Kota

George Bellows - New York
@ George Bellows – New York (1911)

oleh Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir 23 Juni 1984

Saya punya teman yang seperti teman Anda: ia hidup di kota ini, mencari nafkah di kota ini, dan ia memaki kota ini. Dengan bersemangat.

Pada suatu malam saya bertemu dengannya di luar sebuah restoran di Pecenongan. Ia tampak kenyang, tapi bersungut-sungut. “Jakarta,” semburnya, “ini rantau tanpa induk semang.” Lalu dengan kalem ia pergi ke pojok yang agak gelap sebentar merapat ke sebuah tembok jalan, membuka resliting celananya, kencing.

Ketika ia kembali, dipegangnya pundak saya. “Ingat,” katanya, seraya mendekatkan kumisnya yang berkilat ke muka saya, “kita orang asing di sini. Kita pesinggah. Kita perdagangkan ke kota ini segalanya; barang, badan, juga budi pekerti, lalu kita kepingin pulang.”

Ia pun pulang – ke rumahnya di Matraman.

Bagi orang seperti dia (dan mungkin juga saya), “pulang” memang mengandung dua arti. Orang itu balik ke rumah yang ia diami di Jakarta, atau ia naik sepur dan kembali ke udik, seperti yang dilakukan ratusan ribu manusia di sekitar Lebaran.

Bagaimana ia bisa merasa diri sebagai “orang Jakarta”? Bagaimana ia bisa merasa sayang akan taman-taman kota ini, pepohonannya, kaki limanya, bangunan-bangunan, bahkan pengkolan-pengkolannya? Saya tidak tahu.

Baginya Jakarta seperti kehilangan suatu simpul, juga lambang, bersama hidup – simpul bagi orang yang di Menteng ataupun di Mester, di Kota ataupun di Kampung Melayu. Jakarta menyajikan banyak hal, tapi adakah sesuatu yang membikin dia unik, berharga untuk dipertahankan, diteruskan?

Teman saya itu (yang mungkin seperti teman Anda juga) menggeleng, “Tidak ada.” Tapi tiap pagi ia terus saja menggali, mencari sejumlah suap nasi di kota ini.

Ia memang jenis orang yang – seperti kita juga – menyimpan kepusingan seorang yang belum berlabuh: seseorang yang tak cukup mencintai tempat asal, tapi juga gagal menambatkan hati ke tempatnya yang baru. Jakarta toh hanya menadahi kita, tak membentuk. Sebaliknya, kita cuma mengakomodasikan tuntutan-tuntutannya, tapi tak mengasimilasikan diri.

Ada seorang ahli yang mengatakan, di kota seperti ini kita tak hanya menyaksikan proses urbanisasi. Kita juga menghadapi proses “ruralisasi”: suatu arus manusia dan cara hidup yang masuk ke dalam kota, tapi malah membikin kota itu seperti udik – dengan jumlah kelahiran dan kematian bayinya, dengan takhayul dan ketidakbebasannya.

Tapi apa daya sebuah kota di Dunia Ketiga pada abad ke-20? Benteng gaya Amsterdam yang didirikan Jan Pieterzoon Coen telah kalah. Dan ia bukan dikalahkan oleh pasukan Mataram.

Ia kalah oleh sesuatu yang lain, yang lebih kuat: ia terdesak oleh kenyataan, bahwa sebuah kota di Indonesia tak bisa mandiri. Ia dikelilingi, dan akhirnya dikelola, oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di sekitarnya. Ia tak bisa jadi arena yang punya ciri dan semangat yang khas – suatu watak yang dalam sejarah, khususnya di Eropa, telah menyebabkan kota jadi sumber kebebasan, penggerak kemajuan.

Tapi Eropa memang lain. Di sana kota-kota hadir dan kukuh sebelum negara teritorial tumbuh dan jadi. Di dalam lingkungan yang kurang lebih eksklusif itu, orang-orang kota mengatur hidup mereka sendiri. Di situ mereka bebas dari jangkauan penguasa feodal, yang hidup di kastil-kastil nun jauh di pedalaman. Bahkan para petani, yang sempat lari dari kehidupan setengah budak di ladang-ladang, bisa jadi orang merdeka begitu ia melintasi gerbang kota dan tercatat jadi warga.

Kisah kota memang bisa bercerita banyak hal. “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan,” kata Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino. Saya lalu ingat teman saya kembali: hasratnya mungkin hasrat yang lain, ketakutannya mungkin ketakutan lain, sehingga ia tak merasa ikut menjadikan Jakarta.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

7 Comments

  1. Padahal orang memuji Jakarta dalam berbagai tembang sebagai Ratu dari Timur, tapi agaknya kini (bahkan di tahun 1984 tatkala catatan itu meminggir pun) sang ratu telah menua dan bukanya dikotori asap knalpot bis kota yang dengan kejam meracuni orang-orang yang menjejak di jalan raya. Lenggak-lenggok Jakarta, kotaku indah dan megah!

    Catatan ini membuat saya berpikir, bagaimana cara saya menjadikan Jakarta sebagai kota? Mengembalikan kecantikan sang ratu? Atau melengserkannya dan menggantinya dengan seorang putri cantik yang entah ditemukan di mana, impor mungkin?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *