Khilafah

kalifah
@ Yahyâ ibn Mahmûd al-Wâsitî

oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 27 Oktober 1984

Ini adalah kisah Abu Bakar, sahabat Nabi. Ia baru kemarin dulu diangkat sebagai khalifah, tapi di hari itu ia berangkat ke pasar. Di pundaknya ia bawa bahan-bahan pakaian dagangan, untuk dijual. Dengan kata lain, ia kembali hidup sebagaimana biasa.

Tapi di tengah jalan ia terlihat oleh Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang lain. “Hendak ke mana?” tanya Umar. “Ke pasar,” jawab sang khalifah. Umar bertanya lagi, “Apa yang hendak Anda lakukan, sedangkan Anda telah menduduki jabatan sebagai pemimpin kaum Muslimin?” Jawab Abu Bakar, “Lalu dari mana aku akan memberi makan keluargaku?”

Agaknya, sadar bahwa bagaimanapun juga seorang khalifah harus bebas dari urusan mencari nafkah – agar tugas utamanya tak telantar – Umar pun mengusulkan: sang pemimpin harus mendapatkan uang dari baitul maal, tempat menyimpan milik kolektif.

Ditentukan kemudian bahwa jumlah uang itu tak berlebihan: cukup sebagaimana yang dibutuhkan untuk makanan kebanyakan pengikut Nabi. Meskipun demikian, ada sebuah pesan Abu Bakar menjelang wafat. Ia menyuruh orang mengambil bagian hartanya sebanyak 8.000 dirham untuk dikembalikan ke baitul maal. Pemimpin itu selalu khawatir, adakah ia berhak memperoleh makan dari harta bersama itu.

Kisah-kisah semacam itu selalu memesonakan kita. Sebagaimana dicobatunjukan oleh Abul A’la al-Maududi dalam bukunya yang baru-baru ini diterjemahkan, Khilafah dan Kerajaan, semuanya adalah contoh bagaimana seorang pemimpin harus bersikap: Ia harus tahan terhadap godaan previlese. Ia harus keras kepada dirinya sendiri. Ia harus orang pertama yang mengalah.

Orang Jawa punya kata untuk ini, aja dumeh. Orang Prancis juga punya kata untuk ini, noblesse oblige. Seorang yang punya posisi lebih tinggi harus mengabdi lebih banyak.

Yang malang dalam sejarah manusia ialah bahwa ternyata tak setiap pemimpin bisa demikian. Buku al-Maududi sendiri menyebut pelbagai keburukan yang terjadi dalam riwayat para pemimpin Islam. Bahkan kesalahan telah dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi: orang-orang yang pernah menyaksikan bagaimana kepemimpinan yang sepatutnya dijalankan. Para sahabat itu, kata al-Maududi, toh bukan manusia yang ma’sum, terlindung dari berbuat dosa. Dan penulis itu tak ingin menutup-nutupinya.

Buku Khilafah dan Kerajaan karenanya sangat menggugah, tapi, tentu saja, ia terutama hanya menyoroti etika kepemimpinan. Ia kurang menganalisa latar belakang sosial ekonomi sejarah yang “merosot” itu. Ia juga tak menelaah dinamika kekuasaan, ketika keperluan-keperluan sosial berubah dan konflik baru timbul. Al-Maududi memang berbicara tentang kekuasaan sebelum mendapatkan kekuatannya dalam organisasi birokrasi.

Zaman khilafah rasyidah tentu saja zaman ketika kekuasaan bersumber pada kewibawaan seorang tokoh atau lebih. Dalam keadaan seperti itu, dikatakanlah bahwa sebuah masyarakat menjadi baik karena pemimpinnya baik. Tapi bisakah kita bicara hal yang sama kini? Orang masih omong soal perlunya panutan, tingkah laku pemimpin yang diteladani. Tapi, dalam kenyataan, banyak hal yang sebenarnya tak tergantung hanya dari niat baik seseorang, betapapun berkuasanya dia.

Sebab, pada gilirannya, seorang pemimpin memerlukan sebuah mesin. Makin majemuk sebuah masyarakat, makin sukar masyarakat itu bergerak hanya oleh teladan tingkah laku. Diperlukan kampanye, komunikasi, penataran, dan diperlukan pula tangan dan kaki yang efektif. Dalam perkembangannya kemudian, sang pemimpin ikut tergantung pada tangan dan kaki itu. Birokrasi juga punya kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan, kadang ada konflik antara kepemimpinan dan mesinnya sendiri.

Pengalaman sejarah itu akhirnya mengisyarakatkan satu hal: cita-cita kenegaraan dalam abad ini, apa pun benderanya, tak cukup hanya mengimbau budi pekerti. Ajaran dan pedoman tentang itu penting, tapi bukan lagi yang terpenting. Buku Khilafah dan Kerajaan sendiri justru membuktikan, ada batas kekuatan itu. Bila para sahabat Nabi sendiri bisa menyimpang dari semangat Islam, tentu ada faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang ternyata tetap tak dapat sepenuhnya diubah dan disucikan. Apalagi, menurut al-Maududi, syariat sendiri tak selamanya memberi petunjuk yang pasti.

Itu tak berarti bahwa inspirasi kemuliaan akan jadi hal yang sangat sepele. Kisah Abu Bakar dan Umar di atas tetap menunjukan kapasitas manusia untuk berbuat baik, tanpa memerlukan batin yang super. Namun, zaman tak berhenti di sana, kesalahan dan kelaliman kemudian terjadi, dan hari sudah terang siang untuk kita bisa bertanya siapakah yang bisa terus menerus sempurna. Jawabnya: tak seorang pun, tak satu pihak pun.

Maka, harapan-harapan harus punya cadangan. Kita perlu siap dengan pilihan yang tak amat bagus dan sementara itu tetap tak dirundung kecewa. Dalam dunia seperti ini, barangkali, kompromi punya kandungan kebajikannya. Suatu pengakuan kedaifan yang hati-hati.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1790

5 Comments

  1. bagaimanapun, seorang pemimpin terlahir dari masyarakat yang dipimpinnya. jika masyarakat baik, pemimpinnya akan baik

  2. Yep, pemimpin yang baik akan lahir dari masyarakat yang baik, jadi bisa merasa setara dengan masyarakat yang dia pimpin :hehe. Kan jadi merakyat begitu ya Mas, lebih diterima dan menyatu dengan masyarakat :)). Tulisan yang bagus untuk para calon pemimpin :hehe.

  3. kisah itu dijadikan sistem penggajian dalam negara Islam. dalam negara islam khalifah tidak digaji tapi diberi tujangan sebanyak kebutuhan sehari-hari umumnya. jadi presiden, gubrnur, walikota begitu juga. tidak bisa minta gaji plus tunjangan.

  4. saya rasa tiap peradaban pasti ada masa emas dana masa gelap, tidak lepas pula dengan kekhilafahan. Ada masa kekhalifahan yang adil luar biasa, sampai baitul maal kebingungan untuk membagikan zakat karena tidak ada yang mau menerimanya (merasa mampu). Tapi ada pula masa kekhalifahan yang zhalim luar biasa pula, sampai ulama-ulama yang menentang pada dibunuh dan perang sesama muslim pecah dimana-mana.

    BTW tulisan yang bagus (y)

  5. Menarik! Ternyata Gonawan Mohammad pernah menulis tulisan seperti ini. Saya setuju kalau manusia biasa (bukan Rasul dan Nabi) tidak akan terus menerus sempurna. Disinilah pentingnya syariat Islam sebagai standarnya. Sehingga manusia lain bisa menilai, dia sedang berbuat salah atau sedang di ajalan yang benar.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *