Mall, pusat perbelanjaan yang pernah menjadi altar modernitas, kini mulai menyusut ke dalam bayang-bayang digitalisasi. Dahulu, ia adalah jantung kota, tempat orang berkumpul, bertemu, dan menghabiskan waktu. Namun, dengan hadirnya belanja daring dan berkurangnya daya tarik toko-toko besar, banyak mall kini ditinggalkan; seperti kota mati, hanya dihuni oleh kenangan yang perlahan memudar.
Fenomena ini juga menjangkiti Indonesia. Mall-mall besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, yang dulu dipadati pengunjung, kini menjadi sepi, terutama di pinggiran kota. Pandemi COVID-19 semakin mempercepat tren ini, menjadikan mall yang dulu ramai menjadi bangunan kosong yang membisu. Banyak mall yang mati suri, sementara yang lain bertahan dengan susah payah, dipenuhi toko-toko tutup dan lahan parkir yang menganga.
Dalam konteks ini, gagasan mengalihfungsikan mall menjadi perumahan layak huni terasa menjanjikan. Di Indonesia, krisis perumahan bukanlah isu baru. Data menunjukkan bahwa kebutuhan perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, terus meningkat. Mall-mall yang tak lagi relevan sebagai pusat perbelanjaan dapat menjadi solusi ruang, memberikan kehidupan baru bagi bangunan yang kini menjadi monumen kapitalisme yang tak lagi relevan.
Transformasi mall menjadi hunian dapat menjadi solusi atas dua masalah sekaligus: revitalisasi ekonomi lokal dan penyediaan hunian yang terjangkau.
Mall Sebagai Solusi?
Mengapa mall? Mall di Indonesia, terutama di daerah pinggiran, sering memiliki lahan yang luas dan lokasi strategis, dekat dengan akses transportasi publik. Jika diolah dengan konsep mixed-use development — di mana perumahan digabungkan dengan fasilitas komersial dan ruang terbuka hijau — potensi untuk menciptakan ruang hidup yang inklusif dan berkelanjutan menjadi nyata.
Ahmad Abu-Khalaf, seorang peneliti, mencatat bahwa meski transformasi mall menjadi perumahan multifungsi dapat menciptakan ratusan ribu unit hunian, proses ini menghadapi kendala fisik dan finansial yang besar. Di Indonesia, tantangan ini semakin kompleks karena regulasi tata ruang yang sering tumpang tindih, birokrasi yang berbelit, serta resistensi dari komunitas lokal.
Kasus transformasi mall di Amerika memberikan pelajaran penting. Amy Casciani, seorang pengembang, menunjukkan bahwa mall yang kosong memiliki potensi untuk menstabilkan lingkungan sekitar dan menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui adaptasi kreatif. Di Indonesia, mall yang mati seperti Bekasi Cyber Park dapat diubah menjadi perumahan berbasis komunitas untuk pekerja di sektor informal yang sering terpinggirkan dari akses perumahan layak.
Namun, seperti yang diingatkan Kyle Paine, kendala seperti kebutuhan parkir dan keberlanjutan bisnis lokal juga harus diperhatikan. Mall yang berlokasi di kawasan padat penduduk sering kali menjadi pusat sosial bagi masyarakat sekitar. Transformasi mall harus memperhitungkan kebutuhan komunitas ini, sehingga tidak hanya menjadi solusi teknis, tetapi juga sosial.
Tantangan di Indonesia
Di Indonesia, kendala terbesar mungkin adalah pola pikir. Mall sering kali dianggap sebagai simbol modernitas, sehingga gagasan untuk mengubahnya menjadi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah mungkin mendapat resistensi, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Belum lagi, regulasi zonasi di banyak kota besar yang sering kali tidak mendukung fleksibilitas penggunaan lahan.
Namun, tantangan ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mencoba. Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk berpikir lebih kreatif dan inklusif. Bayangkan jika mall-mall kosong di Jakarta diubah menjadi kompleks perumahan dengan taman, pusat komunitas, dan akses transportasi publik yang mudah. Bukankah ini cara untuk menghidupkan kembali kota dengan cara yang lebih manusiawi?
Mall yang sepi adalah cermin perubahan zaman. Namun, apakah kita hanya akan membiarkannya menjadi fosil beton yang tak berguna? Ataukah kita memiliki keberanian untuk membayangkan ulang ruang-ruang ini sebagai solusi bagi tantangan yang lebih besar?
Di Indonesia, transformasi mall menjadi perumahan bukan hanya soal ekonomi atau urbanisme, tetapi juga soal keadilan. Mall yang dulu hanya dapat diakses segelintir orang kini bisa menjadi ruang hidup bagi mereka yang membutuhkan. Dengan sedikit imajinasi dan banyak keberanian, masa depan mall di Indonesia tidak harus suram — ia bisa menjadi cerah, penuh kehidupan baru yang bermakna.