oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 2 November 1985
Tuhan hanya menciptakan satu bumi, tapi kemudian lahirlah bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa itu pun membentuk negara masing-masing. Tembok-tembok pun tegak, dan sejak itu manusia tak tahu persis hendak bagaimana lagi.
Sebab, yang terjadi adalah semacam kekacauan, meskipun kadang-kadang tanpa darah. “Jelaslah,” kata Voltaire di abad ke-18, “bahwa sebuah negeri hanya bisa mendapat apabila sebuah negeri lain merugi.”
Pada mulanya, yang disebut mendapat terbatas pada pengertian memperoleh logam mulia. Yang disebut negeri tentu saja, kurang-lebih, sang penguasa. Kepentingan nasional berarti kepentingan raja, atau kalangan yang menentukan di atas. Kata-kata seorang bangsawan Castilia yang mengingatkan Raja Filipe III dari Spanyol tentang realitas itu agaknya berlaku buat siapa saja, setidaknya di abad ke-17 itu: “Kekuatan Paduka terdiri atas perak; pada hari perak habis, perang tak akan dapat dimenangkan.”
Yang disebut “merkantilisme” dalam sejarah ekonomi adalah semangat mengumpulkan perak dan emas itu bagi seorang raja, untuk sebuah negara. Orang menghimpun cadangan dan sumber kekuasaan. Caranya: perbanyaklah ekspor, persedikitlah impor, dan dengan adanya surplus itu, himpunlah emas.
Yang menarik ialah bahwa cara berpikir yang bersahaja itu berumur panjang sekali. Sudah di abad ke-14, Inggris pernah melarang impor besi. Negeri pulau itu juga melarang orang asing megekspor emas dan perak; logam itu harus dibelikan barang-barang Inggris. Dalam perkembangannya kemudian, niat agar kekayaan tak keluar dari sebuah negara ditampakkan dalam pelbagai variasi. Di abad ke-20 ini ada negara-negara yang membatasi, agar orang tak membawa dolar teramat banyak ke luar perbatasan.
Karena itu, sejarah proteksionisme adalah sejarah yang panjang – dan tampaknya tak berkesudahan. Di tahun 1624, di Swedia orang mengenal Produktplakat: kapal-kapal Belanda tak boleh membaw garam ke Swedia dari Atlantik, dan hanya kapal berbendera Swedia yang boleh. Negeri itu sedang mempertumbuhkan armada dagang sendiri, meskipun akibatnya jumlah garam yang masuk jadi berkurang dan harganya meningkat. Dan tentu saja banyak yang, untuk itu, harus berkorban.
Tapi semangat “untuk kepentingan nasional” memang bisa mengalahkan segala hal. Di abad ke-17 pula seorang duta besar Louis XIV di London menulis surat ke Paris dengan kata-kata yang sampai sekarang pun berlaku buat para pengusaha tekstil Amerika ataupun pengusaha baja di Indonesia: “Lebih baik membeli daging sapi yang dihasilkan rakyat Baginda, walaupun mahal…, ketimbang membelinya dengan harga lebih murah dari orang asing.”
Memang, semangat seperti itu, di zaman kini, sudah punya bumbu demokrasi. Rencana Undang-Undang Jenkins dan 300 lainnya disiapkan oleh para wakil rakyat Amerika guna melindungi para pemilih mereka, bukannya untuk menyenangkan Presiden Reagan. Di negeri seperti Indonesia, pelbagai subsidi ekspor dan pencegahan impor juga diberikan pemerintah karena ingin memperbanyak kesempatan usaha dan lapangan kerja.
Soalnya kemudian, apa jadinya bila ternyata merkantilisme baru hanya melahirkan merkantilisme baru. Apa jadinya bila “kepentingan nasional” yang satu harus bentrok dengan “kepentingan nasional” yang lain? Adolf Hitler punya jawabannya. “Selama ada orang di atas bumi ini,” demikian ia pernah berkata, “akan selalu ada bangsa yang melawan bangsa yang lain.” Pada akhirnya, perjuangan untuk survival itu yang tetap. “Jika manusia ingin hidup,” kata pemimpin Nazi itu pula di tahun 1929, “maka mereka harus membunuh yang lain.”
Lalu Perang Dunia pun pecah. Syukur alhamdulillah, Hitler yang mengerikan itu tidak keluar sebagai pemenang. Di bunkernya di bawah tanah ia membunuh diri, dan di langit di atas sana seakan-akan para malaikat yang terbaik ikut-ikut menyanyi mengiringi idealisme baru.
Ada orang mendirikan PBB. Ada yang mendirikan Bank Dunia. Ada yang menyebarkan semangat internasionalisme yang diserukan Karl Marx. Ada yang yakin bahwa nasionalisme harus dikuburkan, mula-mula di Jerman dan Prancis, lalu mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa. Ada yang tetap menerima nasionalisme, tapi dengan catatan tentang perlunya internasionalisme. Di Jakarta, menjelang lahirnya Pancasila, Bung Karno dengan indahnya berpidato, dan ia mengutip Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.”
Kini kita memang patut bertanya ke mana perginya banyak cita-cita yang bagus. Internasionalisme bahkan tak cuma digantikan oleh pelbagai entakan nasionalisme baru, tapi juga oleh “lokalisme”. Gerakan separatis di Inggris dan India, untuk menyebut dua negeri saja, ikut menegangkan dunia. Pertimbangan kepentingan para pemilik pabrik tekstil di Georgia ikut meresahkan buruh di Bangkok. Kepentingan-kepentingan nasional bentrok dengan kepentingan kelompok-kelompok, dan tak selamanya yang pertama menang, utuh.
Tuhan memang menciptakan hanya satu bumi dan pelbagai bangsa hadir untuk saling mengenal. Sayangnya, perkenalan itu tak selamanya ramah tamah kadang malah pedih. Imagine, there’s no country, John Lennon menyanyi sebelum ia juga ditembak mati.