Sebenarnya saya menginginkan obrolan sore itu berjalan lebih dialektis ketimbang jadi pengajian mungil. Bisa dibilang juga itu semacam lokakarya menulis privat, saya sebagai pemateri dibayar Indocaffe dan sebatang-dua batang Garpit, dengan judul “Taktik Menulis dan Cara Memonetisasi Bacaanmu di Era Kapitalisme Lanjut” atau “Rahasia Lihai Menulis: Bagaimana Membaca, Memelihara Kucing dan Melebarkan Koneksi Orang Dalam Lebih Penting Ketimbang Menyia-nyiakan Waktu dan Uangmu di Workshop Menulis”.
Untuk mengetahui situasi kondisinya, bisa baca catatan dan laporan cuaca dari Akay berjudul Cerita di Sabtu Sore. Hanya ingin memverifikasi beberapa sumber referensi: 1) Di paragraf ke-15, jawaban saya itu berasal dari kutipan di Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London-nya George Orwell dengan redaksi kalimat asli, “Hanya ada satu cara untuk menghasilkan uang dari menulis: kau harus menikahi anak pemilik penerbit”, 2) Di paragraf ke-16, ini merupakan kutipan dengan redaksi kalimat, “Menulis itu seperti seks. Pertama kau melakukannya untuk cinta, lalu kau melakukannya untuk teman-temanmu, dan kemudian kau melakukannya demi uang,” yang di internet sering dialamatkan pada Virginia Woolf, meski enggak bisa dipastikan dari sumber mana, yang bisa dipastikan adalah redaksi kalimat serupa yang diungkapkan dalam sebuah percakapan antara kritikus drama George Jean Nathan dan dramawan Ferenc Molnár pada 1932.
Yang luput dari catatan Akay itu adalah bahwa sebelum pecah jadi tiga kelompok berbeda di kantin Gedung Sate itu, awalnya hanya ada dua. Kelompok tengah ngobrol bebas, tapi karena ada Irfan yang sedang libur di Bandung, ia lebih banyak menceritakan lika-likunya yang baru bekerja berminggu-minggu di media online yang berpusat di Kemang di depan kantor pusat Gojek. Karena obrolan merehatkan dirinya sejenak, saya pindah kursi untuk menamatkan baca A Brief History of Time-nya Stephen Hawking. Bahkan satu kalimat pun belum terbaca, Akay langsung menodongkan pertanyaan soal tulis-menulis. Dengan melantur kemana-mana, dan penyampaian yang kadang tercekat, inti yang saya sampaikan selalu sama: baca, baca, dan baca.
Membaca sebagai fungsi pragmatis untuk meningkatkan kualitas tulisan tentu bukan sebuah dosa. Namun inilah yang sering disalahpahami, karena sesungguhnya menulis adalah perpanjang dari membaca, bukan sebaliknya. Penulis yang baik pasti merupakan pembaca yang baik. Kapital atau modal menurut Pierre Bourdieu terdiri dari ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Bagi seorang intelektual publik harus mempunyai habitus, struktur mental atau kognitif, yang baik dengan membaca buku, agar mendapatkan kapital budaya (pengetahuan dan diskusi) yang baik pula. Dengan mempunyai habitus buku dan kapital budaya, seorang intelektual publik (atau faux-intelektual) bisa bersaing dan bertahan di ranah kebudayaan. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan. Membaca, seperti kapitalisme, menghisap nilai lebih dari setiap buku yang telah kita pekerjakan.
Membaca buku memang penting, tapi enggak sesempit itu. Literasi yang sering direduksi cuma soal buku dan buku, juga jadi persoalan. Seperti yang dituliskan Aldous Huxley dalam Wejangan Soal Kucing, bahwa dengan lihai membaca kelakuan sepasang kucing kita bisa bikin novel soal hubungan manusia yang hebat. Karena merasa akan mengarah jadi pembicara membosankan, dan bosan juga mengutip referensi ini-itu apalagi mengais kajian Marxis seenak jidat, saya tamatkan saja postingan ini. Sudah lama belum menulis sebebas ini.