Melayarkan Para Migran

Setiap isu sosial adalah komoditas yang mudah digarap jadi sebuah karya. Atau, agar argumennya lebih menginspirasi, dan saya enggak dianggap sinis: Setiap isu sosial adalah keresahan yang menunggu untuk disuarakan. Murni pragmatis, tanpa punya alasan tertentu, hanya karena hari Sabtu itu enggak punya kesibukan apapun, saya memutuskan cabut ke IFI buat nonton film-film di Global Migration Film Festival. Setidaknya, ini migrasi terbaik saya di hari yang malas itu.

Sinema dan migrasi punya sebuah ikatan magis sejak bertahun-tahun lalu ketika para pembuat film, yang kebanyakan para migran, memulai bikin film-film tentang sebuah dunia yang memang penuh kepindahan. Film-film mereka membawa kisah-kisah para migran yang dramatis, tajam, dan kadang jenaka, melalui potret-potret dan emosi-emosi yang bermakna buat beraneka budaya. Selama bertahun-tahun, film telah digunakan untuk menginformasi, menghibur, mengedukasi, dan merangsang debat. Dengan alasan ini, IOM, Agensi Migrasi UN, menggelar Global Migration Film Festival sejak 2016. Festival ini diharapkan menapaki jalan menuju diskusi lebih baik tentang satu fenomena besar di masa kini.

Film-film yang ditayangkan dalam GMFF 2018 di Indonesia dipilih dari ratusan submisi dari kompetisi yang dilangsungkan di awal tahun ini. Dalam penayangan di IFI, ada empat film yang diputar.

Journey to the Darkness (Mohammad Mozafari)

journey_to_the_darkness-ft-001_099eb278304f5b6d996b2fb0038c5d24_thumb
Foto: Viddsee

Terinspirasi dari kisah nyata soal lima pencari suaka dari Timur Tengah yang ingin pergi ke Australia dengan kapal dari Indonesia. Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka harus menunggu di sebuah rumah aneh yang bikin mereka tak betah. Salah satu dari mereka membuat sebuah dokumenter perjalanan mereka dan terjadi hal-hal aneh sehabis tengah malam.

Memakai konsep The Blair Witch Project, film berlangsung selama 20 menit dengan sebagian besarnya dengan kualitas sebuah rekaman video rumahan. Di sini, sosok hantu secara alegoris menyajikan apa yang terjadi di masa lalu, seperti perang, yang menghantui para imigran. Juga, bahwa layaknya premis film horor, seringnya para pencari suaka akan lenyap satu per satu saat perjalannya. Mungkin juga, bahwa Indonesia memang sebenar-benarnya rumah berhantu, bahkan bagi mereka yang cuma singgah.

Fremde (Jonathan Behr)

fremde_screenshot_2
Foto: Jonathan Benedict Behr

Deportasi adalah mimpi buruk bagi dua perempuan bersaudara asal Timur Tengah yang tengah menetap di Jerman. Kampung halaman mereka nampaknya sudah jadi neraka, dan mereka sudah kerasan hidup di Eropa. Namun, mereka hidup dalam ketakutan konstan akan sebuah utas tak diketahui. Satu malam, mimpi buruk mereka menjadi nyata, ketika orang asing masuk ke rumah mereka. Permainan kucing dan tikus terjadi kemudian. Satu per satu mereka tertangkap dan harus mencari tahu, siapa sebenarnya orang-orang asing itu: Polisi dengan misi malam untuk mendeportasi.

‘Fremde’, yang diterjemahkan berarti orang asing, terinspirasi oleh studi UNICEF, yang mengekspos konsekuensi hidup dalam ketakutan akan deportasi, dan deportasi itu sendiri pada kondisi psikis anak. Lewat ketegangan thriller, film ini memaksa penonton untuk mengalami teror deportasi dan kebrutalan polisi melalui perspektif dua saudara perempuan tadi. Dalam salah satu adegan, saya merasa terusik ketika menyergap salah satu bersaudari itu, si polisi menyuntikan semacam penenang, seperti sedang menangkap hewan kabur dari kebun binatang. Di akhir film, ditampilkan beragam temuan soal masalah depresi yang memang nyata.

Bushfallers – A Journey of Chasing Dreams (Nils Benjamin Keding)

Manusia, sejak nenek moyang kita, adalah para migran. Hipotesis Out of Africa menyatakan bahwa setiap manusia hari ini adalah keturunan dari sekelompok kecil Homo sapiens di Afrika, yang kemudian menyebar ke dunia yang lebih luas. Itu terjadi ratusan ribu tahun yang lalu, tapi fenomena ini masih terjadi hingga kiwari. Orang-orang Afrika banyak yang minggat dari negaranya.

Dokumenter berdurasi 59 menit ini mencoba menjawab pertanyaan kenapa orang-orang Afrika memilih bermigrasi ke Eropa. Apakah mereka ditarik magnet Eurosentrisme? Dipandu oleh suara-suara dari mereka yang pergi, yang menetap, dan yang kembali pulang, film ini menyelami aspirasi, mimpi dan realita dari diaspora orang-orang Kamerun. Para migran menceritakan kisah-kisah mereka, mengungkap kompleksitas terpendam di balik pilihan mereka untuk minggat. Bushfaller sendiri adalah istilah yang disematkan bagi mereka yang telah pergi ke Eropa.

I Am Rohingnya: A Genocide in Four Acts (Yusuf Zine, Kevin Young)

Berkisah tentang migran Rohingya yang menetap di Kanada dalam usahanya untuk menanggap drama tentang persekusi brutal bangsa mereka di Myanmar. I Am Rohingya merupakan judul drama mereka.

Dokumenter ini lebih merupakan semacam behind the scene dari pertunjukan mereka, dari sejak berbulan-bulan persiapan. Menjelang malam pembukaan pertunjukan mereka, film ini membawa penonton melalui kehidupan pribadi para pemainnya, menangkap perjuangan mereka saat mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka di Kanada, dan menjelajahi proses latihan yang sulit untuk menciptakan kembali adegan horor. Tanpa pengalaman akting sebelumnya, para remaja ini harus bersatu dan menceritakan kembali kisah-kisah mereka yang tertinggal untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tak akan dilupakan.

*

Di malam setelah menonton film-film tadi, saya menemukan artikel The Guardian berjudul Making drama out of the refugee crisis dari Charlie Phillips, dan setuju dengan kesimpulan yang diberikannya: jika mereka, film-film itu, tidak menyediakan ruang untuk memahami pengalaman pengungsi yang sedang ditonton oleh kita, mereka hanya berakhir layaknya cerita dalam berita – cerita yang hanya menjadi wawasan, tak sampai menggugah kesadaran.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1880

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *