Maraton Nonton: Fenomena Budaya Kontemporer


Kamu duduk di depan layar laptop, sesekali mengecek telepon genggam dan memantapkan diri untuk menonton, tapi dibikin bingung saking banyaknya pilihan, apakah film atau serial Netflix atau anime atau drama Korea?

Kamu mengerucutkannya berdasar tontonan yang tengah dibicarakan orang-orang atau mungkin rekomendasi teman. Katakanlah, kamu memutuskan untuk menjajal satu serial hit terbaru, lalu menenggelamkan diri di dalamnya.

Tak terasa sudah tengah malam dan kamu sudah menandaskan setengah musim. Dorongan untuk menonton satu episode lagi begitu menggoda, dan kamu mengamininya meski kamu tahu konsekuensinya bahwa kamu akan keterusan dan jam tidurmu jadi korban.

Punya pengalaman begini? Saya dan banyak dari kita tampaknya sudah tak aneh dengan satu ritual umat manusia kontemporer ini: binge-watching. Apalagi di tengah masa pagebluk kali ini, binge-watching, atau maraton nonton ini, makin jadi kegiatan paling dijalani. Entah berapa puluh episode anime yang sudah saya tandaskan.

Binge Watching, Fenomena Budaya Kontemporer

Secara sederhana, fenomena maraton nonton ini tampaknya berakar dari perilaku kita untuk gampang terpaku pada kisah-kisah rumit dan penuh emosi karena kemampuan kita untuk mengenali perasaan orang lain, meski mereka karakter fiksi belaka. Tentu saja, hal naluriah ini kemudian kawin dengan mudahnya akses ke beragam tontonan hari ini, banyak darinya yang cuma modal internet dan klik.

Untuk lebih memahami mengapa maraton nonton ini jadi fenomena kultural, Netflix pernah bekerja dengan antropolog kebudayaan Grant McCracken dengan melacak evolusi maraton nonton dan yang lebih penting, untuk mengeksplorasi bagaimana dan mengapa maraton nonton beresonansi dengan pemirsa saat ini. McCracken menemukan bahwa 76 persen melaporkan maraton nonton sebagai penyelamat dari kesibukan sehari-hari, dan hampir 8 dari 10 setuju bahwa maraton nonton lebih menyenangkan ketimbang menonton episode tunggal.  

Terlepas dari kesibukan kita, gaya hidup yang didorong secara digital dan interaksi sosial penuh polusi notifikasi, McCracken menyimpulkan bahwa kita sebenarnya mendambakan narasi panjang yang dapat ditawarkan oleh serial televisi saat ini. Alih-alih berurusan dengan tekanan hidup, kita lebih suka menjadi asyik di dunia yang sama sekali berbeda, tenggelam dalam semesta fiksi.

Psikologi di Balik Maraton Nonton

Proses yang kita alami saat maraton nonton adalah proses yang sama yang terjadi ketika obat atau jenis kecanduan lainnya dimulai. Jalur neuron yang menyebabkan kecanduan, apakah karena heroin dan seks, sama dengan kecanduan maraton nonton. Tubuh kita tidak membeda-bedakan kesenangan. Hal begini apalagi kalau bukan ulah dari hormon bernama dopamin. 

Menurut survei Netflix, diketahui sebanyak 61 persen penggunanya sering menonton antara 2-6 episode dalam sekali duduk. Menonton episode demi episode suatu serial terasa menyenangkan. Ketika terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan seperti maraton nonton, otak kita menghasilkan dopamin tadi.

Bahan kimia ini memberi tubuh kenikmatan batin yang alami, yang memperkuat keterlibatan berkelanjutan dalam aktivitas itu. Ini adalah sinyal otak yang berkomunikasi dengan tubuh: Ketika maraton nonton, otak kita terus-menerus memproduksi dopamin, dan tubuh kita mengalami efek kecanduan layaknya sedang diinjeksi narkoba, dan terjadilah siklus untuk mendapatkan lebih banyak dopamin dengan lebih banyak nonton.

Eskapisme tak melulu salah, yang paling penting kita tahu batas. Kunci untuk menuai manfaat maraton nonton tanpa menderita akibat efek negatifnya adalah dengan menetapkan parameter untuk waktu yang akan kita habiskan, dan kita tahu ini begitu sulit. 

Ketika setiap episode berakhir membuat kita memiliki lebih banyak pertanyaan, dan ingin segera melanjutkan ke episode berikutnya. Namun, kita dapat melakukan maraton nonton yang sehat dengan menetapkan waktu akhir yang telah ditentukan. Misalnya, berkomitmen dengan mengatakan, “Setelah tiga jam, saya akan berhenti menonton.”

Kalau trik yang saya lakukan, biasanya dengan banyak minum air putih, agar setidaknya bisa dipaksa bergerak ke toilet. Sebuah distraksi, yang meski sering gagalnya, tapi layak dicoba.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1788

3 Comments

  1. Nah betul ini. Sering juga seperti ini. Tapi biasanya untuk nonton maraton memang sudah dijadwalkan waktunya. dan pasti berakhir di jam subuh. nggak apa sih sesekali asal tidak setiap hari.

    Btw, boleh juga itu dicoba tips nya dengan banyak minum air, biar dijeda ke toilet untuk buang air kecil. Nanti kalau ada jadwal nonton maraton akan kucoba ah

    • Iya penting banget kudu dijadwal, misalnya pas weekend doang boleh begadang sampe subuh. Yang bahaya kalau keseringan, dan saya seringnya kecolongan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *