mereka mulai menghargai simbol status (rumah, mobil, karier stabil) yang dulu dianggap “boomer banget.”
4. Cultural Lag (Kesenjangan Budaya)
Milenial mungkin merasa tertinggal oleh perubahan yang terjadi terlalu cepat di dunia teknologi atau budaya digital yang didominasi oleh Gen Z. Milenial merasa sulit mengikuti platform atau tren baru, misalnya, TikTok, slang Gen Z, atau budaya “digital nomad”.
Mereka melihat teknologi baru ini sebagai sesuatu yang “merusak” daripada “membangun,” seperti pandangan boomer terhadap video game atau media sosial di era mereka.
Ada sebuah konsep “The Young Critic Becomes the Old Guard” yang berasal dari filsafat sosial, di mana generasi yang dulu memperjuangkan perubahan akhirnya menjadi penjaga nilai-nilai lama.
Generasi hippie di tahun 1960-an yang memberontak terhadap nilai konservatif boomer akhirnya menjadi bagian dari sistem yang mereka kritik misalnya menjadi eksekutif perusahaan besar.
Mereka sekarang mengkritik Gen Z karena melihat perbedaan nilai dan gaya hidup sebagai ancaman terhadap cara hidup yang mereka perjuangkan.
Fenomena milenial menjadi “boomer baru” adalah hasil dari siklus sosial alami, tekanan hidup, dan perubahan nilai saat mereka bertransisi dari idealisme muda ke realitas kehidupan dewasa.
Seperti boomer yang pernah menjadi muda, kita, milenial, kini berada di fase menjadi tua. Namun, apakah menjadi tua berarti kita harus berhenti memahami? Ataukah ini kesempatan untuk menertawakan diri sendiri, mengakui bahwa masa muda selalu membenci yang tua—dan tua selalu mencemburui yang muda?
Pemahaman lintas generasi, serta kesadaran akan bias ini, dapat membantu mengurangi konflik dan memperkuat kolaborasi antara milenial dan Gen Z. Setiap generasi akan menghadapi tantangan yang sama, dan siklus ini kemungkinan besar akan terus berulang.
Mungkin, di akhir hari, kita semua hanya sedang belajar menjalani peran dalam lelucon waktu yang tak pernah berubah.