Burning sampai dua kali saya tonton dan saya pikir saya menyukai Lee Chang-dong – meski itu satu-satunya film dari sutradara Korea itu yang saya tonton. Narasinya sangat licin seperti sutra, dari romansa ke tragedi menuju misteri hingga menjadi sesuatu yang lebih mengganggu, sesuatu yang gelap. Rasa kaget semacam ini adalah ciri khas dari keahlian menulis dan pengarahan terampil yang bikin kita tertahan di dalam cerita dalam jalinan tatapan dan pertukaran yang tak terlihat, rahasia dan kebohongan, trik dan kekejaman dan sorotan dari pantulan sinar matahari. Hanya Lee Chang-dong yang mampu menyulap cerpen Haruki Murakami jadi sebuah film.
Lee Chang-dong memang satu sutradara yang sering disebut dalam skena sinema Korea. Apalagi setelah Cannes 2018, lewat filmnya tadi. Riwayat filmnya pun sering diulas dengan positif, namun saya tak pernah sempat menontonnya. Sampai Echa mengajak saya untuk mendampinginya jadi narasumber saat diskusi setelah pemutaran film Secret Sunshine. Terpaksa saya harus maraton nonton film-film Lee Chang-dong.
Selasar Weekend Cinema 2018 bekerja sama dengan Korean Culture Centre mengangkat tema “Perempuan dalam Sinema Korea”. Karena baik wawasan soal isu perempuan dan penelaahan sinema saya sama payahnya, saya memilih topik aman hanya akan membahas rekam jejak seorang Lee Chang-dong. Echa seorang yang jadi narasumber pun sebenarnya sudah cukup.
Berikut data wikipedis dari seorang Lee Chang-dong. Lahir di Daegu, pusat partai konservatif utama Korea. Lulus sarjana pada tahun 1981 dengan gelar Sastra Korea dari Kyungpook National University, tempat ia menghabiskan banyak waktunya di teater, menulis dan menyutradarai drama. Setelah mengajar mengeja Bahasa Korea di sekolah menengah, ia membuktikan dirinya sebagai novelis terkenal dengan novel pertamanya Chonri pada tahun 1983. Kemudian dalam karirnya, yang mengejutkan banyak orang, ia beralih ke sinema. Awalnya menulis dua skenario film Park Kwang-su, To the Starry Island pada tahun 1993 dan A Single Spark pada tahun 1995. Sampai akhirnya menciptakan Green Fish, sebuah kritik masyarakat Korea yang diceritakan melalui mata seorang lelaki muda yang terjerat dalam dunia kriminal, pada tahun 1997.
Gaya dan pilihan subjek Lee Chang-dong tampaknya lebih didorong oleh naturalisme. Jika ada benang merah yang dapat kita lihat muncul di film-filmnya, itu adalah bahwa mereka sering menampilkan karakter utama yang mungkin dirasakan Lee Chang-dong agak terpinggirkan atau disalahpahami oleh masyarakat, setidaknya dalam konteks Korea. Dan untuk lebih memahaminya, dia membuat film tentang mereka. Melalui potret realistis dari karakter yang bermasalah, ia meminta kita untuk memeriksa diri kita sendiri dan untuk melihat apa yang mendorong masyarakat menyembunyikannya di bawah karpet. Berfokus pada yang tak terlihat atau tak terucapkan, ia mengangkat pengalaman keseharian ke ketinggian yang fantastis. Stigma yang melekat pada yang tak diinginkan, orang cacat dan yang terganggu mungkin tidak lebih besar daripada di budaya Asia, namun ia memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali masyarakat yang terbuang.
Karakter-karakter Lee Chang-dong sering menemukan diri mereka dipaksa untuk menghadapi bekas luka emosional mereka sendiri. Film keduanya, Peppermint Candy (1999), sebuah tour de force sosio-politik alegori tentang refleksi satu orang pada hidupnya yang menderita. Masa lalu seseorang yang menyakitkan menjadi metafora katarsis bagi sebuah bangsa yang punya trauma. Hubungan terlarang yang digambarkan dalam film ketiganya, Oasis (2004), mengkritik keegoisan dan kemunafikan masyarakat Korea. Dengan menampilkan dua protagonis yang punya disabilitas.
Secret Sunshine, adalah karya indah tentang rasa kehilangan pribadi. Jeon Do Yeon mempesona sebagai Shin Ae, seorang janda muda yang pindah ke kota kelahiran suaminya, Miryang (yang berarti “sinar matahari rahasia” dalam bahasa Korea). Yang awalnya tampaknya sebagai potongan kehidupan yang tenang, Shin Ae yang blak-blakan, bersemangat ini tertegun saat ia menetap di kota yang lesu ini. Tragedi mendadak melemparkan Shin Ae ke dalam angin puyuh emosional dan akhirnya pada penemuan diri. Ketika Shin Ae mengembara dalam keadaan shock dan rasa sakit yang luar biasa, Lee Chang-dong mengambil kesempatan untuk membedah dan mengekspos kemunafikan agama, dalam hal ini kebenaran diri yang menakutkan dari Kristen Evangelis. Penggunaan lagu murung ’70-an dari Kim Choo Ja berjudul “That’s a Lie” menggarisbawahi pertanyaan tentang keyakinan ini serta menyoroti perjuangan seorang individu dalam masyarakat yang sangat menghakimi.
Berkat perannya di film ini, Jeon Do Yeon diganjar aktris terbaik di Cannes. Secret Sunshine sendiri menjadi titik ketika kepekaan Lee Chang Dong boleh dikatakan lebih feminis. Film setelahnya, Poetry (2010), juga menampilkan karakter perempuan yang kuat. Burning juga jika dilihat lebih cermat sebenarnya punya pesan terselubung soal maskulinitas yang penuh racun.
Pada akhirnya, apa yang membuat karakter Lee Chang-dong dan cerita mereka begitu berbeda adalah kemampuannya untuk menantang audiensnya dan bahkan dirinya sendiri untuk secara terbuka merefleksikan kenyataan dari karakter-karakter ini dan untuk mempertimbangkan dilema sosial dan ketidakadilan yang ada di dunia ini.
Iyaiyaiya.
Ke sini gegara kata pertamanya: Burning.
Sedikit penasaran dengan film lain dari sutradara ini, tetapi belum terlalu penasaran banget.