1
Malam berteriak menuju setengah berisik. Dengan gelap yang diterangi beragam sorot lampu tempat minum-minum, terdengar nyanyian gaduh benar dari gang-gang sempit Shinjuku ini. Dari botol-botol sake yang silih berdenting menciprat, para pekerja kantoran yang saling siul, juga berjoget tak karuan, melepas penat sehari tadi. Minuman keras sungguh obat mujarab buat kehidupan yang keras.
“Sumimasen,” seorang perempuan belia dengan rok super pendek menyalipku, berjalan tergesa lalu masuk ke salah satu pub. Para lelaki pun ramai bersorak.
Sementara, hampir saja ponsel yang sedang kupakai memotret lepas dari pegangan, tapi terlalu lelah buatku untuk menggerutu, untuk sekedar mengumpat pun tak bisa. Lagipula ia sudah bilang permisi. Rupanya bekerja di panti jompo semakin memaksaku jadi penyabar. Yang pasti, senang hati karena berhasil mendapat potret belakang sang gadis tadi, yang di bahunya terpahat tato floral hitam-merah-hijau. Bukan hendak mendendam atau apa – ingat aku orang yang senantiasa bersabar, tapi ini mengingatkanku pada salah satu jepretan fotografer favoritku Moriyama.
Muncul pesan masuk: ‘Novelnya berat nih, nggak ngerti hihihi.’
Hampir terinjak, seekor kucing melintas lewat kakiku, dengan spontan aku berucap, “sumimasen.” Padanya?
+
2
“Eh hari ini libur kan? Hayuk maraton nonton film lagi yuk, mumpung lagi kosong juga. Dan mager, hihi,”
“Iya sok, jam?”
“Hmm.. siapnya aja lah jam berapa, tapi jangan terlalu siang sih. Lebih cepat lebih asyik! Eh minjem novel lagi lah, yang kemarin udah abis. Jangan lupa bawa makanan juga ya ya ya,”
“Siap kapten!”
Kami saling bercakap. Dalam telepon. Dia adalah Devi Kinal Putri, sebut saja Kinal, dan memang dia ingin disebutnya begitu. Mahasiswa sastra Jepang, yang sekarang melanjutkan studinya di negeri ini. Sudah sedari lama aku punya rasa padanya. Dan malangnya aku adalah orang yang hanya bisa mengungkapkan setengah dari apa yang ada dalam hatiku. Aku memang pemalas, malas untuk mengambil resiko sekecil apapun. Aku hanya berharap dia pun punya rasa padaku.
+
3
Sejak di Bandung, aku selalu suka menyasarkan diri di gang sempit. Entah kenapa. Bisa dibilang semacam pelarian diri. Mungkin ini juga sedikit banyak terinspirasi Daido Moriyama, fotografer jalanan yang berkeliaran di bilangan Shinjuku, yang berjalan menurut instuisi tak tentu arah, bagai anjing liar tak bertuan menyusur masuk ke jalan-jalan terhimpit. Foto-foto hitam-putihnya tentang Jepang medio 60an paling berkesan buatku, kesan suram dan murung selalu membuatku terobsesi. Ini juga masih jadi pertanyaan buatku, kenapa aku sepertinya sangat suka pada hal-hal muram. Alasan paling masuk akal buatku, dan mungkin agar berkesan positif, adalah ini sebagai katarsis.
Sebuah notifikasi masuk: ‘Lagi dimana woy? Cepetan!’
Bukan hanya Moriyama, gara-gara Monkey D. Luffy, juga Uzumaki Naruto, dan beragam kartun lain yang kutonton semenjak bocah, membikinku ingin suatu saat bisa tinggal di Negeri Sakura. Siapa pula orang yang tak kepingin pergi ke negeri ini? Maka di sinilah aku sekarang.
Aku membalas: ‘otw kapten!’
Seperti Odyssey, yang setelah penaklukan Troy, dalam perjalanan pulangnya bertemu beragam keanehan, makhluk-makhluk unik, dan terombang-ambing. Begitu juga hidup. Dan ketika menyusur gang, aku selalu akan bertemu hal magis juga. Ya, bagiku ini begitu metafisik. Kupercepat langkah, menyusur gang sempit berkelok. Sialan aku lupa sedang di daerah mana.
Dan aku berhasil keluar, tepat di Jalan ABC. Hah?!
+
4
Efek Rumah Kaca sedang berkonser di Youtube, menyanyi lagu favoritku, menemaniku di sudut kafe. Aku sedang duduk masyuk menunggu Kinal.
Akan ke manakah aku dibawanya? Hingga saat ini menimbulkan tanya.
Engkau dan aku menuju ruang hampa, tak ada sesiapa hanya kita berdua
Ah ya, seperti setiap epilog dari novel Murakami, yang kudapat hanya apa ya? Aku sabar saja menunggu dia bertahun-tahun. Menunggu dia mengembalikan novel Kafka On the Shore pun, yang kuduga kemungkinan besar hilang itu, cukup bikin aku senang. Semoga dia ingat.
Keren kang, lagi menunggu saja bisa bikin posting.
Sesekali tampilkan atuh foto bareng sama Kinal, 🙂
Sibuk sayana euy kang, ga ada waktu buat poto bareng. 😆
patut dicoba itu menyasarkan diri ya
Mahatma Gandhi pernah bersabda, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.”
bener
kirain itu fotonya kinal, ternyata bukan, bagus kata-katanya
Ih kereeeen
Membuat pikiran saya melayang membayangkan situasinya
Selalu dapet pencerahan setiap main ke blog lo Rip. Keren. 🙂
Hadeuh, gue nggak pernah sempet mulu beli novelnya Murakami… Abis mahalnya itu, -_-
Pinjem berarti. Kalau mau beli, coba yg ‘Dengarlah Nyanyian Angin’, novel pertamanya Murakami, yg ini lumayan terjangkau lah.