Tiga bulan bekerja sebagai penulis konten kontrak telah membuka pikiran saya pada realitas yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya: gelapnya dunia SEO, praktik licik dalam industri media, dan perlunya mempertanyakan kembali harapan untuk membangun media yang ideal.
Di balik layar, ada banyak strategi yang menyingkirkan esensi menulis sebagai bentuk jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan fundamental. Sebaliknya, tulisan menjadi produk massal, dijalankan oleh mesin keyword, clickbait, dan ambisi untuk bertengger di puncak hasil pencarian Google.
Tujuan utama menulis bukan lagi untuk menjawab pertanyaan atau membahas isu, melainkan sekadar untuk menaklukkan algoritma.
Mengejar Kuantitas di Atas Kualitas
Selama tiga bulan itu, saya dituntut menulis 20 artikel per minggu—kira-kira empat artikel per hari. Sebuah angka yang menekan, membatasi ruang gerak kreatif, dan hanya berorientasi pada kuantitas.
Tak ada ruang untuk menggali lebih dalam, hanya ada deretan listicle yang mengejar keyword. Setiap artikel harus terstruktur, dengan judul yang sengaja dibuat clickbait dan isi yang berfokus pada penggunaan kata kunci tertentu. Menghasilkan tulisan yang berkualitas bukanlah prioritas; yang penting adalah bisa mendominasi hasil pencarian Google.
Semua ini terasa seperti mesin produksi konten, di mana setiap artikel adalah komoditas yang harus dirakit berdasarkan standar SEO. Kreativitas, orisinalitas, dan substansi dipinggirkan demi memenangkan perang keyword. Saya merasa seperti kehilangan jiwa dalam menulis. Alih-alih menawarkan sudut pandang baru atau menyelesaikan permasalahan, artikel-artikel yang saya hasilkan hanya berfungsi sebagai umpan bagi algoritma.
Dalam pengejaran keyword, banyak tulisan yang sebelumnya hanya sekadar menjadi bahasan ringan di blog pribadi, seperti “artikel receh” atau obrolan kasual sehari-hari, diangkat menjadi materi utama oleh media-media besar.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana standar kualitas konten di internet telah berubah: bukan lagi seberapa mendalam atau kritisnya sebuah tulisan, melainkan seberapa viral atau menguntungkan dari segi klik.
Keseragaman Konten dan “Dead Internet Theory”
Selama menjalani pekerjaan itu, saya juga menyadari bahwa hasil pencarian Google semakin dipenuhi oleh artikel yang seragam. Tidak hanya dari sisi topik, tetapi juga dari cara penyajian, bahasa, dan struktur. Apa yang muncul di halaman pertama sering kali merupakan replika dari konten-konten yang sudah ada sebelumnya.
Ini sejalan dengan fenomena yang dikenal sebagai “Dead Internet Theory.” Menurut teori ini, sebagian besar konten di internet dihasilkan oleh bot atau algoritma, menciptakan ilusi aktivitas manusia yang sebenarnya tidak ada. Meski belum terbukti secara ilmiah, teori ini mengungkapkan keresahan bahwa konten di internet semakin homogen, otomatis, dan tidak memiliki nilai humanis.
Dalam konteks penulisan konten, keseragaman ini sangat terasa. Setiap kali saya menulis, saya diminta untuk “meniru” apa yang sudah ada—artikel-artikel di puncak hasil pencarian. Tujuan akhirnya bukanlah untuk memberikan jawaban atau pandangan baru, melainkan agar artikel tersebut bisa bersaing dengan yang sudah ada.
Ketika SEO menjadi primadona, konten-konten yang awalnya ditulis di blog personal mulai ditarik oleh media digital yang lebih besar untuk dijadikan artikel utama. Artikel yang awalnya hanya “receh” dan ringan kini dirombak untuk memenuhi standar algoritma, diberi judul clickbait, dan disesuaikan dengan kata kunci populer yang sedang tren.
Misalnya, topik-topik seperti “10 Tips Memilih Kaos Polos Terbaik” atau “Cara Menyetrika Pakaian Agar Cepat Rapi” mungkin terdengar sederhana, tapi karena keyword-nya sering dicari, artikel-artikel seperti itu menjadi komoditas berharga bagi situs yang berfokus pada trafik. Tentu saja, tujuannya bukan untuk menyajikan insight baru atau memperkaya wawasan pembaca, melainkan agar bisa menduduki peringkat tinggi di Google dan menarik lebih banyak iklan.
Saya menjadi saksi bagaimana isi internet semakin tidak orisinal dan lebih mirip hasil produksi massal, seperti pabrik yang mencetak produk serupa tanpa inovasi.
Masa Depan Media Digital
Di tengah pengalaman ini, saya teringat pada seorang teman yang bekerja di media lokal dengan model serupa. Meski medianya mendompleng nama daerah, banyak artikelnya malah membahas teori-teori One Piece demi meningkatkan trafik. Berita lokal hanya menjadi formalitas, sementara konten populer menjadi primadona untuk menarik pengunjung.
Lagi-lagi, konten bukanlah soal esensi, melainkan tentang angka-angka yang merayu iklan untuk datang. Selama 3 bulan kalau dihitung-hitung sudah ada sekitaran 200 artikel, jumlah artikel teman saya mungkin bisa lebih. Lantas, apa yang tersisa bagi para pekerja kontrak atau freelance ini?
Ini menunjukkan bagaimana praktik kontrak singkat atau freelance menjadi strategi bisnis media untuk meraup keuntungan maksimal. Hak atas tulisan sepenuhnya milik perusahaan, sementara penulis mudah dipecat setelah kontraknya habis. Trafik dan pendapatan terus mengalir ke pemilik media, sementara penulis seperti saya hanya menjadi roda kecil dalam mesin besar yang menghasilkan uang dari iklan dan advertorial.
Trafik dan revenue terus mengalir kepada pemilik modal, sementara penulis—pekerja yang sesekali dimuliakan dalam lip service—ditendang keluar begitu kontraknya usai. “Easy hiring, easy firing.” Inilah praktik licik yang sudah mendarah daging dalam bisnis media digital. Hak kepemilikan sepenuhnya pada perusahaan, penulis tidak lebih dari penyedia jasa murah yang bisa dibuang sewaktu-waktu.
Di sisi lain, media-media besar pun kini menghadapi kenyataan pahit. Di antara bayang-bayang senjakala, mereka berjuang mempertahankan eksistensinya. Mayoritas penghasilan masih berasal dari advertorial dan iklan Adsense, dua sumber pendapatan yang memaksa media untuk terus tunduk pada angka klik.
Saya tak bisa tidak membandingkan situasi ini dengan masa transisi media cetak ke digital pada 2010-an. Saat itu, media cetak perlahan-lahan ditinggalkan, digantikan oleh derasnya arus informasi di dunia digital. Kini, di tahun-tahun ini, senjakala yang serupa tampaknya mulai menggerogoti media digital.
Makin menguatnya kultur influencer, derasnya video pendek, dan media “gelandangan”—yang beroperasi di media sosial tanpa platform formal—menjadi saingan besar. Informasi kini lebih sering ditemukan di Instagram, TikTok, atau YouTube, di mana audiens bisa mendapatkan konten yang disajikan lebih cepat dan menarik secara visual. Dalam kondisi ini, Google pun tampak tidak lagi menjadi satu-satunya pintu gerbang informasi.
Melihat semua ini, saya bertanya pada diri sendiri: apakah masih mungkin membangun media yang ideal? Media yang menghargai esensi tulisan, menjawab pertanyaan, memberikan informasi yang otentik dan bermakna. Sebuah media yang tidak tunduk pada tirani keyword dan trafik, yang tidak menjilat para pemilik modal atau pemerintah.
Di era di mana informasi lebih mudah diakses namun sering kali kehilangan kualitasnya, mungkin harapan untuk membangun media yang seperti itu hanyalah sebuah romantisme.