Hakekat seni telah lama diperbincangkan dan diperdebatkan. Pembicaraan masalah tersebut seringkali muncul diantara para filsuf maupun kritikus seni. Membicarakan masalah hakekat seni pada akhirnya akan kembali kepada para seniman yang berdiri di belakang setiap karya seni. Tidaklah mungkin membicarakan seni sebagai realitas independen – yang hadir begitu saja – tanpa pertarungan konsep, ideologi, dan atau filsafat dalam benak seniman. Maka, keberpihakan seniman memiliki konsekuensi keberpihakan seni. Membicarakan seni, pada akhirnya membicarakan gagasan-gagasan manusia yang berkarya di belakang penciptaan karya seni itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangannya, keberpihakan seni dan seniman ini, tampaknya lebih cenderung menempatkan seni dan (juga) kebudayaan sebagai media untuk mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Misalnya, di zaman masyarakat masih mempercayai mitologi, seni dipakai untuk menanamkan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak menjadi agen kekuasaan para dewa, dan juga orang-orang tertentu yang diangkat sebagai wakil para dewa di dunia. Kasus serupa terjadi pula dalam birokrasi gereja selama abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada keagungan dan kepentingan gereja dengan dogma-dogma serta ajaran-ajaran yang harus disampaikannya ke dalam pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menuntut masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
Hubungan seni dan kekuasaan semacam ini, terus berlanjut selama sejarah peradaban manusia. Contoh lain, di masa lahirnya revolusi industri – yang ditandai dengan berkuasanya modal atas kerja manusia – seni kembali harus mereposisi perannya. Kapitalisme yang didukung kekuatan modal memaksa seni untuk berpihak pada dirinya, hingga akhirnya muncul istilah aplicated art serta pop art, yang kesemuanya mengacu pada seni yang dijual. Seni telah ditempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungannya dengan keuntungan kapital.
Fenomena ini antara lain ditangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominan atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakatnya. Seni dipergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan karena paksaan atau tekanan secara fisik – represif – dianggap tak dapat diharapkan lagi untuk melakukan kontrol sosial. Hegemoni sebagai inti pemikiran kebudayaan Gramsci, dapat dikatakan sebagai pemaksaan terselubung di mana cara pandang, cara berpikir, ideologi, atau kebudayaan kelas yang mendominasi secara sengaja dipengaruhkan kepada golongan yang didominasi. Alat penghegemoni ini biasanya meliputi birokrasi, pendidikan, informasi serta beragam alat termasuk kesenian.
Dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan masuk wilayah ekspresi-ekspresi artistik publik, dan secara nyata membunuh kreativitas. Contoh hegemoni seperti ini dapat ditemukan di wilayah pedesaan-pedesaan atau kampung-kampung, dimana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas yang dominan, dalam hal ini aparatur negara. Melalui pintu-pintu gapura yang seragam, warna pagar yang sama, atau pementasan sandiwara yang lebih bersifat mempropagandakan program-program pemerintah, negara dengan sengaja melakukan hegemoni terhadap selera artistik masyarakat. Kebijakan sensor dalam seni juga erat kaitannya dengan hegemoni kesenian yang dimaksud.
Seni sebagai agen kemapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik tersendiri di dalam dirinya. “Karena seni sesungguhnya pemberontakan,” kata Albert Camus, seorang filsuf dan seniman Prancis. Tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasyarat bagi lahirnya kreativitas. Jika selamanya seni melulu mengabdi pada kekuasaan yang notabene berarti kemapanan maka seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama, yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya, seni mati sebagai seni. Pandangan semacam ini sangat dekat dengan gagasan-gagasan atau prinsip-prinsip dialektika, ketika perubahan bergulir terus-menerus sebagai jawaban atas struktur yang cenderung mempertahankan kemapanan.
Pemberontakan seni, mau tidak mau, pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian. Aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektika dalam berkesenian sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya.
Pada tahap awal perkembangan pemberontakan seni, kondisi-kondisi seperti ini kemudian menciptakan apa yang belakangan disebut sebagai seni kritis. Namun dalam kritisisme tradisional, seni lebih cenderung memuja gagasan ketidakterikatan (detachment), satu hal yang berbeda dengan apa yang terjadi dewasa ini. Kritisisme historis – sebuah aliran kritisisme baru – lebih cenderung menempatkan seni dalam pola-pola sosial, melalui gagasan bahwa tugas etis manusia adalah “mengubah dunia” melalui tindakan historis. “Tugas historis” itu hanya dapat dilakukan – seperti diasumsikan Hegel dan Marx – jika manusianya sendiri sepenuhnya “historis”.
Pemberontakan seni hadir untuk melawan dominasi, yang dari beberapa pemikiran Karl Marx dapat disimpulkan seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat. Seni secara rasional mentransformasikan sejarah menjadi keindahan mutlak, dan pemberontakan seniman terhadap kenyataan dunia – menurut Camus – mengandung penegasan yang sama seperti pada pemberontakan spontan kaum tertindas. Dengan ungkapan lain, Leon Trotsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang berkuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkesenian.
Ditinjau dari sudut pandang ini, pemberontakan seni berarti seni menjadi media bagi terciptanya kebebasan. Dalam struktur masyarakat yang menindas, seni diciptakan sebagai media penyadaran bagi rakyat tertindas, dan seni semacam ini jelas sekali keberpihakannya terhadap rakyat. Konsep penyadaran – dalam hal ini diadopsi dari pemikiran Paulo Freire – berarti mencoba memahami kontradiksi-kontradiksi suatu struktur (sosial, politik maupun ekonomi), agar dapat mengambil tindakan melawan atau memberontak terhadap struktur yang menindas tersebut. Seni menjadi ajang dialog bagi terciptanya kesadaran (sosial, politik, maupun ekonomi) masyarakat.
Pandangan ini sesungguhnya bertolak-belakang dengan gagasan Plato mengenai dunia ide. Plato melihat seni tak lebih dari sekedar tiruan benda atau keadaan alam sebagaimana alam itu sendiri tak lebih tiruan terhadap hal-hal dalam dunia ide. Namun, dalam konsep penyadaran, tujuan seni justru tidak terdapat pada peniruannya, melainkan pada pemberian gaya. Kembali menurut Camus, seni merupakan wahana di mana alam ditangkap dan diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna. Karena itu, bagi Camus tidak mungkin ada seni yang tanpa makna (nonsens).
Permasalahannya kemudian, makna apa yang diambil oleh seorang seniman dewasa ini dalam berkarya seni. Menyimak pada analisis Trotsky, merosotnya keberadaan masyarakat borjuis telah semakin memperparah kontradiksi-kontradiksi sosial yang semakin memperlebar jurang kelas. Dan pada akhirnya hal tersebut ditransformasikan menjadi kontradiksi-kontradiksi personal, yang semakin menyuarakan kebutuhan akan seni yang membebaskan. Seni yang ditempatkan sebagai suatu media aksi kultural, menjadikan seni semacam gerakan resistensi sosial yang juga berfungsi sebagai counter terhadap – kembali meminjam istilah Gramsci – hegemoni dominan. Di sini seniman menempatkan dirinya sebagai agen komunikasi bagi penderitaan rakyat – masyarakat terindas yang tak berdaya melawan hegemoni dominan – melalui karya seni.
Dalam sebuah perbincangan, Camus pernah mengungkapkan bahwa memang seniman kadangkala dinilai tak memiliki urusan apapun dengan realitas dunia. Seniman tetaplah manusia, sehingga mengerti realitas dunia merupakan suatu hal yang tetap perlu bagi mereka. Para pekerja tambang yang diperas dan ditembaki, budak-budak kamp kerja paksa, para penduduk daerah jajahan, kumpulan semua orang yang tertuduh di seluruh dunia, mereka membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mampu. Seniman dan karya-karyanya, semestinya ada untuk itu.
Realisasi komitmen tersebut adalah dengan cara memasukkan relevansi sosial ke dalam karya seni, termasuk muatan-muatan yang berdimensi protes pun masih relevan untuk dimasukkan dalam seni. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya menjadi wahana bagi komitmen terhadap keberpihakan kerakyatan, namun juga akan membentuk gagasan-gagasan estetis yang lebih kreatif, dan berguna dalam rangkan membentuk pola pemikiran estetika yang baru.
Kritisisme seni muncul jika keseluruhan budaya, mulai dari basis ekonomi hingga ideologi mengalami krisis, dimana seni – kembali lagi – tidak dapat menjauhkan diri dari semua itu. Kemunculan aliran-aliran baru dalam dunia artistik – kubisme, futurisme, dadaisme, surrealisme – semakin memperkokoh pemberontakan seni terhadap krisis yang melanda masyarakat, dan ini nampaknya tidak akan pernah menemukan titik akhir. Seni dan masyarakat selalu berdialektika untuk menemukan konsepsi-konsepsi baru yang membebaskan.
Namun demikian, memperbaiki seluruh krisis yang melanda melalui seni adalah sungguh-sungguh mustahil, kecuali jika hal itu dilakukan secara revolusioner. Hal inilah yang kemudian ditangkap oleh banyak kalangan seniman “kiri”, terutama di masa awal Revolusi Rusia. Revolusi Bolsyewik di Rusia, dalam sejarahnya – baik langsung maupun tak langsung – telah memberi banyak dorongan terhadap tumbuhnya aliran seni semacam ini. Pada titik inilah kemudian lahir apa yang disebut “realisme sosialis” dalam wacana seni dan kebudayaan sebagai alat perjuangan kelas.
Klaim realisme sosialis ini secara sederhana bisa dikatakan mendasarkan diri pada teori dialektika Marx, di mana realitas diletakkan sebagai esensi hal-hal yang nampak (materi). Dalam tradisi Rusia, terutama sejak masa Stalin, realisme sosialis sebagai aliran estetis dilembagakan keberadaannya menjadi semacam ideologi atau paham yang dianut oleh sastrawan atau seniman. Namun dalam pandangan Georg Lukacs, seorang filsuf dan kritikus sastra Hungaria yang sempat tinggal di Moskow, secara kritis realisme sosialis Rusia sesungguhnya tidak sepenuhnya didasarkan pada dialektika materialisme yang menjadi prinsip pengetahuan sejarah Marx. Realisme sosialis Rusia, menurutnya, lebih cenderung menjadi gerakan seni, di mana penempatan metode artistik ditinjau dalam kaitannya dengan kepentingan partai (dalam hal ini partai komunis yang berkuasa).
Hal ini terjadi, erat kaitannya dengan reaksi birokratik Rusia di masa Stalin yang dengan tangan totaliternya telah menindas kreasi artistik. Seni telah dibelenggu hanya sebagai jalan untuk mengagungkan dan menciptakan mitologi bagi keberlangsungan partai, dengna cara berlindung di balik kedok gerakan realisme sosialis, yang – kembali menurut Lukacs – memiliki makna yang lain sama sekali.
Lukacs sendiri berpendapat bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dengan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakekat realisme sosialis ini sungguh-sungguh menempatkan seni sebagai wahana “penyadaran” masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
*
Pendahuluan dari Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis oleh Eka Kurniawan (Yayasan Aksara Indonesia, 1999).