Mari Menganjingkan Paman Yusi

Karena terserang selesma, setelah sebelumnya menguliti seorang selir jelita yang sering membikinnya senewen, Syahrazad meminta Yusi Avianto Pareanom untuk menyamar dan menjadi teman tidur paduka yang lalim semalam saja. Suatu kehormatan bagi seorang Yusi, tentu, juga kesialan, sebab dipercaya sebagai pendongeng mumpuni, yang bila gagal menghasilkan cerita memikat bakal dipenggal kepalanya keesokan hari oleh Raja Shahryar. Dengan mengesampingkan soal apakah lisan Yusi setajam tulisannya—dan semoga birahi sang raja sedang melempem, sudah bisa dipastikan kreasi Babad Tanah Jawa yang bakal disampaikannya akan menyelamatkan kepalanya.

Ah maaf, saya hendak menggambarkan adegan ranjang Raja Shahryar dan Paman Yusi, tapi memikirkannya saja sudah membuat kadar asam lambung ini meningkat. Intinya, saya ingin menyanjung penulis ‘Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi’ tersebut. Namun sial bagi penulis, karena saya punya kegemaran untuk mencari cacat dari karya penulis-penulis yang saya anggap hebat. Bukankah tugas anak muda untuk mengkritik kaum tua—meski alasanmu enggak cemerlang-cemerlang amat, atau bahkan enggak beralasan sama sekali?

Setelah melabeli novel O-nya Eka Kurniawan sebagai ‘Indomie yang kelewat masak’, kali ini giliran Paman Yusi. Saya bisa mengungkapkan keluhan konsumen padanya langsung saat acara Bincang Buku di Kineruku tempo hari (15/05/16). Saya mengkritisi bagian akhir Dongeng Raden Mandasia dengan sebutan ‘kayak ending drama Korea’.

Itu hanya pemikiran sepenanakan nasi, boleh dibilang asal jeplak, dan masih enggak habis pikir kenapa saya bisa memberi pujian aduhai macam begitu. Masalahnya, masih ada yang mengganjal karena belum bisa menjelaskan dengan tuntas bagaimana ‘kayak ending drama Korea’ itu. Saya hanya mengungkapkan kalau dongeng bikinan Paman Yusi tersebut terlalu happy ending, padahal itu bukan masalah besar sih. Jujur, saya pun menyukai drama Korea, dan saya menganggap serial tv paling ciamik kedua hari ini di dunia memang buatan negeri gingseng tersebut—yang pertama sinetron-sinetron produksi Inggris.

Baiklah, mungkin saya harus mengakui, ‘kayak ending drama Korea’ bukan bahasa yang tepat. Tapi saya masih berpikiran kalau pengakhiran dongeng Raden Mandasia memang masih suatu yang kurang. Saya menyoroti soal kematian Raja Watugunung (maaf, saya membocorkan cerita, tapi saya pikir jikapun kau tahu akhirnya, enggak akan mengurangi kenikmatan membaca) di tangan Pangeran Awatara. Katakanlah Awatara ini deus ex machina, tokoh yang tiba-tiba muncul dan jadi vital yang tugasnya mengakhiri cerita, kalau kata anak gaul sekarang: “baru kenal tapi udah sok asyik”. Ya, saya menganggap bagian akhir Raden Mandasia terlalu dipaksakan.

Tentu, kau boleh enggak setuju dengan saya, dan saya pun setuju kalau ini hanya cacat yang enggak terlalu kentara. Dongeng memang seperti itu, akhir cerita enggak terlalu masalah, karena yang penting adalah keseluruhan ceritanya. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi sebenar-benarnya dongeng keparat yang dibikin juru kisah celaka bernama Paman Yusi, dan sukses mengubah umpatan anjing jadi sebuah pujian agung. Lihatlah Goodreads dan beragam resensi soal buku ini di internet, kata anjing berseliweran di sana. Anjing, anjing, anjing! mereka memuji Paman Yusi bagai sedang wirid. Nah, maksud saya mencoba mengurai kekurangan itu hanya untuk membuktikan kalau Paman Yusi adalah seorang manusia, agar kalian semua enggak terjebak dalam dosa syirik. Namun saya turut khilaf sehingga memberi 5 bintang di Goodreads, dan ikut menganjingkan buku sialan ini. Naudzubillah.

Belum pernah baca Babad Tanah Jawa atau Mahabarata atau Odysses-nya Homer atau Don Quixote-nya Cervantes atau War and Peace-nya Tolstoy? Tenang saja. Paman Yusi, yang tentunya sudah melahap banyak bacaan ini, layaknya seorang koki handal yang sudah mencicipi beragam masakan, meracik Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi agar dapat dinikmati khalayak ramai dengan suatu kepuasan yang membebaskan dahagamu akan bacaan-bacaan asyik. Bagi anak muda yang punya cita-cita pengen jadi pengarang, jadi beballah kalian, karena novel ini membuatmu jatuh mental, dan muncul keinginan untuk minum kencing sendiri atau langsung menyesap Baygon. Paman Yusi memang seorang Syahrazad yang anjing sekali!

*

Post-scriptum:

Judul aslinya ‘Babad Tanah Jawa ala Paman Yusi’, tapi diubah karena tak hendak menyaingi moderator di acara bincang buku tersebut yang dipuji anaknya sendiri kebanyakan ngomong, dan tentunya bakal minder kalau catatan pendek ini harus bersaing dengan ulasan analitis super panjangnya.

Ilustrasi dicomot dan diedit asal-asalan dari foto asli di whiteboardjournal.com

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1789

5 Comments

  1. Cuma gini doang kritiknya? Ngritik Eka begitu doang mosok dipamer2in mulu. Yaelah brooo…

    • Saya bukan penulis, saya penggaya. Melakukan apapun dengan gaya, dan memamerkannya. Hehe.
      Weekly Idol episode AOA telah mengalihkan dunia saya, sehingga malas berpikir lagi. Makasih loh udah perhatian gini.

  2. Waaa qu sependapat nih. Qu jg mikir kalo ending ceritanya terlalu yaaah-kok-endingnya-cuma-gitu-doang. Pdhl klo endingnya pas di adegan mayat-mayat jatuh dari langit bakal lebi endeuuuz tuh

  3. Naah qu sependapat nih. Sayang bgt untuk novel se-anjing ini endingnya malah yaah-kok-cuma-gitu-doang. Pdhl klo endingnya pas adegan mayat-mayat jatuh dari langit bakal anjing bgt tuh

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *